Selasa, 05 Februari 2013

Wakil Rakyat, Korupsi dan Erosi Demokrasi


Wakil Rakyat, Korupsi dan Erosi Demokrasi
Muhammadun ;   Analis Politik pada Program Pasca Sarjana UIN Yogyakarta
SINAR HARAPAN, 04 Februari 2013



Krisis politik para wakil rakyat kita semakin akut. Satu per satu wakil rakyat terjerat dalam kasus korupsi. Kebrobokan wakil rakyat yang terkait korupsi memang bukan berita baru.

Tidak sedikit wakil rakyat yang sudah mau masuk bui, ngantri di pengadilan, dan tersandera kasus korupsi di berbagai kementerian. Ini bukti bahwa wakil rakyat sudah tidak lagi mempunyai komitmen dalam menjaga tegaknya martabat dan karakter bangsa. Ini sebuah pengkhianatan kepada rakyat.

Dalam konteks ini, Busyro Muqoddas (2011) pernah melihat adanya dasamuka dalam kondisi politik. Politik dasamuka yang tercermin pada karakter “esuk dele, sore tempe, malam onde-onde” [pagi (jualan) kedelai, sore tempe, dan malamnya onde-onde] adalah sifat dan sikap yang mencla-mencle dalam mengemban amanah publik di lembaga negara.

Menurut Busyro, pemberhala nafsu dan syahwat politik kekuasaan itu tak jelas rekam jejaknya, apakah mereka berpihak atau membela yang lemah atau bahkan memangsa mereka. Lambang burung garuda emas di seragam safari dengan enam saku berisi selosin (dia menyebutkan merek telepon seluler yang menjadi tren saat ini).

Mobil dinas Crown Royal Salon yang jauh lebih mewah dari mobil perdana menteri tetangga. Begitulah wakil rakyat dan partai politik, selain dihuni oleh sedikit mereka yang punya panggilan nurani, mayoritas mereka lebih mencerminkan politisi yang pragmatis dan hedonis.

Tragedi kongkalikong wakil rakyat merupakan indikasi minimnya kontribusi pejabat negara dan lembaga negara dalam memperjuangkan nasib rakyat.

Tragedi ini juga indikasi bahwa DPR telah melakukan erosi demokrasi. Untuk bersidang dan bekerja, DPR telah menghabiskan miliaran rupiah. Sungguh uang rakyat tidaklah bisa digunakan dengan seenaknya, harus dipertanggungjawabkan dengan amanah.

Dari sisi gelap pejabat negara tersebut, tidak salah kalau masyarakat tetap menilai bahwa yang dilakukan sebagian pejabat negara sebagai penyelewengan jabatan yang memalukan. Lebih dari itu, pejabat negara sejatinya telah menjual moralitas politiknya di hadapan rakyat yang memberikan mandat kepadanya.

Pejabat negara belum sepenuhnya mengabdikan dirinya dengan total sebagai wakil seluruh rakyat, tetapi masih menyandarkan pada sektarianisme partai politik yang penuh ambisi dan kepentingan. Tidak salah kemudian kalau masyarakat mencibir kepanjangan DPR dengan Dewan Percaloan Rakyat, Dewan Pemeras Rakyat, dan lain sebagainya. Menjadi anggota dewan hanya untuk menjadi calo yang selalu memanfaatkan kesempatan mendapatkan tender politik sebanyak-banyaknya.

Politik Seduksi

Perilaku tersebut merupakan bukti terciptanya politik seduksi (rayuan) dalam tubuh pejabat negara. Wajah politik seduksi selalu menampilkan dirinya secara menarik, penuh make-up, lipstik, dan asesoris lainnya. Namun, di balik itu, mereka menyiapkan jaring-jaring rayuan yang merongrong kehancuran dan kebinasaan.
Menurut Thomas Docherty dalam After Theory (1996: 27), bahwa disebabkan kegagalan politik kontemporer yang menghasilkan inovasi, orisinalitas, dan kebaruan, wacana politik memfokuskan diri bagi keberlangsungannya pada rayuan yang menciptakan semacam politik seduksi.

Di dalam jagat rayuan, wacana politik bukan lagi dibangun oleh arsitektur nalar-nalar rasional, akan tetapi oleh berbagai trik rayuan, dalam rangka menggoda manusia politik. Mekanisme yang bekerja dalam rayuan, sebagaimana yang dikatakan Jean Baudrillard dalam Seduction (1990: 7), tidak lagi relasi psikis, tidak pula represi atau ketaksadaran, akan tetapi relasi permainan, tantangan, duel, dan strategi penampakan.

Dalam wacana politik seduksi di atas, penampakan pejabat negara sekarang hanya sebatas “permainan” untuk mengeruk kekuasaan sebesar-besarnya.

Mereka sudah memedulikan lagi kenyataan pahit di sekelilingnya, karena nalar politik yang mereka gunakan bukan untuk memberdayakan dan memajukan bangsa, melainkan untuk memberdayakan kepentingan individu dan kelompok. Dengan nalar yang irasional, mereka juga sering menggunakan dalih agama, sosial, dan budaya untuk memuluskan alur permainan politiknya.

Semua hanyalah fatamorgana yang absurd. Ruang politik fatamorgana pejabat negara, menurut kacatamata politik Baudrillard dalam The Evil Demon of Images (1993: 139), hanya akan menghadirkan iblis-iblis politik yang mendistorsi dunia dengan membangun ilusi-ilusi tentang kejahatan dengan wajah yang suci, demokratis, dan manusiawi. Wajah kebenaran, keadilan, kemanusiaan, dan demokrasi telah dipalsukan dan ditampilkan dalam wajah-wajah seduksi yang penuh trik dan tipuan.

Di tengah berbagai tudingan miring tersebut, sudah saatnya pejabat negara kembali kepada khittahnya. Dalam logika demokrasi, rakyat adalah raja. Sedangkan pejabat negara adalah pelayan. DPR sebagai juru bicara raja harus menuruti segala yang diperintahkan sang raja.

Kembali ke khittah, berarti DPR harus menaati segala yang diperintahkan sang raja. Sekarang ini sang raja sedang menderita diterpa berbagai bencana, baik bencana alam maupun bencana pemiskinan global. Sebagai juru bicara sekaligus pelayan, DPR seharusnya mengkaji secara mendalam kebutuhan sang raja agar dijalankan oleh pemerintah. Jangan malah berkhianat dan seenaknya sendiri mencuri kekuasaan sang raja.

Kembali ke khittah dan maksimalisasi kinerja Badan Kehormatan (BK) DPR akan menjadikan Senayan sebagai lembaga berwibawa yang menyuarakan aspirasi rakyat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar