Kamis, 14 Februari 2013

Urgensi RUU Produk Halal


Urgensi RUU Produk Halal
Amirsyah   Ketua Dewan
Pendiri Lembaga Perlindungan Konsumen Muslim Indonesia
REPUBLIKA, 13 Februari 2013


Pada 6 Januari 1989, MUI mendirikan LPPOM MUI berdasarkan Surat Keputusan MUI Nomor Kep.018/MUI/I/1989. Dalam perjalanannya, sertifikasi halal dinilai efektif oleh berbagai kalangan, utamanya untuk menenteramkan hati umat. MUI telah berkiprah selama 24 tahun dalam penjaminan produk halal. 

Apabila institusi ini bersama auditornya dibuka untuk umum, perlu diwaspadai adanya kemungkinan perbedaan paham, interpretasi, dan khilafiyah tentang status kehalalan suatu produk. Untuk menghindari adanya persoalan perbedaan paham tentang kehalalan suatu produk, sebaiknya lembaga dan auditor yang memeriksa kehalalan produk itu melalui MUI sebagai wadah berhimpun sejumlah organisasi kemasyarakatan. Sedangkan, auditor yang selama ini berjalan dapat direkomendasikan oleh instansi publik maupun lembaga/organisasi kemasyarakatan yang kemudian akan dididik oleh MUI menjadi auditor yang profesional.

Dalam konteks ini, negara tidak boleh melakukan `pembiaran' terhadap beredarnya produk yang tidak jelas kehalalannya di masyarakat. Lagi pula, penerapan jaminan produk halal yang selama ini telah berjalan dengan baik harus dilindungi dan diperkuat dengan payung hukum berupa peraturan perundang-undangan.

Namun demikian perjalanan pembahasan RUU Jaminan Produk Halal (JPH) telah memasuki periode kedua (2009-2014) di DPR RI. Sedangkan pada periode pertama (2004-2009), pembahasan RUU JPH mengalami kebuntuan.

Masyarakat bertanya-tanya tentang kesungguhan DPR RI bersama pemerintah dalam pembahasan RUU tersebut. Dalam rapat Panja Komisi VIII DPR RI dengan Pemerintah tanggal 3/2/2013, disinyalir mengalami kendala dalam dua hal. Pertama, masalah kelembagaan dan kedua masalah belum adanya kejelasan pembagian peran MUI bersama pemerintah. 

Pembagian Peran

Kegiatan jaminan produk halal selama ini melibatkan unsur MUI dan pemerintah. Sertifikasi halal merupakan kewenangan ulama karena ulama yang memiliki otoritas, kompetensi, dan legitimasi dalam menetapkan hukum Islam (syar'i) melalui usaha ijtihadiyah. Sedangkan, institusi pemerintah melakukan tugas lain yang berkaitan dengan pengaturan formal (regulasi). MUI berperan memeriksa (audit) produk, menetapkan fatwa kehalalan produk melalui sidang Komisi Fatwa, menerbitkan sertifikat halal (fatwa tertulis), dan mendidik serta melatih auditor. 

Penerbitan sertifikat halal oleh MUI akan mempertahankan kredibilitas dan kepercayaan atas sertifikat halal yang selama ini telah diakui secara luas.

Sementara, pemerintah berperan dalam pengaturan label halal pada kemasan produk halal agar tidak mudah dipalsukan, pengawasan produk, pengawasan produsen, pembinaan, sosialisasi, komunikasi dan penyadaran, juga pengawasan/penyediaan sarana dan prasarana fisik yang berkaitan dengan penyelenggaraan jaminan produk halal. Peran lainnya adalah dalam penye lenggaraan kerja sama dengan negara lain, penindakan (law enforcement) terhadap berbagai pihak yang melakukan pelanggaran.

Lembaga yang melakukan pengorganisasian jaminan produk halal dalam undang-undang JPH adalah menguatkan kelembagaan yang telah berjalan selama ini, yaitu adanya unsur pemerintah dan MUI dengan pembagian peran seperti yang telah disebutkan di atas. Masing-masing peran jika dijalankan dengan cukup baik sesuai mekanisme, perlu diperkuat dalam bentuk undang-undang. Posisi MUI tetap berada di luar pemerintah sebagaimana yang selama ini dijalankan. Hal ini semata-mata untuk menjaga kemandirian (independensi) ulama dalam pengambilan keputusan fatwa.

Penguatan mekanisme pengajuan sertifi kasi halal yang berjalan saat ini, setidaknya meliputi empat tahap, yaitu, pertama, pendaftaran untuk sertifikasi produk ritel di pemerintah (BPOM), sedangkan produk nonritel pendaftaran langsung di MUI. Kedua, proses sertifikasi halal meliputi tahapan pemeriksaan oleh tim gabungan dari LPPOM MUI dan pemerintah, penetapan fatwa oleh Komisi Fatwa MUI, dan penerbitan sertifi kat halal oleh MUI berdasar standar. 

Ketiga, pendaftaran di pemerintah (BPOM) untuk memperoleh surat izin pencantuman label halal di kemasan produknya. Keempat, komunikasi, informasi, dan edukasi (KIE) serta pembinaan kepada masyarakat dan pelaku usaha terhadap penyelenggaraan produk halal oleh Kementerian Agama. Lembaga yang memeriksa kehalalan produk dan penetapan fatwa seyogianya hanya ada di bawah MUI. Pendirian lembaga yang memeriksa kehalalan di luar MUI akan menimbulkan masalah keagamaan dan kontroversi antarlembaga. Pemeriksaan produk dan penetapan fatwa adalah dua sisi yang bertautan.

Keduanya harus ditangani sebagai satu kesatuan dan oleh lembaga yang memiliki otoritas dan kredibilitas dalam bidang keagamaan.

Pembiayaan penjaminan produk halal bisa dilakukan secara simultan, baik melalui APBN maupun swadaya masyarakat. Pembiayaan penjaminan produk halal melalui APBN digunakan untuk menjalankan peran yang akan dilaksanakan oleh pemerintah. Sedangkan, pembiayaan yang diselenggarakan secara mandiri dengan swadaya masyarakat digunakan untuk menjalankan peran MUI dalam jaminan produk halal. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar