Senin, 18 Februari 2013

Urgensi Penguatan Provinsi


Urgensi Penguatan Provinsi
Robert Andi Jaweng Direktur Eksekutif KPPOD dan Pegiat Pokja Otda, Jakarta
KOMPAS, 18 Februari 2013


Momentum bagi upaya penguatan provinsi dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah mulai terasa kuat akhir-akhir ini.
Saat membuka rapat kerja pemerintah, akhir Januari lalu, Presiden Yudhoyono meminta para kepala daerah—khususnya gubernur—tak ragu bertindak mengatasi segala gangguan keamanan di daerahnya. Pelaksanaan atas seruan itu pun mendapat dukungan basis legal berupa Inpres Nomor 2 Tahun 2013, bahkan sebelumnya diatur melalui UU Penanganan Konflik Sosial yang menempatkan gubernur dalam posisi sentral.
Dari Senayan, DPR yang sedang membahas RUU Pemda juga menyuarakan semangat serupa. Perihal penguatan aspek fiskal, misalnya, Wakil Ketua Komisi II Ganjar Pranowo mengusulkan agar belanja pegawai dialihkan ke level provinsi (Kompas, 31/1/2013).
Semua momentum di atas mestinya jadi alasan untuk membuka kembali perdebatan ihwal arah revisi UU No 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah. Draf usulan pemerintah memang menunjukkan ikhtiar penguatan provinsi, tetapi mengambil sisi pendekatan yang problematik.
Pasalnya, pemerintah justru hendak menguatkan status provinsi sebagai daerah otonom dan kedudukan gubernur sebagai kepala daerah. Tak heran bila sejumlah urusan (perikanan, pertambangan, dan lain-lain) yang kini dikelola kabupaten/kota akan ditarik sebagai kewenangan provinsi. Agar kabupaten/ kota tak terlalu protes, maka diberikan ”gula-gula” berupa bagi hasil atas urusan tersebut. Hemat saya, pendekatan demikian jelas bertendensi mikrosentralisasi, atau resentralisasi parsial, dan belum tentu mencapai misi penguatan provinsi itu sendiri.
Disfungsi Gubernur
Harus diakui, sejak memulai otonomi 12 tahun lalu, efektivitas kebijakan desentralisasi terus dihantui lemahnya peran gubernur dalam mata rantai pemerintahan yang ada. Dalam statusnya sebagai daerah otonom, kewenangan provinsi serba tanggung karena urusan otonominya tidak jelas. Provinsi hanya berwenang atas urusan lintas wilayah atau urusan ”sundulan” dari kabupaten/kota karena merasa tak sanggup (sesuatu yang tabu bagi kabupaten/kota), tetapi di sisi lain level pemerintahan ini justru mengelola anggaran yang jauh melampaui urusan yang dimilikinya.
Lebih payah lagi, status provinsi sebagai wilayah administrasi dan kedudukan gubernur sebagai wakil pemerintah pusat dalam kerangka dekonsentrasi lebih bersifat sloganistik. Model integrated field administration yang menyatukan wilayah kerja aneka instansi vertikal dengan provinsi, ataupun integrated perfectoral system yang menempatkan kabupaten/kota sebagai bagian provinsi, hanya tinggal sebagai model konseptual.
Bupati/wali kota sama sekali tak melihat wilayah kerjanya sebagai bagian dimaksud. Apalagi, menempatkan posisi mereka secara inferior di depan gubernur. Mereka berhubungan langsung dengan pusat, sebagaimana pula pejabat kementerian lebih sering melompati provinsi untuk mengurus kabupaten/kota.
Maka, ketimbang para perumus revisi UU No 32/2004 membuat blunder resentralisasi dengan menarik sebagian urusan kabupaten/kota ke level provinsi, pendekatan penguatan provinsi mestinya difokuskan kepada penataan aspek wilayah administrasi dan kedudukan gubernur sebagai wakil pusat.
Saya tentu tidak merekomendasikan penghapusan provinsi sebagai daerah otonom yang implikasinya kepada penghilangan DPRD, bahkan peniadaan APBD provinsi. Selain tak sejalan dengan konstitusi (Pasal 18 UUD 1945 Perubahan), juga tak realistis secara politik lantaran akan ditentang para politisi di Senayan. Sebab opsi tersebut berarti menghilangkan akses distribusi para kader partai ke jabatan politik lokal. Namun, preferensi pemerintah kepada model otonomi provinsi atau penambahan urusan otonom ke provinsi jelas tidak tepat. Baik pertimbangan efisiensi pelayanan, rentang kendali pemerintahan, maupun demokrasi berbasis lokal yang justru lebih terjamin oleh otonomi kabupaten/kota.
Pertanyaannya kemudian: bagaimana menata wilayah administrasi dan memperkuat kedudukan gubernur? Jika bertolak dari sebab pokok disfungsi provinsi selama ini, penguatan itu setidaknya menyentuh sisi desain administrasi dan politik sekaligus. Pada aras pertama, langkah serius menempatkan gubernur sebagai wakil pusat harus melampaui konstruksi dekonsentrasi tak bergigi saat ini. Urusan provinsi bukan hanya menyangkut tugas pemerintahan umum: pembinaan, pengawasan dan koordinasi. Semua jenis tugas tersebut justru hal yang paling gampang diabaikan di negeri ini, apalagi jika sanksi tidak disertakan secara jelas dan terukur.
Hemat saya, kedudukan sebagai wakil pemerintah pusat mestinya berarti kewenangan kebijakan yang kini dimiliki pusat dilimpahkan ke gubernur. Selama ini, kabupaten/kota merasa percuma berkonsultasi dengan provinsi lantaran penyelesaian masalah (konflik lintas wilayah, misalnya) tidak bisa diselesaikan di level provinsi. Sebagai kepanjangan pusat di daerah, gubernur mesti diberikan kewenangan otoritatif mengatur dan memutuskan; biasanya berupa surat keputusan. Tanpa otoritas ”kata putus”, keberadaan provinsi hanya menjadi mata rantai tak perlu (birokratisasi) lantaran segalanya masih ditentukan di Jakarta.
Pada aras politik, pelimpahan otoritas pusat tadi sudah mulai dijamin efektivitasnya sejak proses pengisian jabatan gubernur. Sejatinya, dari logika sistem, gubernur sebagai kepanjangan tangan pusat mestinya ditunjuk presiden. Serupa menteri sebagai pejabat lini fungsional/sektoral, gubernur adalah pejabat pusat di lini kewilayahan, mestinya proses perekrutan diwadahi dalam tata cara sama.
Namun, konstitusi dan realitas politik tak memungkinkan ini terjadi dan gubernur tetap dipilih (langsung atau melalui perwakilan). Maka, agar tak mencederai sistem pemilihan, perlu dipikirkan mekanisme keterlibatan pusat di suatu tahapan proses tertentu, seperti persetujuan atas calon yang diusulkan partai untuk kemudian diserahkan kepada rakyat/DPRD untuk dipilih.
Sejak perekrutan, ”Jakarta Flavour” dalam diri gubernur ini mesti menjamin hadirnya pusat lewat sosok gubernur terpilih. Sesuatu yang di belakang hari memengaruhi derajat identifikasi diri sebagai wakil pusat, menjamin ketaatan daerah, bahkan ”kesetaraan” dengan para menteri ketika bersinggungan dengan urusan kewilayahan.
Catatan Akhir
Dalam situasi disfungsi gubernur saat ini, instruksi presiden tadi—sebagaimana halnya berbagai tugas koordinasi serupa selama ini—terasa sulit mewujud. Tanpa otoritas yang melekat dalam struktur pemerintahan, instruksi itu tetap dianggap parsial, situasional, bahkan akan menimbulkan kebingungan. Hingga saat ini gubernur belum memiliki perangkat pendukung (satuan kerja dekonsentrasi) untuk menjalankan tugas pemerintahan umum, serta anggaran khusus bagi pelaksanaan peran sebagai wakil pemerintah pusat.
Mumpung pembahasan revisi UU No 32/2004 belum final di DPR, penataan fundamental bagi penguatan provinsi dan kedudukan gubernur sebagai wakil pemerintah pusat mesti diwadahi sejak pengaturannya di UU. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar