Minggu, 10 Februari 2013

Tugas Berat Pers


Tugas Berat Pers
Toni Ervianto ;   Dosen Sekolah Tinggi Intelijen Negara,
Alumnus Pascasarjana Kajian Stratejik Intelijen Universitas Indonesia
REPUBLIKA, 09 Februari 2013


Menurut catatan Aliansi Jurnalis Independen (AJI), selama 2012 tejadi 57 kasus kekerasan pada jurnalis. Angka ini relatif sebanding dengan 51 kasus yang terjadi sepanjang 2011. Dari jumlah tersebut, sekitar 80 persen berupa kekerasan fisik. Jumlah ini relatif lebih banyak dibanding 2011 yang berupa kekerasan verbal yang meliputi intimidasi, ancaman melalui jalur hukum, dan teror psikologis. 

Sementara itu, pada 2009, ada 37 kasus kekerasan terhadap insan pers dan pada 2010, ada 51 kasus. Sedangkan, data dari LBH Pers menunjukkan, sepanjang Januari-Mei 2012 terdapat 45 kasus kekerasan yang terdiri atas 23 kekerasan fisik dan 22 kekerasan nonfisik.

Khusus untuk daerah konflik semacam Papua dan Papua Barat, AJI Jayapura mencatat, selama 2012, ada 12 kasus kekerasan atau intimidasi terhadap wartawan di Papua dan Papua Barat. Jumlah ini mengalami peningkatan siginifikan dari tahun sebelumnya, pada 2011, hanya ada tujuh kasus. Sepanjang 2012, kekerasan terhadap wartawan lebih banyak dilakukan polisi. Empat kasus dilakukan polisi, tiga kasus oleh masyarakat sipil di mana tiga di antaranya dilakukan secara berkelompok, satu kasus TNI, dan tiga kasus dilakukan pejabat publik.

Beberapa kasus kekerasan atau intimidasi terjadi di Papua dan Papua Barat. Di antaranya, kasus kekerasan menimpa lima orang wartawan di Papua dan Papua Barat, yakni mereka dihalang-halangi meliput sidang Forkurus Yo boi- sembut dan kawan-kawan di Pangadilan Negeri Kelas IA Jayapura, Kota Jayapura, Papua, 8 Februari 2012. Perlakuan kekerasan juga ada yang berbentuk intimidasi fisik, penarikan, serta penggeledahan kepada wartawan saat memasuki lokasi sidang. 

Kasus lainnya dialami wartawan Cahaya Papua, Radang Sorong, dan Media Papua Paskalis ketika sedang memberitakan aspirasi tuntutan dialog dan referendum di Papua. Sementara itu, di Polimak, Kota Jayapura, wartawan Papua Pos, Tumbur Gultom, ditanyai ratusan massa terkait identitasnya. Ketika dia menjawab sebagai wartawan Papua Pos, massa tidak percaya dan mengambil balok, lalu mengejar korban. Gultom berhasil melarikan diri dengan bersembunyi di salah satu rumah warga.

Maraknya beragam ancaman terhadap kalangan jurnalis, dapat mengancam demokratisasi. Setidaknya, ada tiga penyebab terus terjadinya tindak kekerasan pada jurnalis. Pertama, adanya anggapan jurnalis tidak profesional dalam pemberitaan terkait pemberitaan politik menjelang Pemilu 2014 dan pemilukada di daerah. Dampaknya, pihak yang tidak suka berpotensi melakukan kekerasan. 

Kedua, kinerja jurnalis yang intens memberitakan korupsi setahun terakhir membuat pejabat sipil maupun militer membenci jurnalis. Ketiga, proses kekerasan yang tidak diusut tuntas tidak menimbulkan efek jera bagi pelaku sehingga terkesan terjadi pembiaran. Bahkan, diperkirakan, kasus kekerasan terhadap wartawan akan meningkat menjelang Pemilu 2014 karena profesi wartawan ini kerap masuk dalam pu- saran orang-orang yang terlibat dalam persaingan politik. 

Maraknya aksi kekerasan terhadap insan pers dapat diselesaikan dengan cara mengakhiri impunitas para pelaku kekerasan terhadap insan pers. Negara diminta agar lebih menghormati, memenuhi, dan melindungi hak kebebasan berekspresi warga negara. Indonesia dewasa ini dinilai belum sepenuhnya menghormati, memenuhi, dan melindungi hak kebebasan tersebut. Karena itu, jurnalis harus mendapatkan perlindungan hukum sesuai dengan Undang-Undang Pers No 40 Tahun 1999. Kemudian, pihak yang keberatan atau dirugikan dengan isi pemberitaan agar menempuh mekanisme yang tersedia, yakni dengan hak jawab atau surat protes dan tidak main hakim sendiri.

Di samping itu, aparat penegak hukum juga harus mengusut dan memproses setiap kasus kekerasan terhadap jurnalis. Penegak hukum juga menggunakan Undang-Undang Pers dalam menjalankan setiap sengketa pers. Sedangkan, secara internal, perusahaan media perlu menghargai hak-hak karyawan untuk bebas berserikat dan berkumpul serta menghindari terjadinya pemutusan hubungan kerja dan menolak monopoli kepemilikan media penyiaran. 

Di samping itu, kalangan jurnalis dan organisasi jurnalis terus-menerus meningkatkan kompetensi para anggotanya dengan pelatihan-pelatihan, meng hormati dan melaksanakan kode etik wartawan Indonesia, melakukan check, recheck, dan cross check terhadap setiap pemberitaan yang akan dimuat, serta peliputan yang bersifat cover both sides. Sebaiknya, pers juga tidak memberitakan masalah dengan isu sensitif, seperti konflik terkait dengan ideologi/nilai atau kepentingan, agar tidak menimbulkan vested interest, serta mengawal demokrasi agar tumbuh lebih sehat. Dirgahayu pers Indonesia. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar