Jumat, 15 Februari 2013

Trust Partai Demokrat


Trust Partai Demokrat
Syafiq Basri Assegaff  Pengajar di Universitas Paramadina
INILAH.COM, 14 Februari 2013


Seorang anak bertanya pada ayahnya, "Apa sih Pakta Integritas itu, Pak?"
Sang ayah menjelaskan, khususnya yang berkaitan dengan Pakta Integritas yang ditandatangani para pengurus Partai Demokrat (PD) di kediaman Ketua Dewan Pembina partai itu, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), pekan lalu.
Kata ayahnya, itu semacam sumpah secara tertulis yang mengikat dan mengharuskan penandatangannya menjalankan kegiatan politik secara bersih, bertangung-jawab, bersih dan beretika.
"Tujuannya adalah mengembalikan nama baik atau reputasi organisasi, dalam hal ini Partai Demokrat, yang telah tercoreng oleh sejumlah kader yang terbukti melakukan korupsi," kata sang ayah.
"Jika yang menandatangangi pakta itu melanggar janjinya, mereka akan dipecat ya Pak?"
Benar. Konsekuensinya, semua yang telah terikat janji itu tak bisa berbuat seenaknya, melanggar etika, apalagi melakukan kegiatan yang jelas-jelas meruntuhkan integritas mereka seperti korupsi atau tindakan pidana lainnya.
"Jadi, kalau yang tidak atau belum pernah menandatangani pakta seperti itu, boleh korupsi, Pak?"
Sang ayah tersenyum. Ia sadar sikap anaknya yang kritis itu menunjukkan ia seorang yang pandai dan peduli.
"Tidak Nak. Sebenarnya, tanpa Pakta Integritas atau sumpah di depan kitab suci pun, semua pejabat partai, pejabat publik, dan pegawai negeri sipil atau pun militer harus menjunjung tinggi moral dan etika. Semuanya mesti bersikap profesional, jujur, terbuka dan bertanggung jawab. Semua pegawai pemerintah,di lembaga legislatif, eksekutif dan yudikatif itu bekerja sebagai pelayan masyarakat."
Anaknya menganggukkan kepala. "Pantas Pak, di luar negeri pegawai negeri kan disebut 'civil servant', pelayan masyarakat. Jadi mereka harus mengabdi kepada rakyat, bukan malah mengorupsi uang negara yang jelas merugikan rakyat banyak," ujar anaknya.
"Betul Nak, dalam bahasa Arab ada pepatah, 'Raais al-qaum khaadimuhum', artinya: pemimpin sebuah komunitas adalah pelayannya," tambah si ayah.
Integritas dan Trust
Begitulah sedikit dialog antara ayah dan anak yang membuat kita tersenyum. Tentu masih banyak hal yang tidak sempat mereka bicarakan, termasuk, antara lain, mengenai sebab-musabab mengapa SBY harus mewajibkan jajaran PD menandatangani pakta, dan mengapa sejumlah partai politik (parpol) lain belum atau tidak melakukan hal serupa itu.
Nah, bicara asal-usul pakta itu, bisa dipastikan bahwa ia muncul karena belakangan ini SBY dan para petinggi PD merasakan merosotnya etika dan kejujuran pada sementara kader partai, sehingga mereka kehilangan kepercayaan (trust) publik yang jelas-jelas menurunkan elektabilitas partai itu pada Pemilihan Umum 2014 -- sebagaimana ditunjukkan hasil beberapa survei belum lama berselang.
Trust itu merupakan, ‘sebuah harapan terhadap kata-kata, janji, pernyataan lisan atau tertulis seseorang atau suatu kelompok yang dapat diandalkan.’ Maka, bila sebuah organisasi kehilangan trust dari publiknya, sang publik itu tentu tidak akan lagi memiliki harapan kepadanya.
Sama saja, apakah organisasi tadi sebuah parpol seperti Partai Demokrat dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) atau sebuah perusahaan, sekali mereka tidak lagi dipercaya publiknya, maka terkikis pulalah reputasi organisasi itu. Ibarat pepatah, sekali lancung ke ujian seumur orang tak percaya.
Sesungguhnya, setiap organisasi yang ingin menghindari sebuah krisis bisa belajar dari berbagai krisis yang pernah terjadi sebelumnya, untuk kemudian belajar agar tidak mengulangi kesalahan yang sama.
Salah satu kasus yang menarik di dunia adalah yang pernah menimpa Intel, ketika chip Pentium 5 mengalami krisis pada1994. Perusahaan ternama di Amerika Serikat (AS) itu awalnya menolak bahwa ‘math processor’ yang diproduksinya saat itu mengalami kegagalan.
Setelah Thomas Nicely, guru besar matematika di Lynchburg College, menulis surat kepada Intel, perusahaan yang didirikan Andrew Grove itu tetap ngotot. Padahal itu tergolong pelanggaran etika di bidang engineering, setidaknya karena Intel menyembunyikan kelemahan dalam chip-nya kepada konsumen.
Kata Intel, “Masalah kegagalan itu hanya akan terjadi pada pemakaian perhitungan spreadsheet satu kali dalam 27 ribu tahun penggunaan.”
Kekeliruan yang diakibatkan processor itu memang menyangkut pembagian yang rumit dan detail. Ia mungkin masalah ‘kecil’ bagi banyak orang, karena yang terjadi, adalah perbedaan hasil pembagian, misalnya, 4195835/3145727 adalah 1,333382, sedangkan P5 memberi hasil 1,33374. Kesalahannya memang hanya 0,0006%.
Saat itu, para juru uji kualitas (quality control) Intel sebenarnya sudah menengarai adanya masalah ini, dan memberi tahu para manager. Tetapi para manager itu tidak mau merespon, mengingat kenyataan bahwa sebagian besar pengguna ‘tidak akan menyadarinya’.
Barangkali bila pemakai komputer itu adalah bapak dan anak pada ilustrasi di atas, perkaranya tak seberapa bermasalah. Tetapi bagi ahli matematika seperti Nicely itu soal penting. Ia pun akhirnya mengangkat kasusnya lewat Internet, sehingga menyebarlah berita buruk itu ke berbagai penjuru dunia.
Belakangan, banyak konsumen lain ikut mengeluhkan soal chip itu. Krisis makin memuncak. Berbagai media memberitakan masalah itu. Lebih parah lagi, belakangan IBM menolak memakai chip Intel, sehingga krisisnya baru berhasil pulih setelah saham Intel sempat turun 5% dan Intel rugi jutaan dolar.
Itu membuktikan bahwa sebuah krisis yang tidak ditangani dengan baik bisa berlangsung lama dengan kerugian yang amat besar. Bagi perusahaan, kerugian itu bisa berupa berpindahnya konsumen kepada brand pesaing, menurunnya harga saham, sampai kepada sebuah kebangkrutan, sebagaimana yang terjadi pada Enron, Andersen dan World.Com di AS lebih satu dasawarsa lalu.
Dalam kasus Intel, untung saja setelah beberapa pekan terpuruk dalam krisis, perusahaan itu akhirnya mengakui dan meminta maaf atas insiden yang tak diharapkan itu. Maka, kasusnya segera pulih kembali, dan nama baik Intel pelan-pelan naik lagi.
Seharusnya Partai Demokrat pun bisa meniru langkah Intel tadi. Sebelum melakukan pembenahan ke dalam, termasuk dengan mengharuskan kadernya menandatangani Pakta Integritas, semestinya PD lebih dulu meminta maaf atas kesalahan yang terjadi (meski itu dilakukan oleh ‘oknum’ kader dan bukan atas nama partai), dan mengakui secara jujur dan terbuka.
Tidak perlu menutup-nutupi, apalagi bersikap defensif, misalnya dengan menyebut-nyebut nama parpol lain yang juga melakukan korupsi. Sebagai the ruling party, wajar bila PD dan para tokohnya mendapat lebih banyak sorotan media ketimbang partai lain – sebab di mana pun di dunia ini, media memprioritaskan kejadian yang menyangkut para elit di sekitar penguasa, hangat kejadiannya, dekat lokasinya dan punya dampak besar.
Semua pimpinan organisasi yang ingin sukses mesti ingat bahwa kebutuhan terhadap trust tidak saja perlu untuk memuaskan peran mereka sebagai ‘penyampai pesan’ bagi organisasi agar selalu tampak kredibel, melainkan juga sangat penting dalam tujuan membentuk dan memelihara hubungan baik mereka dengan publiknya.
Bila fungsionaris parpol hanya pandai ber-retorika, dan tidak berusaha secara terus menerus merebut trust masyarakat -- khususnya lewat bukti perbuatan yang menunjukkan keterbukaan, kejujuran dan keadilan -- maka percuma saja mereka mengganti pimpinan partai dan menandatangani Pakta Integritas, sehebat apa pun kalimat yang tertulis dalam pakta itu. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar