Sabtu, 02 Februari 2013

Tantangan PKS


Tantangan PKS
Rakhmat Hidayat ;   Pengajar Jurusan Sosiologi Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Kandidat PhD Universite Lumiere Lyon 2 Prancis
REPUBLIKA, 01 Februari 2013

  
Secara mengejutkan, Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Luthfi Hasan Ishaq (LHI) dijemput KPK karena dugaan suap impor daging pada Rabu (30/1). Penangkapan ini mengejutkan banyak pihak, baik kalangan internal maupun di luar PKS. Di kalangan internal, petinggi PKS memberikan dukungan dan imbauan kepada kader-kadernya untuk terus mendoakan Luthfi agar diberikan kekuatan selama menjalani proses hukum. Tidak sedikit kalangan eksternal yang tidak percaya dengan penangkapan ini. Beberapa politisi partai lain seolah tidak percaya dengan penangkapan ini karena sosok LHI yang dikenal sebagai sosok yang alim, religius, dan berwibawa. 

Kasus penangkapan ini mewarnai panggung politik nasional 2013 menjelang perhelatan Pemilu 2014. Tentu kita harus menempatkan asas praduga tidak bersalah dalam kasus ini. Proses hukum masih akan berlangsung dengan berbagai perkembangan terbaru. Pengadilan yang akan menentukan salah atau tidaknya kasus LHI. 

Selain itu, yang perlu didorong juga adalah agar KPK tidak melakukan tebang pilih dalam kasus-kasus korupsi yang juga melanda petinggi-petinggi partai di republik ini. Beberapa petinggi PKS mengakui bahwa kasus ini adalah murni kasus pribadi LHI. Meskipun, tidak bisa dipisahkan ruang pribadi dengan jabatan politik yang melekat pada LHI.

Ada beberapa tafsir yang bisa dijelaskan dengan penangkapan ini. Pertama, penangkapan LHI menunjukkan pertaruhan kredibilitas PKS yang secara elegan mengusung semangat bersih, peduli, dan profesional. Komitmen antikorupsi yang diusung kader PKS diuji dalam kasus ini. Dalam berbagai catatan kasus korupsi, sangat jarang kader PKS didera kasus korupsi. Berbeda dengan kader-kader dari partai besar lainnya. Sebagian menganggap kasus ini adalah tsunami politik bagi PKS. Jika dicermati secara kritis, inilah waktu yang tepat untuk mengapitalisasi kekuatan kader dari pusat hingga kader akar rumput.

Kedua, secara politik, kasus ini menjadi peringatan bagi PKS dalam menyongsong Pemilu 2014. Ini menjadi pintu masuk untuk mengonsolidasikan struktur partai dalam berbagai ajang pemilukada selama 2013. Puncaknya adalah Pemilu 2014. Secara politik juga, harusnya kasus ini menjadi stimulan agar PKS lebih solid mempersiapkan pertarungan politiknya dalam berbagai pemilukada. 

Pertaruhan Kredibilitas

PKS adalah partai politik pertama pasca-Orde Baru yang berani mengusung jargon bersih dan peduli. Bersih dalam arti jauh dari perilaku korupsi. Tidak heran kader-kader PKS di berbagai posisi legislatif maupun eksekutif dikenal sebagai kader yang berintegritas, bersih, dan jujur. 

Dalam politik nasional, sejauh ini hanya tercatat dua kasus yang menjerat kader PKS, yaitu kasus L/C fiktif Bank Century yang menjerat Mukhamad Misbakhun. Tetapi, kasus ini tidak murni korupsi. Bahkan, Misbakhun dikabulkan peninjauan kembali (PK) oleh Mahkamah Agung. Dengan demikian, Misbakhun tidak bersalah dalam kasus tersebut. Kasus lain juga dialami Arifinto yang tertangkap kamera sedang melihat gambar porno saat sidang paripurna penutupan masa sidang III tahun 2010- 2011 pada 8 April 2011. Akhirnya, Arifinto mengundurkan diri sebagai anggota DPR. Kasus Arifinto hanya berkaitan dengan etika seorang anggota dewan. 

Secara politik, selain LHI, tidak ada kasus korupsi yang dialami kader PKS.
Ini menjadi pelajaran penting bagi PKS sekaligus menjadi tugas baru kader- kader PKS untuk meyakinkan kepada publik terkait jargon bersih dan peduli yang selama ini diusung PKS. Tentu saja publik akan mempertanyakan jargon tersebut terkait dengan kasus yang melanda. Kredibilitas inilah yang menjadi pertaruhan PKS menjelang Pemilu 2014.

Konsolidasi politik PKS sebenarnya mendapatkan pelajaran berharga dari Pemilukada DKI Jakarta 2012. Pada pemilukada tersebut, suara PKS yang mengusung kandidat Hidayat-Didik hanya mampu bertengger di posisi ketiga dengan perkiraan suara 11-12 persen. Tersingkirnya pasangan Hidayat-Didik mengulangi pengalaman PKS pada Pemilukada 2007. Bahkan, suara PKS menurun tajam dibandingkan Pemilukada 2007. 

Ketika itu, PKS mengusung pasangan cagub Adang Daradjatun-Dani Anwar yang hanya mendapat dukungan 42,13 persen. Pasangan Fauzi Bowo-Prijanto dengan dukungan 21 partai berhasil meraih 57,87 persen. Perolehan suara PKS di DKI Jakarta pada Pemilu 2009 adalah 18 persen dari total pemilih. Posisinya kedua terbesar di bawah Partai Demokrat (PD). 

Ini adalah untuk kali pertama trafik PKS turun dalam sejarah politiknya di Ibu Kota. Pada Pemilu 2004, PKS malah menjadi jawara di Jakarta partai pemenang pemilu. Pada Pemilukada Jakarta 2012, merujuk pada hasil perolehan suara Pemilu 2009, ditunjukkan bahwa partai pemenang Pemilu 2009 (PD dan PKS) jauh tertinggal dengan kandidat yang diusung PDI-P dan Gerindra. Ironisnya, suara PDI-P di Jakarta pada Pemilu 2009 jauh di bawah PD dan PKS.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar