Sabtu, 02 Februari 2013

Tak Ada (lagi) Parpol Islam


Tak Ada (lagi) Parpol Islam
Moh Mahfud MD ;  Guru Besar Hukum Konstitusi
SINDO, 02 Februari 2013

  
Tiga hari lalu, Rabu (30/1/2013) sekitar jam 19.00 WIB, berlangsung diskusi tentang politik umat Islam menyongsong Pemilu 2014 di Restoran Nusa Dua, dekat Gedung DPR. Pertemuan rutin yang dimotori Amien Rais dan Noer Mohammad Iskandar itu menghimpun eksponen ormasormas dan parpol yang, katanya, berbau Islam untuk membicarakan peran politik umat Islam menyongsong Pemilu 2014. 

Ketika berita itu muncul, peserta diskusi sedang mendengarkan pandangan Ketua Pemuda Muhammadiyah Saleh Daulay yang menggugat istilah parpol Islam. Bagi Saleh, untuk konteks Indonesia saat ini, tidak ada parpol Islam yang sebenarnya. Alasannya, orientasi politik semua parpol sama saja, tak ada yang khas Islam diperjuangkan oleh parpol tertentu. Di Golkar, yang dianggap bukan parpol Islam, banyak tokoh-tokohnya yang berbasis gerakan Islam. 

Sementara di PDIP ada Baitul Muslimin, di Partai Demokrat ada Majelis Dzikir. Sebaliknya di PPP, PAN, PKB, dan PKS yang sering dianggap sebagai parpol Islam, tak jelas juga langkah-langkah islaminya. Ketika memperjuangkan aspirasi masyarakat, subjek yang diperjuangkan oleh semua parpol adalah umat Islam juga dan ketika terjadi korupsi atau bancakan atas kekayaan negara sama saja, hampir semua parpol tersebut berpartisipasi karena ada kader-kadernya yang jadi koruptor. 

Kata Daulay, sebenarnya dalam faktanya Golkar, Partai Demokrat, dan PDIP adalah partai nasionalis yang religius; sedangkan PKB, PAN, PPP, dan PKS adalah partai religius yang nasionalis. Jadi jangan dipertentangkan, biar umat ini jernih memandang. Saat mendengar uraian Daulay tiba-tiba Blackberry saya berbunyi, “ting”, ada pesan masuk. 

Saya kaget luar biasa karena pesan itu berbunyi, “Presiden PKS Luthfi Hasan Ishaaq ditetapkan sebagai tersangka korupsi impor daging sapi,” pesan itu disertai copypaste berita dari sebuah media online. Astaghfirullah, berita itu seakan-akan menambah pernyataan Saleh Daulay secara langsung bahwa, “Di parpol yang disebut Islam pun ada koruptornya, sama dengan parpol yang tak disebut parpol Islam.” 

Saya bukan anggota PKS,tetapi hampir semalam suntuk saya tak bisa tidur, terus memelototi televisi dari saluran satu ke saluran lain,memantau perkembangan kasus itu. Hati merasa teriris ketika menyaksikan “live” dari sebuah televisi saat Luthfi Hasan Ishaaq diambil oleh KPK justru ketika sedang memimpin rapat DPP PKS. Betulkah ini? 

Bukankah baru beberapa saat sebelumnya Hidayat Nur Wahid, Suswono, dan Luthfi Hasan Ishaaq sendiri menegaskan bahwa tidak ada kaitan antara kasus impor daging sapi dengan PKS maupun tokoh-tokohnya? Saya sungguh sedih karena selama ini, meski tak luput dari isu KKN, saya memandang PKS sebagai parpol yang masih bisa menjaga kebersihannya dari korupsi dan menunjukkan militansinya sebagai parpol Islam.

Kalau berbicara tentang parpol, sampai ke luar negeri sekali pun, saya sering menjadikan PKS sebagai contoh parpol yang berakhlak baik, anggota-anggotanya disiplin, dan relatif bersih dari KKN. Meski bukan anggota PKS, selama ini saya bangga dengan PKS yang berusaha mengibarkan bendera Islam dengan disiplin dan semangat untuk menunjukkan bahwa Islam itu “bisa” dan “Oke” bagi masa depan Indonesia. 

Tapi dengan ditangkapnya Luthfi Hasan Ishaaq kampanye saya tentang partai bersih itu menjadi tak berlaku dan, terus terang, saya jadi agak malu karena kemudian berhamburan pesan yang sepertinya mengejek saya karena sering menjadikan PKS sebagai contoh parpol bersih. Dengan dijadikannya Luthfi Hasan Ishaaq sebagai tersangka oleh KPK tentu PKS dan Luthfi Hasan Ishaaq bisa melakukan pembelaan diri dan menuding KPK tak profesional atau memolitisasi kasus untuk PKS. 

Tapi saya sendiri meyakini lebih dari 90% bahwa KPK akan mampu membuktikan keterlibatan Luthfi Hasan Ishaaq dalam korupsi atau penyuapan di Pengadilan Tipikor kelak. Berdasar pengalaman selama ini, ketika KPK menetapkan seseorang sebagai tersangka, alat buktinya bukan hanya cukup, melainkan lebih dari cukup. Semakin dibantah, biasanya si pembantah semakin dipermalukan oleh fakta di persidangan. 

Sebelum menangkap seseorang, biasanya KPK sudah mengantongi rekaman pembicaraan atau SMS si tersangka sejak jauh sebelumnya yang mencakup apa yang dibicarakan, kapan akan bertemu, berapa uang yang akan diantar, di mana antaran itu akan diserahkan, dan sebagainya. Tidak masuk akal jika dikatakan KPK melakukan penangkapan karena mendapat informasi beberapa jam sebelumnya dari masyarakat. 

Yang benar, pastilah KPK sudah menyadap dan mengintai sejak berbulan-bulan sebelumnya, apalagi isu impor daging sapi sudah muncul sejak Januari 2011. Menurut saya, sebaiknya kita tak perlu mengklaim adanya parpol Islam. Sebab, seperti kata Daulay, di semua parpol tersebut ada tokoh gerakan Islamnya dan banyak program-program islaminya. Tetapi pada saat yang sama di semua parpol tersebut ada juga koruptor-koruptornya. 

Menjadi benar bahwa di Indonesia ini tidak ada parpol yang lebih baik maupun parpol yang lebih jelek dari yang lain, semuanya sama. Tidak ada parpol yang bisa mewakili umat Islam untuk menunjukkan kemuliaan Islam. Secara nyata sekarang ini tak ada (lagi) parpol Islam, kecuali sekadar formalitas dan jargon-jargon yang akhirnya terasa palsu. 



Tidak ada komentar:

Posting Komentar