Rabu, 06 Februari 2013

Tahun Vivere Pericoloso PD


Tahun Vivere Pericoloso PD
Airlangga Pribadi Kusman  ;   Dosen Departemen Politik FISIP Universitas Airlangga, Kandidat PhD Asia Research Center Murdoch University
JAWA POS, 06 Februari 2013


ALMARHUM KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, sang presiden filsuf, saat memberikan pengajian di rumahnya, Ciganjur, pernah menjelaskan makna vivere pericoloso. Kata itu menjadi bagian dari pidato kenegaraan terkenal Bung Karno, yakni Tahun Vivere Pericoloso atau Tavip, pada 17 Agustus 1964. Menurut Gus Dur, vivere pericoloso adalah orang-orang yang bekerja di dekat tungku perapian besar. Peran mereka sangat penting bagi masyarakat. Namun, mereka selalu berada dalam kondisi bahaya. Jika salah melangkah, nyawa taruhannya. 

Metafora Bung Karno itu agaknya menjelaskan kondisi dalam dinamika politik di Partai Demokrat (PD) saat ini. Setelah pengumuman Saiful Mujani Research Center yang salah satunya memprediksi turunnya suara PD di tengah kepuasan terhadap pemerintah SBY, survei itu kemudian menjadi berita yang ikut memberi bumbu, atau malah dijadikan alasan, bagi konfik internal PD. 

Dalam kondisi demikian, SBY sebagai pemimpin penentu PD dan ketua dewan pembina, tengah dituntut berperan sebagai seorang filsuf raja. Perannya sebagai penentu utama dalam konflik di tubuh partai ditunggu-tunggu untuk merespons cepat, namun saksama bagi PD, bahtera politik yang membawanya menjadi pusat di dalam pusaran kekuasaan Indonesia. Sebab, bisa jadi turunnya elektabilitas PD ini merupakan akibat gaya slow motion dari Presiden SBY yang secara perlahan mengikis harapan yang selama ini digantungkan, baik oleh konstituen maupun publik. 

Kondisi yang dihadapi PD kini memang genting. Setiap petinggi partai ibarat bekerja dalam tungku perapian. Jika salah melangkah sedikit, terbakarlah konsekuensinya. Dalam kondisi demikian, nakhoda utama partai tersebut, yaitu Presiden SBY, diharapkan menjadi dirigen yang bijak dalam menghadapi kemelut di dalam partainya. 

Dia dihadapkan pada tantangan besar dalam partai politik yang selanjutnya menjadi warisan politik yang bakal dikenang dalam sejarah politik Indonesia. Apabila langkahnya tepat, akhir kekuasaannya menjadi pijakan penting dan contoh seorang pemimpin yang menyelesaikan kemelut. Sebaliknya, apabila tidak, dia hanya akan dikenal sebagai politisi yang membiarkan bahtera politiknya hancur lebur pada akhir masa kepemimpinannya. 

Tantangan di depan mata adalah PD mampu melakukan konsolidasi politik yang solid dalam waktu setahun sampai 2014 sehingga tetap menjadi kekuatan nomor satu dalam pemilu. Ini bukan perkara mudah. Apalagi, performa partai saat ini disibukkan oleh konflik internal, dihantam kasus dugaan beberapa kader yang terlibat korupsi, dan performa partai dalam beberapa momen pilkada yang kurang meyakinkan. 

Untuk menghadapi persoalan di atas, PD harus menyiapkan diri dalam waktu yang singkat dengan memperbaiki mesin politiknya. Setidaknya ada tiga hal yang patut dipertimbangkan oleh Presiden SBY, jajaran petinggi, serta kader partai dalam mempersiapkan diri menuju momen 2014. 

Pertama, kini saatnya membangun konsolidasi politik internal yang solid. Yakni, mengintegrasikan lini eksekutif, legislatif, dan basis partai politik sebagai pilar utama kekuatan yang memenangkan Presiden SBY pada 2009. Resolusi konflik politik yang memanas sebagai bagian dari dinamika politik di internal PD harus segera ditemukan.

Setiap pihak dan aktor strategis yang berkonflik dalam partai seharusnya sadar bahwa dalam kondisi genting seperti ini bukan saatnya melakukan pertarungan di antara faksi. Ini adalah saat yang mendesak untuk duduk bersama satu meja dan membicarakan cara memperkuat kembali kinerja partai dalam waktu setahun. Terlalu mepet waktu untuk saling menyingkirkan.

Kedua, antikorupsi yang menjadi agenda penting dalam reformasi ekonomi politik kita. Dalam struktur politik predatoris yang begitu kental saat ini, agenda antikorupsi sangat mendesak untuk merehabilitasi republik. Meski demikian, urgensitas wacana antikorupsi ini jangan sampai tertunggangi dan menjadi bagian dari kepentingan politisi dari satu faksi politik untuk menghantam faksi yang lainnya. 

Dari titik ini, independensi dan otoritas KPK dalam menyelesaikan kasus-kasus korupsi yang menyandera PD seperti kasus Hambalang menjadi penting untuk dicermati. Jangan sampai kader yang belum terbukti atau dijadikan tersangka oleh KPK kemudian mendapatkan stigma politik sebagai pelaku korupsi yang justru disalahgunakan oleh kader-kader PD itu sendiri. Kesalahan untuk mengambil tindakan dengan menghantam kader yang belum terbukti bersalah di tengah urgensitas bagi konsolidasi politik menuju 2014 akan berujung pada bunuh diri politik bagi partai tersebut. 

Ketiga, kembalikan kepercayaan publik terhadap PD. Ini saatnya PD menyadari, setelah selesainya kepemimpinan Presiden SBY 2014, PD tidak lagi dapat bergantung pada kepemimpinan figur dan kharismanya. PD harus menjelma menjadi partai politik modern. Fondasi ideologisnya harus ditata. Organ kadernya harus ditempa untuk mendekatkan diri kepada akar rumput. Manajemen konfliknya harus dibangun agar dinamika konflik di kalangan kader tidak menjelma menjadi pertarungan tak sehat yang menghancurkan partai itu sendiri. 

Pada momen vivere pericoloso ini, kebijakan seorang pemimpin, kedewasaan kader, dan pelembagaan politik akan diuji. Rakyat melihat bagaimana mereka membangun solusi cerdas saat menghadapi tantangan selama 1-2 tahun ke depan yang genting.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar