Selasa, 05 Februari 2013

Suap dan Bisnis Keluarga


Suap dan Bisnis Keluarga
Augustinus Simanjuntak ;  Dosen Program Manajemen Bisnis
Universitas Kristen Petra Surabaya
JAWA POS, 05 Februari 2013


SALAH seorang tokoh perusahaan keluarga (family business) di Indonesia, Siti Hartati Murdaya Poo, presiden direktur PT Hardaya Inti Plantation (HIP), akhirnya divonis Pengadilan Tipikor Jakarta Selatan 2 tahun 8 bulan penjara plus denda Rp 150 juta atas kasus suap PT HIP kepada Bupati Buol (Sulawesi Tengah) Amran Batalipu. Kasus ini berawal dari tertangkapnya General Manager PT HIP Anshori setelah melakukan transaksi suap dengan Amran. Suap bernilai Rp 3 miliar itu bertujuan untuk memuluskan pengurusan hak guna usaha (HGU) lahan kelapa sawit di Buol. 

Kasus Hartati merupakan pelajaran berharga bagi semua keluarga yang memiliki usaha supaya lebih berhati-hati dalam memosisikan perusahaan dalam mengambil keputusan manajerial. Perusahaan keluarga yang sudah berperan besar dalam pembangunan ekonomi di republik ini perlu dilindungi dan dicegah dari perbuatan nista suap. Berdasar data Family Business Network (FBN), sekitar 90 persen perusahaan di Indonesia adalah milik keluarga (family business). Perusahaan keluarga telah ikut menyumbang 24 persen GDP kita. 

Anggota keluarga di perusahaan keluarga umumnya bertindak sebagai pemilik (owner), direksi, komisaris, dan staf (dalam rangka pengaderan). Mereka bisa saja terseret kasus hukum yang dilakukan bawahan-bawahannya (vide pasal 1367 KUH Perdata). Bahkan, berdasar pasal 3 (c) UU Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (PT), pemegang saham ikut bertanggung jawab atas kerugian atau kesalahan perusahaan jika ia terlibat dalam perbuatan melawan hukum oleh perseroan itu. Bawahan bisa saja mengakui bahwa tindakannya sudah sepengetahuan atau atas perintah pemilik dan direksi.

Menurut UU PT, direksi bertanggung jawab penuh atas pengurusan perseroan untuk kepentingan dan tujuan perseroan serta mewakili perseroan, baik di dalam maupun di luar pengadilan sesuai anggaran dasar (vide pasal 1). Lalu, pasal 3 UU PT juga menyatakan bahwa pemegang saham perseroan (catatan: yang tidak melakukan intervensi) tidak bertanggung jawab secara pribadi atas tindakan atas nama perseroan. Dengan kata lain, PT memiliki karakter private entity yang sejak disahkan sebagai badan hukum memiliki tanggung jawab mandiri. 

Jadi, keluarga yang bertindak sebagai pemilik (pemegang saham) sebenarnya tidak perlu berperan secara langsung dalam operasional perusahaan, termasuk melanggar hukum dengan menyuap birokrat pemerintah. Mereka hanya berhak atas dividen dan penentuan arah kebijakan umum perusahaan lewat rapat umum pemegang saham (RUPS). Juga, meminta pertanggungjawaban direksi dan komisaris lewat RUPS atas semua tindakan manajerialnya. Jika perusahaan merugi atau mendapat tuntutan hukum akibat ulah direksi beserta jajarannya, direksi dan bawahannya bisa segera dirombak oleh RUPS. 

Bahkan, jika ada utang perseroan yang tidak mampu dibayar perusahaan, keluarga tidak lagi ikut bertanggung jawab atas utang tersebut. Sebab, harta keluarga sudah terpisah dari harta perusahaan. Itulah keistimewaan perusahaan keluarga yang berbadan hukum. Namun, situasinya bisa berbeda jika anggota keluarga terlibat langsung di manajemen sebagai direksi, manajer, atau staf dalam perseroan. Misalnya, Hartati berposisi sebagai presiden direktur. Itu berarti dia bertanggung jawab langsung terhadap semua tindakan perusahaan.

Good Corporate Governance 

Karena itu, apabila keluarga ingin perusahaannya terus berkembang dan terhindar dari masalah hukum, keluarga perlu berkomitmen tinggi terhadap tata kelola perusahaan yang baik atau good corporate governance (GCG). Pertama, pentingnya transparansi dalam pengambilan keputusan, pemilihan direksi dan komisaris (sesuai kapasitas dan profesionalitas), serta pelaporan kondisi perusahaan kepadastakeholders. Kedua, akuntabilitas seluruh organ perusahaan demi efektivitas perusahaan. Ketiga, kepatuhan manajemen terhadap hukum. 

Keempat, kemandirian manajemen perusahaan keluarga. Intervensi anggota keluarga yang bisa berujung pada perbuatan melawan hukum perlu dihindari. Juga, keadilan perusahaan dalam memenuhi hak-hakstakeholder sesuai perjanjian atau aturan yang ada. Dengan begitu, perusahaan keluarga dapat meningkatkan laba tanpa bermasalah hukum serta mampu menyediakan barang/jasa yang bermutu tinggi bagi masyarakat. Penerapan prinsip GCG otomatis akan meningkatkan nilai perusahaan (citra baik di masyarakat), efisiensi, dan efektivitas kinerja dewan direksi dan komisaris. 

Di luar perusahaan pun, anggota keluarga sebaiknya menjauhi perbuatan tidak terpuji yang bertentangan dengan norma. Selain itu, anggota keluarga yang juga pemegang saham sebaiknya tidak melakukan bisnis dengan perusahaan sendiri yang bisa menimbulkan persaingan usaha tidak sehat atau iklim usaha yang tidak kondusif. Etikanya, manajemen perusahaan keluarga diharapkan terlebih dahulu mengabdi kepada kepentingan perusahaan, bukan kepada para anggota keluarga pemilik secara serampangan.

Manajemen perusahaan jangan sampai digiring ke praktik bisnis yang tidak profesional demi kepentingan pragmatis yang membuat pola manajerialnya kacau atau menyimpang. Keadaan perusahaan keluarga yang tidak bertahan lama ke generasi berikutnya atau terjerumus ke masalah hukum sebenarnya merupakan manifestasi dari tata kelola perusahaan yang tidak baik karena dominannya intervensi anggota keluarga terhadap manajemen perusahaan. Bahkan, ada tindakan bisnis perusahaan keluarga yang diwarnai dengan praktik suap ke birokrat pemerintah dengan sepengetahuan pemilik atau diperintah pemilik. Sehingga, manajemen lupa bertanggung jawab atas kewajiban hukum dan kelestarian lingkungan.

Jadi, apabila perusahaan keluarga dikelola dengan baik sesuai prinsip GCG, keluarga sebagai pemilik maupun pengelola akan banyak diuntungkan. Selain laba yang bisa terus naik, anggota keluarga akan terhindar dari persoalan hukum. Perusahaan keluarga yang sudah berbentuk perseroan identik dengan manusia buatan (artificial person) yang secara hukum dapat berfungsi seperti manusia biasa. Ia butuh kemandirian dalam bertindak, terutama dalam membuat keputusan manajerial. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar