Sabtu, 09 Februari 2013

Solusi Politik Konflik Mali


Solusi Politik Konflik Mali
Andi Purwono  ;    Dosen Hubungan Internasional/Dekan FISIP
Universitas Wahid Hasyim Semarang
SUARA MERDEKA, 08 Februari 2013



INTERVENSI militer Prancis di Mali tidak juga membuat konflik di negara Afrika Barat itu mereda. Perserikatan Bangsa-Bangsa bahkan mencatat sedikitnya 230.000 orang telah mengungsi. Tepatkah kehadiran militer Prancis di negara bekas jajahannya itu, dan  apa solusi terbaik?

Kekacauan terjadi di Mali pascakudeta militer terhadap Presiden Amadou Toumani Toure pada 22 Maret 2012. Di utara, muncul kelompok bersenjata seperti Al Qaeda di Maghribi Islam (AQIM), Gerakan Keesaan dan Jihad di Afrika Barat (MUJAO), Ansar Dine dan Gerakan Pembebasan Nasional Azawad (MNLA).  Bentrok antara tentara pemerintah dan  gerilyawan utara kemudian terjadi.

Konflik Mali dengan demikian adalah konflik bersenjata domestik (non-international armed conflict/NIAC).  Karenanya intervensi militer Prancis bukan solusi tepat, karena justru memicu berbagai problem baru.

Pertama; dunia melihat ketergesa-gesaan Prancis melakukan serangan tanpa kewenangan yang sah. Sejumlah analisis berkembang bahwa Prancis ingin tetap menjaga eksistensinya dalam sektor politik dan perekonomian Mali yang memiliki berbagai sumber alam seperti  tambang uranium yang melimpah, minyak, gas, emas, berlian, dan tembaga.

Prancis mulai melakukan serangan pada 9 Januari 2013 namun baru mendesak pertemuan darurat Dewan Keamanan PBB pada 14 Januari.  Dalam pertemuan itu, memang semua negara anggota Dewan Keamanan menyatakan dukungan terhadap serangan militer Prancis ke Mali dengan sasaran pasukan perlawanan Islam.

Intervensi Perancis terbukti tidak menjamin konflik mereda sehingga masih sulit diduga kapan ketegangan berakhir.  Presiden Prancis Francoise Hollande yang hadir ke Mali (2/2) juga tidak yakin konflik akan segera mereda. Yang baru kita dengar adalah sebatas pernyataan Menteri Pertahanan Prancis Jean-Yves Le Drian bahwa ratusan anggota kelompok Islam militan tewas sejak serangan ke Mali bulan lalu.

Kedua; beberapa persoalan kemanusiaan yang timbul akibat intervensi. Seorang juru bicara Komite Internasional Palang Merah Ali Naraghi mengatakan situasi kemanusiaan di Mali "memburuk dengan cepat". Korban sipil berjatuhan dan pengungsian besar-besaran terjadi karena tempat tinggal mereka turut jadi sasaran serangan udara 30 jet tempur Prancis.

Selain itu dunia juga mengkhawatirkan ekses kekejaman tentara Mali. Pe-nasihat khusus PBB antigenosida Adama Dieng, memprihatinkan laporan perilaku kekerasan tentara Mali saat menguasai kembali kawasan utara negara itu.

Merangkul Semua

Entah karena merasa nyaman dengan kehadiran 4.000 personel Prancis atau alasan lain, tentara Mali diduga merekrut dan mempersenjatai kelompok milisi dari kawasan selatan untuk membunuh orang-orang Arab dan etnis Tuareg di kawasan utara.
Tindakan brutal tentara Mali itu terjadi di kota-kota seperti Sevare, Mopti, Niono, dan kawasan lain yang dilanda pertempuran di kedua pihak.

Pimpinan Jaksa Penuntut Mahkamah Kejahatan Internasional (International Criminal Court/ICC)  Fatou Bensouda sudah memperingatan dugaan praktik kekerasan oleh tentara Mali ini.

Ketiga; keterlibatan Perancis telah mempercepat internasionalisasi konflik baik dari sisi pihak terlibat maupun dampak. ’’Tajuk Rencana’’ harian ini 6 Februari lalu juga menulis bahwa serangan Prancis berisiko memicu ketegangan di negara-negara di kawasan akibat penyeberangan militan ke Aljazair dan Libya. Termasuk dalam konteks ini adalah bahaya teroris ekstrem yang mengancam akan melancarkan serangan luar ke Eropa.

Pascaserangan udara Prancis misalnya, milisi Mali menyandera ratusan warga asing di Aljazair. Di antara sandera itu, terdapat puluhan warga dari negara-negara Barat. Padahal dalam tipologi konflik domestik atau internasional  akan berimplikasi pada hukum perang/humaniter yang berlaku, sekaligus pada strategi penyelesaian konflik yang tepat.

Fakta- fakta tersebut menunjukkan bahwa solusi militer berbahaya. Ia mempertontonkan  persekutuan (aliansi militer Mali-Prancis) yang cenderung sarat kepentingan dan mengabaikan ide keamanan bersama yang diperjuangkan masyarakat dunia. Uni Internasional Ulama Muslim misalnya, secara tegas mengutuk intervensi Prancis.
Karenanya solusi politik harus diutamakan sebagai solusi dan koreksi. Kalaupun ada intervensi, seharusnya berwujud intervensi kemanusiaan secara multilateral. Kekuatan militer bersama bisa saja dihadirkan tetapi dalam kerangka penjamin penyelesaian politik.

Langkah-langkah yang lumrah digunakan kemudian adalah memisahkan kubu bertikai untuk tidak saling menyerang baik dengan gencatan senjata ataupun pembentukan zona demarkasi (pemisah).

Langkah kedua yaitu mempertemukan pihak bertikai untuk menegosiasikan penyelesaian damai.

Langkah terakhir adalah membuat permanen suasana damai dengan membentuk tatanan dan relasi sosial ekonomi politik yang stabil dan merangkul semua.

Dalam konteks itu, peran organisasi regional Afrika lebih pantas diberi ruang sebagaimana diusulkan sejak awal konflik. Cara-cara diplomasi daripada perang seperti kesediaan Presiden sementara  Mali Dioncounda Traore  mengadakan pembicaraan dengan MNLA juga patut didukung.  ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar