Rabu, 20 Februari 2013

Solusi Mempertahankan Ibu Kota


Solusi Mempertahankan Ibu Kota
Effnu Subiyanto Pendiri Forum Pengamat Kebijakan Publik (Forkep),
Mahasiswa Doktor Ekonomi Unair
SUARA KARYA, 19 Februari 2013


Landasan sebagai ibu kota hanya ada dari aspek legal, yakni UU 10/1964 tentang Pernyataan DKI Jakarta Raya tetap sebagai Ibu Kota, yang telah diamandemen menjadi UU 29/2007 tentang Pemprov DKI Jakarta sebagai Ibu Kota NKRI. Namun ironisnya, Jakarta sebagai ibu kota yang sangat strategis, infrastrukturnya ternyata tidak mampu menahan bencana banjir.

Jakarta benar-benar gagal mengelola dirinya sebagai ibu kota. Jokowi tentu saja tidak dapat disalahkan, masa pemerintahannya ketika itu belum genap 100 hari. Birokrasi tercepat Indonesia dalam masa itu belum akan mampu membuat satu kontrak pun. Jadi, keteledoran banjir Jakarta terletak pada gubernur sebelum Jokowi.

Fakta Jakarta sekarang ini sudah memenuhi syarat disebut sebagai potret ibu kota yang gagal. Indikator populasi penduduk yang mencapai 12 juta orang pada siang hari adalah bukan kesuksesan karena sangat tidak berimbang dibanding daya dukungnya. Kepadatan populasi Jakarta kini adalah 16,9 ribu jiwa per kilometer persegi mengalahkan HongKong atau Vatikan yang masih 12 ribu jiwa per kilometer persegi. Rata-rata kepadatan penduduk di ibu kota Eropa malah jauh lebih rendah, misalnya, Den Haag atau Kopenhagen masih 1.200 jiwa per kilometer persegi.

Kendati tingkat densitas penduduk Jakarta belum masuk dalam 50 kota terpadat dunia, namun lanskapnya yang horizontal jelas berbeda dengan tipikal pengaturan penduduk Singapura. Densitas penduduk Singapura sekitar 40 ribu jiwa per kilometer persegi, namun karena disebar ke atas, maka masih banyak ruang terbuka. Akibat komposisi ruang terbuka masih sangat banyak, air hujan masih bisa masuk ke dalam tanah dan tidak semuanya masuk ke sungai atau dibuang percuma ke laut.

Yang mengagetkan, Jakarta ternyata bergeming untuk tetap melanjutkan tradisi konservatifnya mempertahankan sedapat mungkin atribusinya sebagai daerah khusus ibu kota. Kini beredar kampanye 'Jakarta bangkit' atau 'Jakarta berbenah' untuk mengembalikan spirit warga Jakarta yang runtuh. Dan, satu-satunya cara untuk recovery Jakarta, yakni dengan solusi masifnya proyek dengan kekuatan uang yang luar biasa.

Rencana terbaru untuk memulihkan Jakarta adalah proyek great sea wall yang diperkirakan akan menghabiskan sedikitnya Rp 300 triliun. Tanggul laut raksasa ini diharapkan akan mampu memberikan perlindungan Jakarta dari bahaya banjir rob atau monsun dan mengkopi yang telah dilakukan Belanda terhadap Kota Amsterdam. Entah berapa tahun akan mampu menyelesaikan proyek sulit ini dan sepanjang waktu menunggu proyek itu selesai apakah digaransi Jakarta tidak akan kembali tenggelam? Proyek prestisius ini langsung seketika membuat tidak menarik proyek sudetan Kali Ciliwung ke kali Banjir Kanal Timur (BKT) yang diperintahkan Presiden SBY dengan nilai Rp 6 triliun. Demikian pula langsung menafikan proyek penanggulangan paska banjir Rp 2 triliun dan bahkan langsung menghapus gagasan Gubernur Jokowi akan proyek deep tunnel Rp 16 triliun.

Banjir air bah yang bahkan melumpuhkan Jakarta tidak membuat nyali pemerintah tetap mempertahankan Jakarta sebagai ibu kota mengendur. Bahkan, semakin besar bencananya, maka semakin besar dana yang disiapkan, dan muaranya Jakarta tetap membuat magnet bagi seluruh rakyat Indonesia. Situasi ini antitesis tersendiri terhadap gagasan pemerintah untuk mengembalikan warga ke daerah masing-masing dan sebaliknya malah membuat urbanisasi semakin dahsyat.

Padahal, tahun 2013 ini Jakarta juga memiliki super proyek MRT sebesar Rp 103 triliun (tahap 1), monorel, busway, Pelabuhan Tanjung Priok, enam ruas tol baru dalam kota (Rp 45 triliun) dan masih banyak lainnya. Proyek-proyek yang masih berjalan juga masih berlangsung dan ini menambah kocek Jakarta semakin tebal. Sementara proyek dari wilayah spasial, seperti proyek Jembatan Selat Sunda (Rp 200 triliun) juga akan memberikan dampak kepada Jakarta.

Solusi dengan pendekatan proyek untuk memulihkan kondisi Jakarta ini sungguh membuat iri kota-kota lain yang tidak seberuntung Jakarta. Ada pertanyaan mendasar, apakah Jakarta akan dipertahankan tetap sebagai ibu kota meski harus mengorbankan waktu, tenaga dan uang yang tidak rasional lagi? Jakarta mungkin masih feasible menjadi ibu kota, namun jika untuk menjadi yang seperti itu ternyata menghabiskan ribuan triliun, apakah masih layak? Pertanyaan-pertanyaan seperti ini harus secara arif dipikirkan dengan masak-masak oleh pemerintah.

Memang benar, Jakarta memiliki peran dalam mendistribusikan anggaran Rp 1.657 triliun dalam APBN 2013, atau berpartisipasi penting kendati secara tidak langsung untuk men-drive PDB satu triliun dolar AS yang dicita-citakan bangsa ini. Namun, ketika menyadari bahwa begitu besar biaya yang melekat di Jakarta, rasa-rasanya faktor ini sudah mendegradasi arti daerah khusus itu dengan sendirinya.

Pemerintah perlu berpikir kembali jika tetap bersikukuh mempertahankan Jakarta sebagai ibu kota. Biaya pemeliharaan dan membuat fasilitas baru sungguh luar biasa, sementara keluhan sosial tetap keras terdengar. APBD Jakarta yang hanya Rp 49,9 triliun pada 2013 ini sangat tidak memadai jika dibandingkan untuk memenuhi seluruh demand publik. Paradigma Jakarta yang mutlak menjadi ibu kota atau Jakarta 'harga mati ibu kota' harus pelan-pelan digeser ke arah yang lebih rasional, logis dan sehat.
Jakarta sebenarnya sudah merasakan dirinya tidak lagi sekuat satu dekade lalu. 

Statemen tanggap darurat DKI Jakarta 17-27 Januari 2013 oleh Gubernur Jokowi adalah bukti bahwa Jakarta sudah mengeluarkan permintaan SOS. Perbaikan Jakarta sudah tidak bisa diharapkan lagi karena membuang uang sangat besar, sementara penyakitnya tidak kunjung sembuh. Langkah paling bijak seharusnya adalah menutup buku Jakarta untuk memberikan kesempatan kepada kota baru sebagai ibu kota. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar