Minggu, 17 Februari 2013

Sociophrenia


Sociophrenia
Sarlito Wirawan Sarwono  Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
SINDO, 17 Februari 2013


Masih banyak orang yang tidak bisa membedakan antara psikiater (dokter spesialis jiwa, SpKJ) dan psikolog. Sebagian psikolog memang berpraktik mengurusi orang dengan gangguan jiwa.

Mereka disebut psikolog klinis. Tetapi tidak seperti dokter, psikolog klinis tidak memberi terapi obat (medis), tetapi melaksanakan teknik wawancara tertentu yang bertujuan menyembuhkan/membantu klien, yaitu teknik psikoterapi atau konseling. Walaupun berbeda, psikiater dan psikolog klinis mengacu pada buku rujukan yang sama untuk mendiagnosis pasien atau kliennya. 

Ada tiga buku rujukan yang populer di kalangan psikiater dan psikolog klinis, yaitu versi WHO: ICD-10 (International Classification of Disesases chapter 10), versi AS: DSM IV TR (Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder, versi IV, Text Revised), dan versi Indonesia: PPDGJ III (Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa edisi III). Dalam ketiga buku rujukan itu, ada salah satu gangguan jiwa yang namanya schizophrenia. Dalam DSM IV TR, gangguan jiwa ini diberi nomor kode 295, dalam ICD-10 dan PPDGJ kodenya F20. 

Kata schizophrenia berasal dari dua kata Yunani, yaitu pertama skhizein, yang artinya terpisah, atau terbelah (split). Kata Yunani ini juga merupakan asal kata scissor (gunting) dalam bahasa Inggris. Kata kedua adalah phren-yang artinya minda (jiwa). Jadi, schizophrenia (diindonesiakan: skizofrenia) berarti fungsi jiwa yang terbelah,karena gejala-gejalanya memang tidak nyambungnya berbagai fungsi kejiwaan dari penderita,misalnya: tidak bisa membedakan realita dan khayalan, tidak nyambungnya kata dengan perbuatan (bukan dengan maksud berbohong, tetapi memang nggak nyambung karena jiwanya terganggu), tidak nyambungnya emosi dengan pikiran dan perbuatan, dan sebagainya.

Maka penderita skizofrenia (orang awam menyebutnya “orang gila”) ngomongnya ngawur, kalimat-kalimatnya tidak selesai dan meloncat-loncat (karena pikirannya juga meloncat-loncat), mengalami halusinasi (mendengar, melihat, atau merasakan sesuatu yang sesungguhnya tidak ada, namun diyakininya ada, seperti ada yang selalu berbisik di telinganya dll), delusi (merasa dirinya sesuatu yang dipercayanya betul, walaupun jauh dari kenyataan, misalnya merasa dirinya nabi, atau Jenderal Napoleon). 

Dalam keadaan yang akut, penderita skizofrenia bisa tiba-tiba menyerang, bahkan membunuh orang lain tanpa alasan (namanya juga “orang gila”), sehingga di kampung-kampung, penderita biasanya dipasung agar tidak membahayakan orang lain. 

Saya tidak hendak membahas faktor-faktor penyebab dan teknik-teknik penyembuhan skizofrenia, karena itu bukan urusan saya. Tetapi saya melihat banyak sekali gejala-gejala dalam masyarakat yang mirip dengan gejala-gejala skizofrenia, sehingga boleh saya namakan masyarakat Indonesia sekarang sedang menderita sociophrenia (ini istilah saya sendiri, kalau tidak sepakat, atau tidak suka, ya tidak usah ditiru, atau silakan cari istilah sendiri). 

Kita mulai saja dengan kasus “daging sapi” yang merupakan perkembangan dari “dagang sapi” yang sudah kita kenal lebih dahulu. Kasus “daging sapi” melibatkan sebuah parpol yang dicitrakan atau mencitrakan diri sebagai partai ABG (Alim, Bersih, dan Gakmacam-macam). Walaupun tidak setuju dengan pro-poligaminya, jujur saja, saya selama ini cukup percaya pada citra ABG partai itu. Tetapi saya kaget, ketika presiden partai itu (saya tidak kenal dengan beliau) tiba-tiba ditangkap KPK karena dugaan kasus korupsi daging sapi impor. 

Sebelumnya, ditangkap teman presiden partai itu bersama seorang wanita (ulangi: seorang wanita), karena kasus korupsi daging sapi dan selanjutnya dimasukkan ke kamar tahanan KPK. Lebih nggak nyambung lagi, setelah saya ketahui bahwa bapak presiden partai itu bersama kawannya adalah dua sohib sejak di Pesantren Gontor dan lanjut sama-sama kuliah di Universitas King Abdul Azis, Arab Saudi. 

Mana mungkin tokoh-tokoh dengan latar belakang agama yang kental seperti kedua beliau, kok ditangkap KPK hanya gara-gara daging sapi (soal wanitanya kemudian diabaikan begitu saja, karena bukan urusan KPK)? Namun, KPK sendiri juga membingungkan. Katanya Anas Urbaningrum (AU) belum tersangka, nyatanya ada dokumen KPK yang bocor ke media massa yang menyatakan bahwa AU sudah tersangka. KPK langsung berkelit macam-macam dan pihak istana pun, sebagai pihak yang dituduh sebagai pembocor, berkilah macam-macam.  Intinya, pokoknya: menyangkal.

Tetapi argumentasinya nggak nyambung, meloncat-loncat, dan nyatanya dokumen itu ada. Nggak nyambung antara pikiran dan realita. Apalagi kalau bukan gejala skizophrenia masyarakat alias sociophrenia? Mau contoh lain? Banyak sekali. Tinggal pilih sendiri. Kasus cicak-buaya, kasus Bank Century, kasus Hambalang, kasus Bupati Aceng, kasus Gereja Yasmin (sudah diputus MA, kok tetap tidak ditaati oleh wali kota Bogor?), RUU Kamnas dan Inpres Kamnas de-el-el. 

Mau yang mana? Yang jelas semuanya penuh kata-kata dan kalimat-kalimat yang tidak konsisten dan tidak sesuai dengan realita. Bukankah ini sociophrenia namanya? Berbagai pilkada di berbagai daerah, juga mencerminkan sociophrenia. Pilgub Papua sudah makan korban seorang juru kampanye (Golkar) tewas dikeroyok massa yang tidak senang. Di daerah lain, pengikut calon yang kalah membakar kantor KPU atau melempar bom molotov ke kantor atau kediaman calon yang lain. 

Dalam delusinya (khayalannya) calonnya adalah pemenang, padahal pilkada belum terlaksana, dan tetap pemenang walau nyatanya kalah. Nggak nyambung antara khayalan dan realita, plus amuk massa. Makin pas dengan kriteria sociophrenia, kan? Begitu juga dengan amuk-amuk massa yang lain. Alasannya sering kali nggak jelas. Umat Syiah yang bertahun-tahun hidup damai di Sampang, Madura, tiba-tiba dikeroyok dan dibunuhi, rumah-rumah mereka dibakar, gara-gara soal cewek saja. 

Dua kampung berantem timpuk-timpukan batu, perang panah dan perang senjata rakitan gara-gara pemekaran kecamatan, dan rebutan area pertambangan yang ada di salah satu kampung yang akan terakuisisi oleh kecamatan baru. Di tempat lain, masyarakat konflik antar sesama mereka sendiri atau melawan petugas, gara-gara izin-izin ganda yang diterbitkan pemerintah untuk satu lahan yang sama: Bupati mengeluarkan izin, beberapa kementerian di pusat juga mengeluarkan izin, dan BPN punya aturannya sendiri, tetapi semua itu saling berbeda dan diberikan kepada pihak-pihak yang berbeda pula. Sudah pasti ujung-ujungnya ribut di lapangan. Pemerintah pun sudah split. 

Seminggu yang lalu saya diundang ke Bontang, Kaltim, jadi tamunya PKT (Pupuk Kalimantan Timur), untuk memberi ceramah dalam rangka bulan K3 (Keselamatan dan Keamanan Kerja). Saya bukan konsultan tetap PKT, walaupun di awal tahun 2000-an saya dan beberapa rekan psikolog pernah diminta bantuan untuk menyelenggarakan pelatihan “Team Building” untuk sekitar 400 karyawan, staf dan manajer di perusahaan itu, dan sebelumnya juga di PT Badak (gas alam), di kota yang sama. 

Tetapi setelah 10 tahun kemudian saya datang lagi di Bontang, saya hanya melihat kemajuan di kota itu. Perkembangan kotanya pesat, sebagian besar penduduk adalah pendatang dari Jawa Timur dan Makassar, dan saya sempat berjalan kaki di Bontang Kuala, sebuah permukiman yang menjorok ke laut. Rata-rata penghuninya berkecukupan. Saya tidak melihat pengemis, gelandangan dan sampah di jalanan. Mengapa? 

Dari wawancara saya dengan beberapa staf yang menemani saya selama dua hari di sana (termasuk dokter Rachmadsyah SpOG), saya mendapat kesan bahwa hampir semua orang di kota yang baru berumur sekitar 35 tahunan itu, bekerja konsisten dan serius. Apa yang dikatakan, diperintahkan atau digariskan, dilaksanakan dengan sebaik-baiknya, tidak lebih dan tidak kurang. 

Dua industri (pupuk dan gas) yang menjadi jantungnya kota itu adalah industri-industri yang rentan kecelakaan dan harus zero error, maka semua orang dipaksa atau terpaksa untuk disiplin, konsisten, tidak boleh dagang daging, tetap ABG dalam arti sebenarnya, dan itulah yang menyebabkan di Bontang tidak ada sociophrenia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar