Masih banyak orang yang tidak bisa
membedakan antara psikiater (dokter spesialis jiwa, SpKJ) dan psikolog.
Sebagian psikolog memang berpraktik mengurusi orang dengan gangguan jiwa.
Mereka disebut
psikolog klinis. Tetapi tidak seperti dokter, psikolog klinis tidak memberi
terapi obat (medis), tetapi melaksanakan teknik wawancara tertentu yang
bertujuan menyembuhkan/membantu klien, yaitu teknik psikoterapi atau
konseling. Walaupun berbeda, psikiater dan psikolog klinis mengacu pada
buku rujukan yang sama untuk mendiagnosis pasien atau kliennya.
Ada tiga buku
rujukan yang populer di kalangan psikiater dan psikolog klinis, yaitu versi
WHO: ICD-10 (International
Classification of Disesases chapter 10), versi AS: DSM IV TR (Diagnostic and Statistical Manual of Mental
Disorder, versi IV, Text Revised), dan versi Indonesia: PPDGJ III (Pedoman Penggolongan dan Diagnosis
Gangguan Jiwa edisi III). Dalam ketiga buku rujukan itu, ada salah satu
gangguan jiwa yang namanya schizophrenia.
Dalam DSM IV TR, gangguan jiwa ini diberi nomor kode 295, dalam ICD-10 dan
PPDGJ kodenya F20.
Kata
schizophrenia berasal dari dua kata Yunani, yaitu pertama skhizein, yang artinya terpisah,
atau terbelah (split). Kata
Yunani ini juga merupakan asal kata scissor
(gunting) dalam bahasa Inggris. Kata kedua adalah phren-yang artinya minda (jiwa). Jadi, schizophrenia (diindonesiakan: skizofrenia) berarti fungsi jiwa yang terbelah,karena
gejala-gejalanya memang tidak nyambungnya berbagai fungsi kejiwaan dari
penderita,misalnya: tidak bisa membedakan realita dan khayalan, tidak
nyambungnya kata dengan perbuatan (bukan dengan maksud berbohong, tetapi
memang nggak nyambung karena jiwanya terganggu), tidak nyambungnya emosi
dengan pikiran dan perbuatan, dan sebagainya.
Maka penderita skizofrenia (orang awam menyebutnya
“orang gila”) ngomongnya ngawur, kalimat-kalimatnya tidak selesai dan
meloncat-loncat (karena pikirannya juga meloncat-loncat), mengalami
halusinasi (mendengar, melihat, atau merasakan sesuatu yang sesungguhnya
tidak ada, namun diyakininya ada, seperti ada yang selalu berbisik di
telinganya dll), delusi (merasa dirinya sesuatu yang dipercayanya betul,
walaupun jauh dari kenyataan, misalnya merasa dirinya nabi, atau Jenderal
Napoleon).
Dalam keadaan
yang akut, penderita skizofrenia
bisa tiba-tiba menyerang, bahkan membunuh orang lain tanpa alasan (namanya
juga “orang gila”), sehingga di kampung-kampung, penderita biasanya
dipasung agar tidak membahayakan orang lain.
Saya tidak
hendak membahas faktor-faktor penyebab dan teknik-teknik penyembuhan skizofrenia, karena itu bukan urusan
saya. Tetapi saya melihat banyak sekali gejala-gejala dalam masyarakat yang
mirip dengan gejala-gejala skizofrenia, sehingga boleh saya namakan
masyarakat Indonesia sekarang sedang menderita sociophrenia (ini istilah saya sendiri, kalau tidak sepakat,
atau tidak suka, ya tidak usah ditiru, atau silakan cari istilah sendiri).
Kita mulai saja
dengan kasus “daging sapi” yang merupakan perkembangan dari “dagang sapi”
yang sudah kita kenal lebih dahulu. Kasus “daging sapi” melibatkan sebuah
parpol yang dicitrakan atau mencitrakan diri sebagai partai ABG (Alim, Bersih,
dan Gakmacam-macam). Walaupun tidak setuju dengan pro-poligaminya, jujur
saja, saya selama ini cukup percaya pada citra ABG partai itu. Tetapi saya
kaget, ketika presiden partai itu (saya tidak kenal dengan beliau)
tiba-tiba ditangkap KPK karena dugaan kasus korupsi daging sapi impor.
Sebelumnya,
ditangkap teman presiden partai itu bersama seorang wanita (ulangi: seorang
wanita), karena kasus korupsi daging sapi dan selanjutnya dimasukkan ke
kamar tahanan KPK. Lebih nggak nyambung lagi, setelah saya ketahui bahwa
bapak presiden partai itu bersama kawannya adalah dua sohib sejak di
Pesantren Gontor dan lanjut sama-sama kuliah di Universitas King Abdul Azis,
Arab Saudi.
Mana mungkin
tokoh-tokoh dengan latar belakang agama yang kental seperti kedua beliau,
kok ditangkap KPK hanya gara-gara daging sapi (soal wanitanya kemudian
diabaikan begitu saja, karena bukan urusan KPK)? Namun, KPK sendiri juga
membingungkan. Katanya Anas Urbaningrum (AU) belum tersangka, nyatanya ada
dokumen KPK yang bocor ke media massa yang menyatakan bahwa AU sudah
tersangka. KPK langsung berkelit macam-macam dan pihak istana pun, sebagai
pihak yang dituduh sebagai pembocor, berkilah macam-macam. Intinya, pokoknya: menyangkal.
Tetapi
argumentasinya nggak nyambung, meloncat-loncat, dan nyatanya dokumen itu
ada. Nggak nyambung antara pikiran dan realita. Apalagi kalau bukan gejala skizophrenia masyarakat alias sociophrenia? Mau contoh lain?
Banyak sekali. Tinggal pilih sendiri. Kasus cicak-buaya, kasus Bank
Century, kasus Hambalang, kasus Bupati Aceng, kasus Gereja Yasmin (sudah
diputus MA, kok tetap tidak ditaati oleh wali kota Bogor?), RUU Kamnas dan
Inpres Kamnas de-el-el.
Mau yang mana?
Yang jelas semuanya penuh kata-kata dan kalimat-kalimat yang tidak
konsisten dan tidak sesuai dengan realita. Bukankah ini sociophrenia namanya? Berbagai
pilkada di berbagai daerah, juga mencerminkan sociophrenia. Pilgub Papua sudah makan korban seorang juru kampanye
(Golkar) tewas dikeroyok massa yang tidak senang. Di daerah lain, pengikut
calon yang kalah membakar kantor KPU atau melempar bom molotov ke kantor
atau kediaman calon yang lain.
Dalam delusinya
(khayalannya) calonnya adalah pemenang, padahal pilkada belum terlaksana,
dan tetap pemenang walau nyatanya kalah. Nggak nyambung antara khayalan dan
realita, plus amuk massa. Makin pas dengan kriteria sociophrenia, kan? Begitu juga dengan amuk-amuk massa yang
lain. Alasannya sering kali nggak jelas. Umat Syiah yang bertahun-tahun
hidup damai di Sampang, Madura, tiba-tiba dikeroyok dan dibunuhi,
rumah-rumah mereka dibakar, gara-gara soal cewek saja.
Dua kampung
berantem timpuk-timpukan batu, perang panah dan perang senjata rakitan
gara-gara pemekaran kecamatan, dan rebutan area pertambangan yang ada di
salah satu kampung yang akan terakuisisi oleh kecamatan baru. Di tempat
lain, masyarakat konflik antar sesama mereka sendiri atau melawan petugas,
gara-gara izin-izin ganda yang diterbitkan pemerintah untuk satu lahan yang
sama: Bupati mengeluarkan izin, beberapa kementerian di pusat juga
mengeluarkan izin, dan BPN punya aturannya sendiri, tetapi semua itu saling
berbeda dan diberikan kepada pihak-pihak yang berbeda pula. Sudah pasti
ujung-ujungnya ribut di lapangan. Pemerintah pun sudah split.
Seminggu yang
lalu saya diundang ke Bontang, Kaltim, jadi tamunya PKT (Pupuk Kalimantan
Timur), untuk memberi ceramah dalam rangka bulan K3 (Keselamatan dan
Keamanan Kerja). Saya bukan konsultan tetap PKT, walaupun di awal tahun
2000-an saya dan beberapa rekan psikolog pernah diminta bantuan untuk
menyelenggarakan pelatihan “Team
Building” untuk sekitar 400 karyawan, staf dan manajer di perusahaan
itu, dan sebelumnya juga di PT Badak (gas alam), di kota yang sama.
Tetapi setelah
10 tahun kemudian saya datang lagi di Bontang, saya hanya melihat kemajuan
di kota itu. Perkembangan kotanya pesat, sebagian besar penduduk adalah
pendatang dari Jawa Timur dan Makassar, dan saya sempat berjalan kaki di
Bontang Kuala, sebuah permukiman yang menjorok ke laut. Rata-rata
penghuninya berkecukupan. Saya tidak melihat pengemis, gelandangan dan
sampah di jalanan. Mengapa?
Dari wawancara
saya dengan beberapa staf yang menemani saya selama dua hari di sana
(termasuk dokter Rachmadsyah SpOG), saya mendapat kesan bahwa hampir semua
orang di kota yang baru berumur sekitar 35 tahunan itu, bekerja konsisten
dan serius. Apa yang dikatakan, diperintahkan atau digariskan, dilaksanakan
dengan sebaik-baiknya, tidak lebih dan tidak kurang.
Dua industri
(pupuk dan gas) yang menjadi jantungnya kota itu adalah industri-industri
yang rentan kecelakaan dan harus zero
error, maka semua orang dipaksa atau terpaksa untuk disiplin,
konsisten, tidak boleh dagang daging, tetap ABG dalam arti sebenarnya, dan
itulah yang menyebabkan di Bontang tidak ada sociophrenia.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar