Kamis, 14 Februari 2013

Sengkarut Sengketa Verifikasi


Sengkarut Sengketa Verifikasi
Saldi Isra    Guru Besar Hukum Tata Negara dan Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang
SINDO, 14 Februari 2013


Sebagaimana dipercaya banyak kalangan yang concern terhadap penyelenggaraan pemilihan umum (pemilu),tahap verifikasi partai politik (parpol) sebagai peserta pemilu merupakan salah satu fase yang paling krusial dan menegangkan. 

Sebab, di fase ini, Komisi Pemilihan Umum (KPU) menentukan nasib parpol bisatidaknya menjadi peserta Pemilu 2014. Bagaimanapun, jamak dipahami, di antara tujuan membentuk parpol adalah untuk ikut serta bertarung meraih suara pemilih dalam pemilu. Karenanya, pada saat KPU menggelar rapat pleno terbuka untuk menetapkan peserta pemilu,suasana menegangkan menjadi tidak terelakkan. 

Bukan tidak mungkin, dibandingkan dengan kejadian yang sama menjelang Pemilu 2009, ketegangan itu dipicu oleh beratnya persyaratan yang harus dipenuhi parpol untuk menjadi peserta pemilu. Bahkan, selama rapat berlangsung, publik seperti tengah menonton pentas drama kolosal yang menghadirkan KPU, parpol, dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) sebagai lakon utama. Karena kondisi itu, tidaklah terlalu berlebihan untuk mengatakan bahwa ketika KPU menetapkan sepuluh partai politik peserta Pemilu 2014, peristiwa itu seperti hanya akhir sepenggal cerita di babak pertama. 

Sebagai sebuah tahapan panjang, dikatakan penetapan itu hampir dapat dipastikan akan menghadirkan drama lain yang lebih menegangkan. Ternyata, tidak perlu menunggu waktu lama, drama terbaru muncul, yaitu ketika KPU menyatakan tidak dapat melaksanakan putusan Bawaslu yang mengabulkan permohonan Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI). Dalam beberapa hari belakangan, putusan Bawaslu mengabulkan permohonan PKPI menimbulkan pro-kontra. 

Meskipun demikian, pro-kontra menjadi jauh lebih mengemuka begitu KPU sampai pada kesimpulan tidak akan melaksanakan putusan Bawaslu. Sebagian pihak berpendapat bahwa langkah KPU tidak dapat dibenarkan sama sekali dan dapat dinilai sebagai bentuk pelecehan terhadap Bawaslu. Sementara itu, di sisi lain, banyak pihak justru dapat menerima dan membenarkan langkah KPU. 

Pertanyaannya, bagaimana menjelaskan silangsengkarut penyelesaian sengketa yang bermula dari hasil verifikasi parpol peserta pemilu tersebut? Pertanyaan ini menjadi penting dikemukakan karena peranan Bawaslu dalam proses penyelesaian verifikasi dapat dikatakan sama sekali baru. Tidak hanya itu, pengaturan soal ini pun dapat dikatakan masih sangat baru. 

Tidak Final 

Pasal 257 Undang-Undang No 8 Tahun 2012 tentang Pemilu Anggota DPR,DPD,dan DPRD (UU No 8/2012) menyatakan, sengketa pemilu adalah sengketa yang terjadi antarpeserta pemilu. Selain itu, sengketa dapat juga terjadi di antara peserta dengan penyelenggara pemilu sebagai akibat dikeluarkannya keputusan KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota. Dalam kaitan itu, Pasal 258 ayat (1) UU No 8/2012 menegaskan bahwa Bawaslu berwenang menyelesaikan sengketa pemilu. 

Meskipun demikian, Pasal 259 ayat (1) UU No 8/2012 menyatakan bahwa keputusan Bawaslu mengenai penyelesaian sengketa pemilu merupakan putusan terakhir dan mengikat kecuali keputusan terhadap sengketa pemilu yang berkaitan dengan verifikasi parpol peserta pemilu dan daftar calon tetap anggota DPR,DPD,DPRD provinsi/kabupaten/kota. Sebagai salah satu bentuk pengecualian, penyelesaian sengketa pemilu yang merupakan ujung dari verifikasi parpol peserta pemilu, keputusan Bawaslu jelas tidak memiliki kekuatan hukum final dan mengikat. 

Apabila dikaitkan dengan keputusan Bawaslu yang mengabulkan permohonan PKPI, dalam konteks Pasal 259 ayat (1) UU No 8/2012, KPU dapat saja memilih salah satu diantara tiga sikap berikut, yaitu : (1) menerima putusan Bawaslu; (2) menolak dengan cara tidak melaksanakan putusan Bawaslu; dan (3) mendiamkan saja putusan Bawaslu. Dari pilihan yang tersedia, menerima putusan Bawaslu menjadi cara paling aman. Namun karena menilai putusan tersebut tidak mempertimbangkan fakta yang sesungguhnya, KPU memilih menolak melaksanakan putusan Bawaslu untuk menjadikan PKPI sebagai salah satu partai politik peserta Pemilu 2014.

Bagi Bawaslu dan PKPI,sikap tersebut jelas mengecewakan.Namun penolakan yang dilakukan KPU dengan cara tidak akan melaksanakan putusan Bawaslu masih jauh lebih baik dibandingkan dengan mendiamkan saja. Dengan sikap seperti itu, masalah PKPI belum dapat diselesaikan. Karena itu, sesuai dengan Pasal 259 ayat (3) UU No 8/2012, pihak yang merasa kepentingannya dirugikan KPU dapat mengajukan gugatan tertulis ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PT TUN). Artinya, sekiranya mengajukan ke PT TUN, badan peradilan ini akan menjadi tempat paling tepat menilai akurasi data keterpenuhan syarat verifikasi faktual PKPI. 

Untungkan PKPI? 

Sebetulnya, selain ketiga pilihan yang dikemukakan di atas, sebagian pihak berpandangan bahwa KPU dapat memilih cara lain dengan cara mengajukan gugatan ke PT TUN. Pendapat ini sulit dibenarkan karena Pasal 259 ayat (3) UU No 8/2012 menyatakan bahwa yang dapat mengajukan gugatan ke PT TUN hanya sebatas pihak yang merasa dirugikan oleh putusan KPU. Bahkan,dalam Peraturan Mahkamah Agung No 6/2012 tentang Tata Cara Penyelesaian Sengketa Tata Usaha Negara Pemilu dinyatakan bahwa yang dapat menjadi penggugat adalah parpol yang tidak lolos verifikasi. 

Berdasarkan kedua ketentuan itu,pemikiran mendorong KPU mengajukan gugatan melawan putusan Bawaslu ke PT TUN dapat dibaca sebagai jebakan. Dalam konteks tersebut, sekiranya KPU mengajukan gugatan, dapat dipastikan bahwa PT TUN akan menolak dengan alasan KPU tidak memiliki kompetensi menggugat putusan Bawaslu. Sebagai sebuah langkah hukum, dapat dikatakan bahwa pilihan KPU memiliki landasan hukum yang memadai. Karena itu, pilihan mengajukan anggota KPU ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu menjadi pilihan yang jauh dari penyelesaian masalah. 

Sekalipun KPU memiliki alasan hukum yang memadai, membawa penyelesaian PKPI ke PT TUN potensial menguntungkan parpol yang dipimpin Sutiyoso ini. Saya percaya, sekiranya data keterpenuhan syarat verifikasi PKPI dapat dibuktikan, PT TUN akan dengan mudah mengabulkan permohonan PKPI. Tidak hanya itu, dalam soal pembuktian, posisi PKPI dengan KPU dapat dikatakan berada dalam posisi dua berbanding satu (2:1). Selain data yang dimiliki PKPI, data Bawaslu tentu akan menguatkan posisi PKPI. Karena itu, PKPI tidak perlu gusar betul dengan penolakan KPU. 

Sekiranya data PKPI (dan juga Bawaslu) valid, jembatan menjadi peserta Pemilu 2014 pasti segera terbentang. Agar penyelesaian sengketa pemilu tidak berubah menjadi sengkarut yang berlarut-larut, sekiranya proses hukum di PT TUN memenangkan PKPI, saya sarankan agar KPU tidak lagi mengajukan langkah hukum berikutnya. Dalam hal ini, agar menjadi tempat penyelesaian terakhir, PT TUN harus mampu memahami secara benar karakter penyelesaian sengketa pemilu. Semoga. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar