Sabtu, 09 Februari 2013

Seng Seng dan Enigma Kebebasan


Seng Seng dan Enigma Kebebasan
Agus Sudibyo  ;   Anggota Dewan Pers 2010-2013
KOMPAS, 09 Februari 2013


Agar ruang diskusi media tidak menjadi sangat elitis, media massa harus mengoptimalkan rubrik surat pembaca. Mengapa harus surat pembaca? Karena di dalam pemberitaan media, orang awam praktis hanya menjadi penonton.
Media massa sangat terpola untuk mengangkat sensibilitas, minat, dan cara pandang kalangan elite. Konsep tentang otoritas sumber mengondisikan media massa untuk terus-menerus berkutat dengan sumber-sumber resmi negara, pakar, akademisi, dan tokoh LSM.
Elitisme juga terjadi pada pemilihan obyek berita. Jika media memberitakan masalah korupsi, misalnya, hampir pasti itu adalah korupsi besar, melibatkan nama- nama besar dan terjadi di pusat- pusat kekuasaan. Korupsi yang sehari-hari dihadapi rakyat kecil dalam pengurusan KTP, SIM, izin usaha, akta kelahiran, dan lain-lain hanya samar-samar terdengar dalam diskursus media tentang korupsi. Padahal, jika diakumulasikan, berbagai pungutan liar, biaya siluman, dan pemerasan yang sehari-hari dihadapi rakyat kecil sesungguhnya juga merupakan ”megakorupsi”.
Sebagai ruang publik, media belum memberikan porsi yang cukup bagi munculnya suara dan kepentingan orang awam. Inilah yang disinyalir J Thomson sebagai paradoks komunikasi massa.
Komunikasi selalu mengandaikan kesetaraan dan interaktivitas. Namun, komunikasi massa modern dalam praktiknya menempatkan satu pihak sekadar massa pasif: penonton televisi, pendengar radio, pembaca media cetak. Yang difasilitasi media jangan-jangan bukan kegiatan komunikasi, tetapi sekadar transmisi pesan satu arah dari kaum elite kepada mayoritas orang yang tak punya privilese untuk merespons dan melibatkan diri.
Dalam konteks inilah, posisi rubrik surat pembaca sesungguhnya cukup fundamental. Rubrik yang sering diremehkan ini ibarat jendela untuk menyaksikan masalah konkret sehari-hari masyarakat kebanyakan: buruknya pelayanan publik, pungutan liar di hampir semua lini birokrasi, peradilan yang tak berpihak kepada yang lemah, pelecehan hak-hak konsumen, dan lain-lain. Surat pembaca adalah etalase kegelisahan masyarakat yang melegitimasi ruang publik media.
Dalam konteks ini, sungguh memprihatinkan ketika seorang warga bernama Khoe Seng Seng terjerat kasus hukum bertahun- tahun, dan akhirnya diputuskan Mahkamah Agung harus membayar denda Rp 1 miliar gara-gara surat pembaca yang ditulisnya. Surat pembaca itu muncul di dua media nasional tahun 2006.
Seng Seng mengeluhkan status ruko yang dibelinya di ITC Mangga Dua, Jakarta Utara, yang awalnya dijanjikan berstatus hak guna bangunan, tetapi kemudian hanya diakui berstatus hak pengelolaan lahan oleh Pemda DKI. Pihak pengembang kemudian melaporkan Seng Seng ke polisi atas tuduhan pencemaran nama baik. Seng Seng dijerat secara perdata dan pidana sekaligus. Kasus hukum pun bergulir hingga berujung pada keputusan MA.
Bebas dalam Ketakpastian
Kebebasan pers di Indonesia dan kontribusinya terhadap proses demokratisasi telah diakui dunia. Dalam menjalankan fungsi kritik dan deliberasi publik, pers Indonesia salah satu yang terbaik di dunia. Namun, bagaimana bisa dijelaskan di dalam gelimang prestasi itu seorang penulis surat pembaca dihukum denda satu miliar rupiah?
Tak pelak, kasus Seng Seng menunjukkan sisi enigmatis kebebasan pers di Indonesia. Kebebasan itu ternyata masih bersifat ambigu. Di dalam kebebasan itu masih tersimpan ketidakbebasan. Yang sudah bebas rupanya adalah para wartawan dan editor, sementara penulis surat pembaca masih rentan dan berisiko.
Andai nasib Seng Seng itu ditulis dalam berita, dan bukannya di surat pembaca, apakah kasus hukumnya akan mengalir sedemikian jauh? Apakah penggugat berani berperkara melawan media? Apakah penegak hukum sebegitu tegas menjatuhkan hukuman jika yang dihadapi adalah institusi pers? Ketidakpastian menyelimuti kita dalam hal ini.
Lebih jauh lagi, yang paling bertanggung jawab terhadap materi yang telah dipublikasikan media sesungguhnya adalah media itu sendiri. Untuk surat pembaca, rumusannya: 70 persen tanggung jawab media dan 30 persen tanggung jawab penulis surat pembaca. Jika muncul konsekuensi etis atau hukum dari pemuatan surat pembaca, yang pertama-tama harus menanggung adalah medianya, bukan penulis surat pembaca.
Logikanya, pemuatan surat pembaca melibatkan otoritas redaksi untuk menyeleksi dan menyunting surat pembaca. Jika saja surat pembaca Seng Seng tidak dimuat media, tuntutan hukum itu tidak akan muncul.
Dengan demikian, seyogianyalah MA mengoreksi kembali keputusannya dan mempertahankan citra sebagai penegak hukum yang memahami dan menghargai prinsip-prinsip dasar kebebasan pers. Apalagi kasus Seng Seng ini dikhawatirkan berdampak luas. Orang awam menjadi ketakutan untuk menulis surat pembaca. Alih-alih mendapatkan perhatian atas nasib buruk yang dialami, mereka justru harus berurusan dengan hukum dan terancam pidana.
Jika surat pembaca tak membantu menyelesaikan masalah, sebaliknya menghasilkan trauma bagi orang awam, jelas ada yang tak beres dalam kehidupan pers kita. Di tengah-tengah semarak Hari Pers Nasional, seyogianyalah hal ini direnungkan. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar