Dalam
hadis riwayat Imam Ahmad Rasulullah SAW jauh-jauh hari berkata, "Akan datang masanya ketika tidak
ada lagi yang bermanfaat kecuali dinar dan dirham." Pernyataan ini mengacu pada sistem
uang kertas, yang telah menggantikan uang emas (dinar) dan uang perak
(dirham), yang kini memperlihatkan keruntuhannya. Hadis ini mendapatkan
realitasnya dalam 40 tahun terakhir ini.
Runtuhnya
uang kertas terjadi pada hakikatnya yakni nilainya yang semakin susut. Uang
kertas adalah pengkhianatan atas takaran nilai atau harga, yang diwujudkan
sebagai alat tukar, dari fitrahnya semula berupa komoditas bernilai menjadi
semata-mata simbol numerik. Akibatnya, transaksi yang semula tunai bukan
saja menjadi tertunda, tapi juga menggelembung semu.
Metamorfosis Uang Kertas
Untuk
memahami substansi dan posisi hukumnya sebagai riba perlu dimengerti
asal-muasal uang kertas. Untuk sampai pada bentuk yang kita kenal hari ini
uang kertas ber metamorfosis seiring zaman. Setidaknya ada tiga
tahap.
Pertama,
uang kertas lahir sebagai kuitansi (bukti utang), yang dikeluarkan para
pandai emas dan perak, dan dapat ditebuskan kembali oleh
pemiliknya. Dalam syariat Islam, janji utang ini dikenal sebagai dayn, yang haram dipakai sebagai
alat jual-beli.
Pada
satu titik pemerintah memberikan hak monopoli penerbitan surat utang itu
kepada satu pihak saja, yaitu bank sentral. Maka, janji utang yang semula
bersifat privat (antara pemilik harta dan pihak yang dititipinya) kini
menjadi publik dan dipaksakan berlaku umum. Ini terjadi pada abad ke-17.
Kedua,
para bankir yang sekarang memonopoli itu secara sepihak mengubah uang
kertas tadi dari janji utang (promissory
note) menjadi bank note,
yaitu uang kertas tadi tidak lagi bisa ditebuskan menjadi koin emas atau perak
oleh pemiliknya. Meski setiap kali mencetaknya para bankir tetap
menjaminnya dengan emas atau perak batangan. Ini disebut sebagai sistem
standar emas, berlaku pada abad ke-20.
Di
Amerika perubahan itu terjadi pada 1933, pascadepresi hebat. Rakyat Amerika
dilarang memiliki emas dan harus menyerahkannya kepada The Federal Reserve, perusahaan swasta pemegang monopoli dolar
AS. Rakyat boleh kembali membelinya sebagai batangan, tapi dengan harga
lebih mahal.
Kemudian, sejak 1944 Sistem Bretton Wood berhasil dipaksakan sebagai sistem
internasioal. Intinya, satu-satunya uang kertas yang didukung emas hanya
dolar AS (kurs 35 dolar AS/oz), seluruh mata uang kertas lain dikurs tetap
terhadap dolar AS. Ini berlangsung sampai 1971.
Ketiga,
pada Agustus 1971, Richard Nixon, presiden AS yang hampir bangkrut karena
Perang Vietnam, secara sepihak mengakhiri Bretton Wood, mencabut ikatan
emas atas dolar AS. Maka, bank sentral dapat mencetak uang kertas
sekehendaknya. Uang kertas bernilai dan diterima sebagai alat tukar
sepenuhnya atas dasar paksaan undang-undang. Kurs antaruang kertas pun
tidak lagi ditetapkan oleh pemerintah, melainkan oleh para pedagang
uang.
Kisah Rupiah
Lahir
sebagai negara fiskal baru, 1946, Republik Indonesia mengadopsi model yang
sama. BNI 46 ditetapkan sebagai Bank Sentral, menerbitkan Oeang Repoeblik
Indonesia (ORI), dengan janji tiap Rp 2 bernilai satu gram emas.
Bankir internasional menolaknya. Setelah menyerah dalam Konferensi Meja
Bundar (1949), sebagai syarat pengakuan atas RI, BNI 46 diganti oleh De
Javasche Bank (mulai 1951 diubah jadi Bank Indonesia), ORI diganti dengan
UBI (Uang Bank Indonesia).
Begitu
diakui (1949) rupiah dipatok Rp 3,8 per dolar AS. Saat ORI jadi UBI (1952)
rupiah melorot ke Rp 11,4 per dolar. Sepanjang waktu kemudian rupiah terus
melorot sampai Rp 45 (1959), sempat melesat ke Rp 0,25 (1965), berkat
sanering (Rp 1.000 menjadi Rp 1) oleh Presiden Soekarno. Selama Orde Baru
atas order IMF dan Bank Dunia rupiah berkali-kali didevaluasi.
Rupiah
kemudian `terjun bebas' pertengahan 1997, dan sejak itu terus terombang-ambing
--lagi-lagi atas kemauan IMF dan Bank Dunia-- dalam sistem kurs mengambang,
dengan titik terendah Rp 16 ribu, awal 1998. Saat ini fluktuatif di Rp
9.500-Rp 10 ribu. Sementara dolar AS sendiri, yang berlaku sebagai
jangkar, telah kehilangan lebih dari 95 persen daya belinya sejak berlaku
pada 1913. Rupiah telah kehilangan 99 persen daya belinya sejak 1946.
Belakangan
para bankir menemukan teknik baru, bukan untuk menghentikan, tapi
menyembunyikan, proses keruntuhan uang kertas. Namanya redenominasi. Pembuangan
beberapa angka 0 adalah untuk memberi efek psikologis masyarakat untuk
tidak merasa semakin miskin.
Realitas
sejatinya tidak bisa dikelabui. Dalam rentang dua tahun terakhir saja sejak
isu redenominasi dilontarkan 2010 lalu, diukur dengan nilai telor ayam
saja, rupiah telah kehilangan lebih dari 25 persen daya belinya. Dua tahun
lalu Rp 100 ribu dapat 7 kg telor ayam, hari ini cuma dapat 5 kg.
Redenominasi
bukan solusi. Solusinya adalah ikutilah Nabi, kembali kepada dirham perak
dan dinar emas, yang sudah terbukti bebas dari inflasi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar