Senin, 18 Februari 2013

Runtuhnya Uang Kertas


Runtuhnya Uang Kertas
Zaim Saidi   Pimpinan Wakala Induk Nusantara
REPUBLIKA, 16 Februari 2013


Dalam hadis riwayat Imam Ahmad Rasulullah SAW jauh-jauh hari berkata, "Akan datang masanya ketika tidak ada lagi yang bermanfaat kecuali dinar dan dirham."  Pernyataan ini mengacu pada sistem uang kertas, yang telah menggantikan uang emas (dinar) dan uang perak (dirham), yang kini memperlihatkan keruntuhannya. Hadis ini mendapatkan realitasnya dalam 40 tahun terakhir ini.

Runtuhnya uang kertas terjadi pada hakikatnya yakni nilainya yang semakin susut. Uang kertas adalah pengkhianatan atas takaran nilai atau harga, yang diwujudkan sebagai alat tukar, dari fitrahnya semula berupa komoditas bernilai menjadi semata-mata simbol numerik. Akibatnya, transaksi yang semula tunai bukan saja menjadi tertunda, tapi juga menggelembung semu. 

Metamorfosis Uang Kertas

Untuk memahami substansi dan posisi hukumnya sebagai riba perlu dimengerti asal-muasal uang kertas. Untuk sampai pada bentuk yang kita kenal hari ini uang kertas ber metamorfosis seiring zaman. Setidaknya ada tiga tahap. 

Pertama, uang kertas lahir sebagai kuitansi (bukti utang), yang dikeluarkan para pandai emas dan perak, dan dapat ditebuskan kembali oleh pemiliknya. Dalam syariat Islam, janji utang ini dikenal sebagai dayn, yang haram dipakai sebagai alat jual-beli. 

Pada satu titik pemerintah memberikan hak monopoli penerbitan surat utang itu kepada satu pihak saja, yaitu bank sentral. Maka, janji utang yang semula bersifat privat (antara pemilik harta dan pihak yang dititipinya) kini menjadi publik dan dipaksakan berlaku umum. Ini terjadi pada abad ke-17.

Kedua, para bankir yang sekarang memonopoli itu secara sepihak mengubah uang kertas tadi dari janji utang (promissory note) menjadi bank note, yaitu uang kertas tadi tidak lagi bisa ditebuskan menjadi koin emas atau perak oleh pemiliknya. Meski setiap kali mencetaknya para bankir tetap menjaminnya dengan emas atau perak batangan. Ini disebut sebagai sistem standar emas, berlaku pada abad ke-20.

Di Amerika perubahan itu terjadi pada 1933, pascadepresi hebat. Rakyat Amerika dilarang memiliki emas dan harus menyerahkannya kepada The Federal Reserve, perusahaan swasta pemegang monopoli dolar AS. Rakyat boleh kembali membelinya sebagai batangan, tapi dengan harga lebih mahal.

Kemudian, sejak 1944 Sistem Bretton Wood berhasil dipaksakan sebagai sistem internasioal. Intinya, satu-satunya uang kertas yang didukung emas hanya dolar AS (kurs 35 dolar AS/oz), seluruh mata uang kertas lain dikurs tetap terhadap dolar AS. Ini berlangsung sampai 1971. 

Ketiga, pada Agustus 1971, Richard Nixon, presiden AS yang hampir bangkrut karena Perang Vietnam, secara sepihak mengakhiri Bretton Wood, mencabut ikatan emas atas dolar AS. Maka, bank sentral dapat mencetak uang kertas sekehendaknya. Uang kertas bernilai dan diterima sebagai alat tukar sepenuhnya atas dasar paksaan undang-undang. Kurs antaruang kertas pun tidak lagi ditetapkan oleh pemerintah, melainkan oleh para pedagang uang. 

Kisah Rupiah

Lahir sebagai negara fiskal baru, 1946, Republik Indonesia mengadopsi model yang sama. BNI 46 ditetapkan sebagai Bank Sentral, menerbitkan Oeang Repoeblik Indonesia (ORI), dengan janji tiap Rp 2 bernilai satu gram emas.

Bankir internasional menolaknya. Setelah menyerah dalam Konferensi Meja Bundar (1949), sebagai syarat pengakuan atas RI, BNI 46 diganti oleh De Javasche Bank (mulai 1951 diubah jadi Bank Indonesia), ORI diganti dengan UBI (Uang Bank Indonesia).
Begitu diakui (1949) rupiah dipatok Rp 3,8 per dolar AS. Saat ORI jadi UBI (1952) rupiah melorot ke Rp 11,4 per dolar. Sepanjang waktu kemudian rupiah terus melorot sampai Rp 45 (1959), sempat melesat ke Rp 0,25 (1965), berkat sanering (Rp 1.000 menjadi Rp 1) oleh Presiden Soekarno. Selama Orde Baru atas order IMF dan Bank Dunia rupiah berkali-kali didevaluasi. 

Rupiah kemudian `terjun bebas' pertengahan 1997, dan sejak itu terus terombang-ambing --lagi-lagi atas kemauan IMF dan Bank Dunia-- dalam sistem kurs mengambang, dengan titik terendah Rp 16 ribu, awal 1998. Saat ini fluktuatif di Rp 9.500-Rp 10 ribu. Sementara dolar AS sendiri, yang berlaku sebagai jangkar, telah kehilangan lebih dari 95 persen daya belinya sejak berlaku pada 1913. Rupiah telah kehilangan 99 persen daya belinya sejak 1946.

Belakangan para bankir menemukan teknik baru, bukan untuk menghentikan, tapi menyembunyikan, proses keruntuhan uang kertas. Namanya redenominasi. Pembuangan beberapa angka 0 adalah untuk memberi efek psikologis masyarakat untuk tidak merasa semakin miskin. 

Realitas sejatinya tidak bisa dikelabui. Dalam rentang dua tahun terakhir saja sejak isu redenominasi dilontarkan 2010 lalu, diukur dengan nilai telor ayam saja, rupiah telah kehilangan lebih dari 25 persen daya belinya. Dua tahun lalu Rp 100 ribu dapat 7 kg telor ayam, hari ini cuma dapat 5 kg. 

Redenominasi bukan solusi. Solusinya adalah ikutilah Nabi, kembali kepada dirham perak dan dinar emas, yang sudah terbukti bebas dari inflasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar