Sabtu, 02 Februari 2013

Quo Vadis PSSI


Quo Vadis PSSI
Sumaryoto ;  Mantan Ketua I (Bidang Organisasi) PSSI,
Mantan Anggota Komite Normalisasi PSSI
SUARA MERDEKA, 02 Februari 2013

  
TANGGAL 13 Februari 2013 tinggal bilangan hari. Saat itu, Federation of International Football Association (FIFA) menggelar sidang Komite Eksekutif membahas problem yang dihadapi para anggota, termasuk Persatuan Sepakbola Indonesia Seluruh (PSSI) yang sedang berkonflik dengan Komisi Penyelamat Sepakbola Indonesia (KPSI). Bila sampai tanggal itu PSSI tak berhasil menyelesaikan konfliknya dengan KPSI maka FIFA menjatuhkan banned atau sanksi. Quo vadis PSSI?

Ya, mau di bawa ke mana PSSI ketika semangat tiji tibeh, mati siji mati kabeh (mati satu mati semua) menjangkiti pengurus PSSI dan KPSI. Tak peduli dengan nasib pemain dan sepak bola Indonesia, mereka terus berseteru. Selain FIFA, Menpora Roy Suryo pun mengancam membubarkan PSSI dan KPSI.

Ancaman banned dari FIFA bukan kali ini saja. Semenjak PSSI dipimpin Nurdin Halid ancaman itu ada, namun diurungkan dan FIFA lebih memilih membentuk Komite Normalisasi PSSI yang diketuai Agum Gumelar pada 30 Mei 2011, dan penulis menjadi salah satu anggota, untuk menyelenggarakan kongres luar biasa (KLB) 9 Juli 2011 di Solo, setelah dua kali PSSI gagal menggelar kongres. Lahirlah kepengurusan PSSI baru yang diketuai Djohar Arifin Husin, menggantikan Nurdin.

Tapi pengurus baru itu tidak bisa mengakomodasi kepentingan kubu-kubu yang selama ini berseteru maka perseteruan pun kembali terjadi, dan pada Desember 2011 terbentuklah KPSI. Setelah kedua kubu menyelenggarakan KLB masing-masing, muncullah dualisme, antara PSSI dan KPSI yang sama-sama mengklaim institusi yang sah. Sistem kompetisi pun terdikotomi ke dalam Liga Super Indonesia (LSI), warisan kubu Nurdin, dan Liga Primer Indonesia (LPI) yang diakui PSSI sebagai sistem kompetisi resmi.

Dualisme pengurus dan sistem kompetisi berlanjut, FIFA pun kembali mengultimatum menjatuhkan sanksi bagi PSSI pada Desember 2012, namun urung dan FIFA memperpanjang tenggat sampai 13 Februari 2013. Akankah FIFA benar-benar mem-banned PSSI?

Kepentingan Politik

Kita tidak yakin karena kedua kubu di persepakbolaan nasional itu sama-sama pelobi ulung, entah dengan atau tanpa aroma uang sehingga terbukti FIFA selalu urung menjatuhkan sanksi. Padahal, publik berpendapat lebih baik PSSI dikenai sanksi.

Senin (14/1), Roy menyatakan hanya ada dua opsi menyelesaikan konflik PSSI dan KPSI, yakni pilih salah satu atau tidak kedua-duanya. Roy menyederhanakan persoalan dengan menyinyalir, perseteruan itu terjadi antara kubu Nirwan Bakrie dan Arifin Panigoro. Bila ini benar-benar terjadi maka tidak berlebihan bila kita menengarai bahwa konflik di PSSI tidak terlepas, bahkan bisa jadi merupakan buntut, dari perseteruan antara Aburizal Bakrie dan Arifin Panigoro dalam kasus semburan lumpur PT Lapindo Brantas di Sidoarjo Jatim, dan  sebelumnya dua tokoh itu berkongsi.

Bila kita runut ke belakang, kerusakan di tubuh PSSI terjadi karena kepentingan partai politik masuk ke dalamnya, dan itu mulai terjadi pada 1993 dengan keterpilihan Nurdin sebagai ketua umum yang prosesnya diwarnai politik uang. Sejak itu, kepentingan politik dan uang selalu merasuki tiap agenda PSSI, termasuk dalam kompetisi. Kerusakan PSSI bertambah parah ketika kedua kubu, PSSI dan KPSI, tak bisa didamaikan lagi. 

Akankah Menpora membekukan atau bahkan membubarkan PSSI? Itu tak mungkin. Tapi melihat konflik berkepanjangan itu kita seperti melihat semangat tiji tibeh. Para pemimpin kedua entitas itu barangkali berharap bila lembaganya dibubarkan, lembaga lawannya juga dibubarkan. Ini ibarat anak-anak berebut layang-layang putus. Ketika seorang anak mendapatkan layang-layang itu kemudian cepat direbut oleh anak lain, supaya tak seorang pun mendapatkannya, layang-layang itu pun dirobek.

Melihat konflik di PSSI, kita juga teringat legenda Ajisaka dari Kerajaan Madang Kamulan yang memerintah  seorang pembantunya, Dora, menjaga pusaka di rumah, namun di tengah perjalanan, pembantu lainnya, Sembada, diutus mengambil pusaka itu. Karena Dora dan Sembada masing-masing merasa paling berhak mendapat titah dari sang tuan, keduanya pun bertarung dan akhirnya sampyuh (mati semua). Kisah ini tergambar jelas dalam abjad aksara Jawa, pa dha ja ya nya (sama-sama digdaya), namun akhirnya ma ga ba tha nga (menjadi bangkai atau mati semua).

Perseteruan di PSSI juga mengingatkan kita akan kisah Ken Arok pada abad ke-12 yang membunuh Raja Singosari Tunggul Ametung demi merebut tahta dan permaisuri, Ken Dedes, dengan keris Mpu Gandring. Mpu Gandring lebih dulu dibunuh Ken Arok dengan keris yang dibuatnya itu, dan sebelum ajal menjemput, Mpu Gandring mengutuk Ken Arok bahwa keris itu akan merenggut korban hingga tujuh turunan, termasuk Ken Arok sendiri, dan kutukan itu terbukti. 

Sepanjang semangat tiji tibeh dan balas dendam ala Ken Arok tetap menyelimuti jiwa para pengurus PSSI dan KPSI, terus bergejolak, jangan berharap konflik selesai. Kudeta akan melahirkan kudeta baru. Karena itu, FIFA harus benar-benar bijak dan tepat menyelesaikan konflik. Jalan terakhir, FIFA harus menjatuhkan suspended atau pembekuan. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar