Senin, 11 Februari 2013

Quo Vadis Demokrat?


Quo Vadis Demokrat?
R Siti Zuhro ;   Peneliti Senior Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) 
SINDO, 11 Februari 2013

  
Entah apa yang tebersit dalam benak Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) ketika menyaksikan reaksi Partai Demokrat atas hasil survei terakhirnya. 

Bisa jadi inilah ciri partai modern masa depan atau setidaknya akan menjadi sebuah preseden bagi partai pemakainya yakni sebuah hasil survei bisa menjadi dasar untuk mengamputasi otoritas ketua umum partai meskipun pemilu legislatif (pileg) dan pemilihan presiden (pilpres) langsung belum lagi dimulai. Lewat keputusan majelis tinggi partai, SBY mengambil alih kepemimpinan Partai Demokrat. 

Bagi publik, keputusan itu sebenarnya tidak mengagetkan, tetapi sekadar sebuah penegasan kembali. Berbeda dengan partai pada umumnya, secara de facto otoritas ketua umum berada di bawah ketua Majelis Tinggi, Dewan Pertimbangan, dan Dewan Kehormatan yang dijabat SBY, penggagas dan pendiri utama partai. Bagi publik, Partai Demokrat adalah SBY. Jika kita melihat ke belakang pada awal kelahiran partai ini, di tengah kepengapan partai yang korup dan cupek, ikon politik “santun, bersih, dan cerdas” yang ditawarkan Partai Demokrat seperti mata air yang muncul di tengah hamparan rumput kering. 

Apalagi penggagas dan pendiri utamanya, SBY, dilihat publik sebagai orang yang terzalimi karena hubungannya yang bermasalah dengan Presiden Megawati. Pada Pileg 2004 Partai Demokrat langsung merangsek menjadi bagian dari jajaran partai elite bersama dengan Partai Golkar dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Sang penggagas dan pendiri utamanya, SBY, bahkan memenangkan pilpres langsung pertama. Prestasi tersebut semakin dikokohkannya pada pileg dan pilpres langsung 2009. 

Selain berhasil mempertahankan kedudukannya sebagai presiden,Partai Demokrat juga menegaskanjatidirinya sebagai partai pemenang pemilu. Jelas publik tidak keliru ketika memberikan aspirasi politiknya pada Partai Demokrat. Sebagai presiden, SBY mampu menampilkan dirinya sebagai pemimpin yang konstitusional meskipun untuk itu ia dikritik lawan-lawan politiknya sebagai pemimpin yang lamban dalam mengambil keputusan. 

Publik juga terkesima dengan komitmen dan konsistensinya pada persoalan korupsi. Ini dibuktikannya dengan tidak melakukan intervensi politik dan menyerahkan kasus korupsi yang menimpa besannya sendiri pada proses hukum. Ibarat cuaca, naik-turun elektabilitas partai merupakan hal biasa.

Kecuali Partai Demokrat, setidaknya itulah yang dipahami partai-partai lain.Tidak ada partai yang selalu berada di atas angin, kecuali partai penguasa dari sebuah sistem pemerintahan yang otoriter. Tetapi, sejak Pemilu 1999 Indonesia telah menegaskan dirinya sebagai negara yang demokratis. Saking demokratisnya, rakyat tak membubarkan Partai Golkar yang secara historis menjadi mesin legitimasi dari rezim otoriter yang ditumbangkan rakyat pada 1998. 

Dibandingkan dengan variabel lainnya, korupsi telah menjadi faktor terpenting yang memengaruhi naik-turun elektabilitas partai. Karena itu, tidak ada partai yang tidak mengopinikan dirinya sebagai partai antikorupsi, termasuk Partai Demokrat. Tetapi,fakta membuktikan bahwa tidak ada partai yang terbebas dari korupsi. Sepanjang 2012 hasil penelitian ICW menyebutkan hal itu dengan Partai Golkar sebagai partai terkorup (14 kader) dan disusul Partai Demokrat (10 kader). 

Sejauh ini kasus korupsi selalu dilakukan oleh kader partai. Belum ada satu partai pun yang secara institusi dinyatakan terlibat dalam korupsi. Demikian juga dengan kasus yang menimpa kader Partai Demokrat Mohammad Nazaruddin, Angelina Sondakh, Hartati Murdaya, dan Andi Mallarangeng. Selain sebagai partai pemerintah, sorotan media dan publik yang sangat besar terhadap kasus yang menimpa kader Partai Demokrat juga karena partai tersebut merupakan partai yang paling giat menjajakan “jualan” politik antikorupsi. 

Dalam penegakan korupsi, Partai Demokrat termasuk yang paling maju sebab tak ada kata “ampun” bagi kader yang telah dinyatakan sebagai tersangka. Berbeda dengan partai-partai lain yang memperlihatkan pembelaannya dengan beretorika. Namun, tak seperti partai lain juga, Partai Demokrat gagal mereduksi persoalan korupsi sebagai persoalan pribadi kadernya dan bukan persoalan partai. Yang terjadi justru saling tuding sehingga tidak salah bila partai tersebut selalu menjadi bulan-bulanan media dan publik. Seperti negara, partai bukanlah sebuah perusahaan. 

Dengan kata lain, bukan milik pribadi atau keluarga, melainkan milik publik. Karena itu, kesetaraan hak dan kewajiban di antara kadernya merupakan sebuah keniscayaan. Hal tersebut juga disadari oleh para penggagas dan pendiri Partai Demokrat. Setidaknya ini terlihat dalam Kongres Partai Demokrat 2010. Meskipun mengunggulkan Andi Mallarangeng, mereka bisa menerima kemenangan Anas Urbaningrum dalam memperebutkan posisi ketua umum partai. 

Kenyataan tersebut memperlihatkan eksistensi Partai Demokrat untuk menjadi partai modern. Tetapi, eksistensi tersebut seolah menjadi runtuh ketika otoritas ketua umum diamputasi lantaran opini publik yang menyebutkan turut tersangkut kasus korupsi meskipun statusnya belum ditetapkan KPK. Dengan itu, Anas sebagai ketua umum partai dianggap sebagai satu-satunya orang yang harus bertanggung jawab atas elektabilitas partai yang terus menurun. 

Dengan kata lain, hasil kinerja partai bersifat perorangan dan bukan hasil bersama. Fakta bahwa secara de facto kedudukan ketua umum subordinatif di bawah ketua Majelis Tinggi, Dewan Kehormatan, dan Dewan Pertimbangan seolah ternafikan. Kebijakan SBY yang mengambil alih kepemimpinan partai jelas telah menimbulkan tanda tanya besar publik karena Partai Demokrat seperti orang yang memutar mundur arah jarum jam, dari sebuah partai “modern” menjadi kembali sebagai “fansclub”.

Bagaimanapun bukan hak publik untuk menggugat hak internal dapur partai tersebut, kecuali kader-kadernya. SBY sudah menegaskan bahwa siapa pun di antara kadernya yang menentang keputusannya dipersilakan untuk mundur. Meskipun tak memiliki hak intervensi, publik memiliki hak pilih dan caranya sendiri dalam memberikan sanksinya. Bagi publik, media adalah penebar keadilan, representasi suara hati publik. Sejauh ini banyak parpol yang ditinggalkan publik karena dinilai tak melaksanakan tugas pokok fungsinya dan tak memperlihatkan sikap demokratis.

Pelajaran pahit jelas harus diberikan publik pada partai yang lebih mengedepankan “sok kuasanya” dan sifat “autisnya” (sibuk dengan kepentingan dan kekuasaan saja) yang membuatnya ingkar janji dan mengabaikan aspirasi rakyat sehingga keadilan dan kesejahteraan dilupakan. Pileg dan Pilpres 2014-lah yang akan membuktikan. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar