Jumat, 22 Februari 2013

Putusan PTUN dan Sejenak Tertundanya Kiamat Internet


Putusan PTUN
dan Sejenak Tertundanya Kiamat Internet
Agus Pambagio Pemerhati Kebijakan Publik dan Perlindungan Konsumen
MEDIA INDONESIA, 21 Februari 2013


BARU-BARU ini Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) telah mengabulkan permohonan mantan Direktur Utama PT Indosat Mega Media (IM2) dan Indosat untuk menunda pelaksanaan keputusan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Hakim PTUN menilai audit tidak dilakukan sesuai dengan prosedur dan hanya bersumber pada permintaan penyidik Kejaksaan Agung tanpa memeriksa dan meminta bahan-bahan dari IM2 ataupun Indosat. Indosat dan IM2 dalam gugatan mereka ke PTUN menjelaskan BPKP tidak berwenang mengaudit karena yang berhak untuk menghitung kerugian negara pada kasus dugaan tindak pidana korupsi adalah Badan Peme riksa Keuangan (BPK).

Indosat dan IM2 yakin kerja sama mereka dalam hal pemakaian jaringan seluler Indosat tidak menyalahi regulasi, apalagi diindikasikan adanya tindak pidana korupsi. Perjanjian Indosat dan IM2 dinilai sudah sesuai dengan UU No 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi dan bentuk kerja sama serupa juga dilakukan ratusan internet service provider (ISP). Itu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan bahwa peran masyarakat di industri telekomunikasi sangat dimungkinkan, termasuk dalam bentuk pandangan-pandangan.

Dengan demikian, wajar apabila Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel), Kamar Dagang dan Industri (Kadin), dan 13 asosiasi lainnya membuat pernyataan bersama sebagai wujud keprib hatinan atas kasus Indosat-IM2 h dan dampaknya bagi sektor telekomunikasi di Indonesia. Jika Indosat-IM2 dinyatakan bersalah, `kiamat internet' segera muncul karena kerja sama ratusan ISP lainnya juga dinilai melanggar aturan.

Putusan PTUN yang mengabulkan gugatan Indosat-IM2 setidaknya memberi angin segar bagi para pelaku industri telekomunikasi untuk menghindarkan kejadian `kiamat internet'. Pemerintah memiliki kepentingan untuk meningkatkan penetrasi teknologi informasi dan komunikasi. Melalui Inpres No 11 Tahun 2011 tentang Pelaksanaan Komitmen Cetak Biru Masyarakat Ekonomi ASEAN, jaringan broadband berkecepatan 512 kbps diharapkan dapat menjangkau seluruh wilayah Indonesia. Pemerintah kembali membuat target lanjutan melalui Perpres No 32 Tahun 2011 tentang Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI), dengan salah satu targetnya ialah penguatan konektivitas nasional melalui peningkatan jaringan komunikasi dan teknologi informasi untuk memfasilitasi seluruh aktivitas ekonomi.

Di tengah minimnya infrastruktur telekomunikasi, kemunduran telak jika IndosatIM2 diputuskan bersalah oleh pengadilan tipikor. Padahal, yang kini dibutuhkan para pelaku industri telekomunikasi ialah kepastian hukum di tengah kebutuhan ekspansi infrastruktur telekomunikasi. Pihak swasta selama ini berperan besar dalam pembangunan jaringan telekomunikasi yang seharusnya menjadi kewajiban pemerintah.

Perlu Kesepahaman

Dalam kurun 2011-2014, pemerintah mengalokasikan Rp102 triliun untuk pembangunan infrastruktur seperti jalan dan pelabuhan dalam koridor MP3EI. Besarnya kebutuhan pembangunan infrastruktur menunjukkan perlunya pemerintah untuk bekerja sama dengan para pelaku industri. Namun, kerja sama dengan pihak swasta (public private partnership) memerlukan kepastian hukum dan kesepahaman tiap lembaga negara dalam melihat bisnis telekomunikasi.

Namun di sisi lain, pembangunan infrastruktur telekomunikasi saat ini banyak dibiayai operator sendiri, termasuk melalui kontribusi uni versal service obligation (USO) sebagai dana titipan operator.

Karena itu, seharusnya seluruh aparat pemerintahan mendukung upaya para operator telekomunikasi yang telah bersusah-payah membangun infrastruktur untuk kepentingan pelanggan. Akan menjadi pertanyaan besar bagi masyarakat jika terjadi kriminalisasi atas kerja sama yang bermanfaat bagi masyarakat pengguna internet. Terkait dengan gugatan penyidik Kejaksaan Agung terhadap kerja sama Indosat-IM2, itu mengindikasikan masih tidak utuhnya pemahaman beberapa aparat hukum dalam melihat pola bisnis di suatu industri.

Dalam bisnis telekomunikasi, sudah lumrah dilakukan kerja sama antara penyelenggara jaringan dan penyelenggara jasa. Penyedia jaringan telekomunikasi (jartel) yang memenangi tender frekuensi wajib menyediakan kapasitas bagi penyedia jasa telekomunikasi (jastel) melalui kerja sama.

Penyedia jartel, dalam hal ini, ialah Indosat yang memenangi blok frekuensi 2,1 GHz sejak 2006. Adapun IM2 berperan sebagai penyedia jastel. Indosat telah membayar seluruh kewajiban dalam bentuk biaya hak penggunaan (BHP) frekuensi kepada negara sejak 2006.

Dengan kata lain, kerja sama Indosat dengan IM2 tidak harus lagi membuat IM2 membayar Rp1,3 triliun. Pernyataan resmi Menteri Komunikasi dan Informatika bahwa tidak terjadi pelanggaran dalam kerja sama tersebut bahkan seharusnya dapat memberikan kepastian bagi jaksa untuk menghentikan dakwaannya. Jika penyidik berkeras IM2 harus membayar seperti yang dilakukan Indosat, tidak masuk akal jika IM2 dengan aset Rp900 miliar juga harus membayar BHP frekuensi yang melampaui jumlah aset mereka sendiri. Kesalahpahaman itu dapat berujung kepada mahalnya biaya koneksi internet di Indonesia dan pada akhirnya beban tersebut akan ditanggung konsumen.

Diharapkan, kasus IndosatIM2 dapat memberikan pelajaran kepada pemerintah untuk tidak hanya menciptakan iklim yang kondusif bagi operator, tapi juga melindungi kepentingan publik. Melanjutkan kasus itu ke pengadilan tipikor tidak hanya merugikan penyelenggara telekomunikasi, tetapi juga merugikan masyarakat pengguna internet. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar