Sabtu, 23 Februari 2013

Prospek Kusut Islam Politik


Prospek Kusut Islam Politik
Ahmad Sahidah Dosen Falsafah dan Etika Universitas Utara Malaysia
JAWA POS, 23 Februari 2013


KEMENANGAN Partai Kebebasan dan Keadilan (PKK) tentu mendatangkan banyak tanggapan. Sesetengah pemerhati menganggap itu adalah buah kesabaran dari Ikhwanul Muslimin dalam meneroka (merintis) perjuangan politik di bawah rezim tangan besi Hosni Mubarak. Dengan suara yang meyakinkan untuk menerajui (memimpin) politik Mesir, PKK justru menghadapi tantangan sengit dari rakyat sendiri. Di tengah kekhawatiran Barat bahwa Islam politik tidak ramah bagi demokrasi, bagaimana nasib politik Islam di Indonesia. 

Jauh sebelumnya, di awal 2011, isu hangat tentang Poros Tengah mencuat ke permukaan. PPP dan PKS mengangkat perekat partai-partai berbasis Islam. Namun, gagasan itu telah kehilangan rohnya. Apalagi, sang penggagas aliansi tersebut, Amien Rais, telah lampau masa keemasannya. Bagaimanapun, partai nasionalis seperti Golkar dan PDIP masih memegang kunci masa depan politik negeri ini. 

Jika demikian, apakah mimpi kejayaan politik Islam itu adalah khayalan belaka? Mungkin kita perlu melihat PKS. Struktur dan kultur penggiatnya tidak dapat menyembunyikan warna kental sebagai gerakan politik eksklusif meskipun kadang menyebut diri berideologi terbuka. Bali pernah menjadi pilihan untuk musyawarah. Calon legislatif mereka juga berasal dari kalangan bukan muslim. Namun, dengan hanya melihat sekilas visi misi partai, kita pun bisa mengenal dengan mudah bahwa partai tersebut akan menjadikan Islam sebagai solusi bagi persoalan bangsa. Sebuah pilihan yang tentu mempunyai konsekuensi dalam ucapan dan tindakan. 

Sejenak, pengalaman saya bergaul dengan para kader di kampus negara tetangga, Malaysia, meneguhkan partai itu sebagai suara Islam. Para akhwat bergerak tidak pernah mengenal lelah, mengajak TKW pengajian. Jauh dari urusan dakwah, mereka pun menyemai hubungan kekeluargaan. Di hari Lebaran, rumah pengurus menjadi tempat TKW bersilaturahmi. Saya pun melihat betapa hubungan itu hakikatnya tidak terkait dengan politik kekuasaan semata-mata, tetapi jauh dari itu ikhtiar untuk memberikan ''rumah'' yang nyaman bagi pekerja dan pahlawan devisa tersebut. Hal serupa tidak dilakukan oleh organisasai politik lain, lebih-lebih hari pelaksanaan pemilu masih jauh. 

Malangnya, kasus yang menimpa elite PKS menimbulkan keraguaan. Serta-merta citra sebagai partai bersih dan peduli terciprat kasus ''daging sapi'' sang amir. Sebelumnya, anggota parlemennya, Misbakhun, juga terjerat kasus hukum meski di MA bebas. Kasus lain juga pernah dimuat di majalah Tempo  (28 Maret-3 April 2011) bahwa Anis Matta menyangkal telah menggelapkan uang untuk membeli mobil mewah. Namun, gambar rumah mewah sang begawan, Hilmi Aminuddin, di Bandung mengungkap keberadaan pemimpin spiritual partai itu jauh lebih tajam daripada sekadar hiruk pikuk melalui lisan dan tulisan. Alasan Anis Matta bahwa fasilitas itu terkait dengan aktivitas adalah pengesahan terhadap keistimewaan hierarki tertinggi untuk meraup keuntungan materi. Jika demikian, roh dakwah telah mengalami kemunduran di tubuh partai berlambang padi dan bulan sabit itu. 

Harus diakui, konstituen PKS tidak hanya kader murni. Namun, jauh besar daripada itu adalah simpatisan, mayoritas diam. Kenyataan tersebut bisa dilihat dari kekalahan partai ini di Jakarta pada 2009. 

Profesor saya di UIN Jogjakarta Prof Akhmad Minhaji yang memperoleh gelar PhD di Universitas Kanada mungkin secara formal tidak menjadi kader PKS. Namun, keyakinan kepada PKS tidak akan goyah karena boleh dikatakan, dibandingkan dengan partai-partai Islam yang lain, PKS jauh lebih rapi, tersusun, dan kompak. 

Malangnya, partai-partai ''Islam'' lain telah kehilangan elan vital (daya hidup, Red). Partai-partai yang berbasis NU tidak berhasil merintis jalan damai (islah) sehingga Saifullah Yusuf, wakil gubernur Jatim, menyarankan kebersamaan secara kultural saja. Bukankah gagasan itu tidak perlu diungkap? Di mana pun, secara kultural, kaum nahdliyin akan berganding bahu, berdoa, dan merayakan para kiai mereka untuk terus memimpin umat meraih rahmat. Namun, di dalam politik, kekompakan mereka buyar. PPP juga mengalami nasib serupa namun dengan jalan yang berbeda. Kaum tua terlalu kuat mencengkeram partai berlambang Ka'bah itu. 

Justru, di tengah kenaikan pamor partai Islam di negara Arab dan Afrika, tugas terberat PKS ialah membersihkan kader yang terlibat dalam politik busuk agar pamornya tetap mentereng. Bagaimanapun, PAN dan PKB segera menghilangkan kegamangan mereka untuk menjadi sepenuhnya representasi organisasi kemasyarakatan berlambang matahari dan bumi itu. Hampir-hampir, kita tidak bisa mengharapkan PAN dan PKB mewakili suara ''Islam'' politik, sebagaimana harapan serupa tidak juga mudah diamanahkan kepada PPP.

Akhirnya, pada waktu yang sama, perlu disadari bahwa politik Islam di negeri ini tidak bisa disederhanakan kepada partai-partai yang berideologi Islam, tetapi juga kepada partai-partai nasionalis lain yang diterajui oleh politikus berlatar belakang santri. Sayangnya, setali tiga uang, masalah yang mendera Anas Urbaningrum dari PD, misalnya, memperlihatkan kegagalan Islam politik dalam pengertian luas. 

Oleh karena itu, retorika perwakilan Islam politik semestinya wujud di negeri ini bukan sekadar apakah yang bersangkutan berasal dari organisasi keislaman, tetapi lebih jauh apakah nilai-nilai politik Islam seperti sederhana (tawasuth), adil (i'tidal), keseimbangan (mizan), dan nirkorupsi telah meresap ke dalam hati politisi dan mewujud dalam tindakan. Jika tidak, Islam politik di negeri ini pada 2014 akan muflis atau bangkrut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar