Jumat, 15 Februari 2013

Profesionalitas Bawaslu


Profesionalitas Bawaslu
Khairul Fahmi  Dosen Hukum Tata Negara;
Koordinator Kajian Pemilu Pusat Studi Konstitusi FH Universitas Andalas
KOMPAS, 15 Februari 2013


Diterimanya permohonan penyelesaian sengketa pemilu terkait verifikasi partai politik calon peserta Pemilu 2014 mamantik silang pendapat antara KPU dan Bawaslu.
Apalagi, putusan atas permohonan yang diajukan Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI) tersebut juga disertai perintah agar KPU menetapkan partai yang bersangkutan sebagai peserta pemilu.
Di satu pihak, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) begitu percaya diri meletakkan putusannya pada aras final dan mengikat. KPU pun diwajibkan menindaklanjutinya. Di pihak lain, KPU lebih memilih tidak tunduk pada putusan Bawaslu. Alasannya, putusan dimaksud belum final. Pada saat bersamaan, Bawaslu juga dianggap tidak cermat dan melampaui kewenangan dalam menjatuhkan putusan.
Menentukan apakah putusan Bawaslu dalam penyelesaian sengketa sudah bersifat final atau belum kiranya bukan persoalan serius. UU Nomor 8 Tahun 2012 memberikan garis yang jelas dan tegas. Pasal 259 UU ini mengatur, semua keputusan Bawaslu mengenai penyelesaian sengketa pemilu bersifat terakhir dan mengikat, kecuali keputusan sengketa pemilu terkait verifikasi partai politik peserta pemilu dan sengketa penetapan daftar calon tetap anggota DPR, DPD, dan DPRD.
Secara eksplisit, ketentuan di atas mengategorikan putusan Bawaslu pada dua sifat yang berbeda. Ada yang bersifat final dan mengikat, dan ada pula yang tidak final dan tidak mengikat.
Pada kategori pertama, putusan langsung memiliki kekuatan eksekutorial. Sebab, sifat final dan mengikat ”memaksa” para pihak yang bersengketa untuk melaksanakannya. Sementara pada kategori kedua baru sebatas bersifat putusan pendahuluan. Sebab, masih tersedia kesempatan mengajukan upaya hukum jika putusan dimaksud dinilai gagal memenuhi tuntutan para pihak. Pihak yang kalah pun tidak dapat dipaksa melaksanakan jika yang bersangkutan belum dapat menerima putusan tersebut.
Soal Pembuktian
Berdasarkan hasil verifikasi KPU, PKPI dinyatakan tidak memenuhi syarat di enam provinsi. Hanya saja, Bawaslu justru menilai sebaliknya. Sebab, jajaran KPU dianggap tidak bekerja maksimal dalam memverifikasi, terutama verifikasi keanggotaan di daerah-daerah yang secara geografis sulit dijangkau.
Selain itu, jajaran KPU juga dinilai tidak memahami permasalahan geografis sehingga parpol tidak dapat menghadirkan anggotanya sesuai waktu yang ditentukan. Dengan alasan itu, permohonan PKPI dikabulkan.
Jika ditelusuri lebih jauh, pertimbangan Bawaslu memiliki kelemahan yang amat substansial. Pertama, mekanisme verifikasi kepemilikan anggota tidak hanya dilakukan dengan tatap muka antara KPU kabupaten/kota dan anggota partai yang dijadikan sampel verifikasi. Jika sampel verifikasi tidak ditemukan, parpol dapat menghadirkan anggotanya ke petugas selama tahapan verifikasi masih berlangsung.
Dengan dua mekanisme itu, parpol telah diberi ruang yang amat luas untuk membuktikan keterpenuhan syarat keanggotaannya. Semestinya, selain menilai penerapan mekanisme tatap muka, Bawaslu juga melakukan penilaian apakah parpol pun telah maksimal untuk menghadirkan anggotanya dalam verifikasi.
Kedua, proses verifikasi calon peserta pemilu juga tidak luput dari pengawasan Bawaslu. Sebab, Bawaslu beserta jajarannya sampai kabupaten/kota secara aktif ikut mengawasi pelaksanaan verifikasi. Lantas, apakah hasil pengawasan dimaksud telah turut dipertimbangkan dalam pengambilan keputusan?
Mengamati perkembangan proses ajudikasi yang dilakukan, Bawaslu seakan luput dari upaya mempertimbangkan hasil pengawasan jajarannya. Dalam pemeriksaan, Bawaslu justru tidak menghadirkan Bawaslu provinsi dan Panwaslu kabupaten/kota untuk dimintai keterangan terkait hasil pengawasan di daerah parpol yang bersangkutan dinyatakan tidak memenuhi syarat. Padahal, jika langkah ini ditempuh, Bawaslu tentu akan lebih kaya dengan bukti dan memiliki pertimbangan yang jauh lebih komprehensif dalam memutus penyelesaian sengketa.
Ketiga, dalam penyelesaian sengketa pemilu, merujuk ketentuan Pasal 259 Ayat (3) UU No 8 Tahun 2012, Bawaslu semestinya memosisikan diri sebagai mediator. Dalam posisi demikian, Bawaslu cukup memutuskan apakah sengketa pemilu dapat diselesaikan atau tidak, dan bukan memutuskan apakah menerima atau menolak permohonan yang diajukan parpol serta memerintah KPU untuk melaksanakannya. Alih-alih memosisikan diri seperti itu, yang terjadi justru Bawaslu menempatkan diri bak seorang arbiter yang putusannya wajib dilaksanakan para pihak.
Atas alasan itu, sikap penolakan KPU terhadap putusan Bawaslu menjadi wajar. Bawaslu pun tidak perlu merasa tersinggung. Sikap KPU cukup dijadikan evaluasi agar ke depan Bawaslu dapat bekerja lebih baik. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar