Minggu, 10 Februari 2013

Problem Percetakan Alquran


Problem Percetakan Alquran
Nasaruddin Umar ;   Wakil Menteri Agama
REPUBLIKA, 09 Februari 2013


Kebutuhan Alquran setiap tahunnya di Indonesia sekitar dua juta eksemplar. Hal ini diukur dari kriteria keluarga prasakinah. Permasalahannya ialah siapa dan bagaimana mencetak atau menggandakan Alquran di Indonesia? Di negara-negara Islam lain, khususnya di kawasan Timur Tengah, umumnya dicetak oleh percetakan negara, seperti Saudi Arabia, Kuwait, Suriah, Uni Emirat Arab, Mesir, dan Sudan. 

Para pekerja yang sedang haid dialihkan ke divisi yang tidak bersentuhan langsung dengan mushaf Alquran. Atas dasar ini, Pak Maftuh Basyuni ketika menjabat menteri Agama menggagas pabrik percetakan mushaf Alquran dan sekarang sudah beroperasi di Ciawi. Sayang sekali masih berskala kecil sehingga belum bisa bersaing dengan percetakan besar dan masih kesulitan juga ikut tender.

Idealnya, Alquran dipisahkan dengan barang cetakan lain karena kekhususan yang dimilikinya. Alquran sebagai Kalamullah, Firman Tuhan, dalam keyakinan umat Islam harus dimuliakan. Bukan saja dalam bentuk mengamalkan ajaran-ajarannya, tetapi termasuk akhlak terhadap Alquran. Di antara akhlak kita terhadap Alquran tidak boleh disentuh sebelum dalam keadaan bersih, sebagaimana firman Allah, "La yamassahu illa al-muthahharun. (Jangan menyentuhnya sebelum dalam keadaan bersih)." 

Imam Syafi'i memahaminya sebelum bewudhu. Orang yang batal wudhunya disarankan berwudhu, baru kembali menyentuh mushaf Alquran. Orang dalam keadaan janabah dan perempuan menstruasi tidak diperkenankan menyentuh mushaf Alquran. Mereka bisa membaca ayat-ayat Alquran yang mereka hafal.

Kalangan ulama Hanafiah membolehkan perempuan haid menyentuh mushaf karena kata al-muthahharun dalam ayat di atas dimaknainya bersih secara batin. Jika ada orang yang sangat rindu membaca Alquran, tetapi masih sedang menjalani haid maka ada minoritas ulama membolehkannya.

Alquran juga tidak bisa diletakkan sembarang tempat. Harus disimpan dan ditempatkan di tempat yang lebih tinggi, tidak boleh ditindih oleh buku-buku atau benda-benda lain. Memegangnya pun dianjurkan dengan tangan kanan.

Penyimpanannya juga harus di tempat yang bersih, tidak boleh di tempat yang kotor. 
Jika ditemukan robekan Alquran atau Alquran yang sudah rusak, sebagian ulama menyarankannya agar dibakar, mencontoh mushaf-mushaf pada zaman Utsman bin Affan yang sudah tidak digunakan lagi pascaunifikasi kodifikasi Alquran. Itu lebih baik daripada berseliweran di mana-mana dan mungkin di tempat sampah, apalagi diinjak-injak.

Bagaimana hukumnya orang-orang non-Muslim menyentuh mushaf Alquran? Kalangan ulama ada yang membolehkan selama tujuannya baik, seperti memindahkan ke tempat lebih terhormat, membaca dan mengkajinya untuk menemukan kebenaran sejati, serta mengoleksinya sepanjang diperlakukan secara wajar sebagai kitab suci. 

Sebagian lagi ulama yang tidak membolehkannya dengan alasan mereka dapat dikategorikan sebagai najis dengan menunjuk QS at-Taubah [9]: 28, "Innamal musyrikina najasun (Sesungguhnya orang-orang musyrik itu najis)." 

Ayat ini mereka pahami tidak layak bagi non-Muslim menyentuh mushaf Alquran. Ini sama sekali bukan persoalan rasialisme keagamaan, tetapi memang tuntunannya seperti itu. Pikiran ini juga bisa mencegah hal-hal yang tidak diinginkan, misalnya, jika terjadi salah cetak pada mushaf Alquran, lantas pencetaknya perusahaan non-Muslim bisa menimbulkan persoalan lebih rumit, mungkin yang tidak bisa diselesaikan hanya dengan meminta maaf. 

Dalam posisi penulis selaku dirjen Bimas Islam, terutama mungkin subjek- tivitas saya yang mengambil spesialisasi ulumul Qur'an, rektor Institut Perguruan Tinggi Ilmu Alquran Jakarta, dan wakil direktur Pusat Studi Alquran, pernah mengusulkan kepada Pak Menag ketika itu kalau bisa ada regulasi khusus tentang pencetakan Alquran. Tetapi, beliau dengan arif menjawab pelaksanaan tender diatur oleh keppres, tentu kedudukannya lebih tinggi daripada kepmenag. 

Beliau menceritakan, pernah juga penggandaan Alquran dimenangkan perusahaan milik seorang haji, tetapi kemudian disubkontrakkan lagi kepada orang lain, jadi kemahalannya menjadi dua kali. Semenjak itu, saya sependapat dengan beliau, kembali kepada peraturan yang ada, siapa pun yang memenangkan tender, dialah yang paling berhak mengerjakannya. Mungkin untuk sementara, kita bisa berpegang kepada prinsip akhaf al-dhararain atau irtikab al-dhararain, kalau tidak ada jalan lain maka kita sepantasnya memilih risiko paling minim. 

Penerbitan atau percetakan mushaf Alquran di Indonesia masih ditangani oleh swasta. Proyek pengadaan dan penggandaan mushaf Alquran tidak ada regulasi khusus. Siapa saja yang memenangkan tender, dialah yang berhak mencetaknya, tanpa memilah agama, jenis kelamin, dan status khusus yang akan terlibat di dalam percetakan itu. 
Amat memilukan hati sebagai seorang Muslim, menyaksikan halaman-halaman Alquran yang bermasalah dibiarkan berseliweran di sekitar mesin cetak Al- quran, terkadang ada yang diinjak-injak sebelum dikumpulkan di tempat sampah, dijahit oleh orang-orang yang memamerkan aurat, mungkin juga sedang janabah, menstruasi, atau tidak layak menyentuh Alquran. 

Alquran berada di bawah tumpukan buku-buku lain di dalam gudang sempit, bahkan dijadikan dalam dus dijadikan anak tangga untuk mengambil barang- barang di atasnya. Belum lagi, dus-dus Alquran dilempar-lempar dari atas mobil atau dari atas kapal yang memuatnya. Sudah saatnya penggandaan Alquran segera dicetak oleh negara atau kalau belum mampu, diberikan regulasi khusus. 

Tidak Etis

Alquran sebagai kitab suci dan Kalamullah, dijamah oleh tangan-tangan tidak bersih, tidak suci, dan diperlakukan sebagai buku-buku biasa. Mulai dari pembuatan software, patron, pencetakan, penjilidan, penjahitan, penyusunan, pengemasan, sampai pada pendistribusian, idealnya dikerjakan oleh tangan-tangan khusus demi kemuliaan Alquran. 

Sangat naif Indonesia dengan penduduk Muslim terbesar di dunia, tidak memiliki percetakan khusus atau sistem regulasi khsusus penggandaan Alquran. Perhatian saya seperti ini sama sekali tidak ada tujuan lain, kecuali lii'lai Kalimatillah. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar