Kamis, 14 Februari 2013

Prahara Partai Demokrat


Prahara Partai Demokrat
Israr Iskandar  Dosen Sejarah Politik Universitas Andalas 
REPUBLIKA, 11 Februari 2013


Di saat partai-partai lain bersiap-siap menghadapi Pemilu 2014, Partai Demokrat masih terus bergulat dengan prahara internalnya. Konflik internal partai besutan Susilo Bambang Yudhoyono itu sekarang sudah makin terbuka, khususnya menyangkut posisi Ketua Umum Anas Urbaningrum. 

Sejumlah politisi senior Partai Demokrat kembali menuntut Anas mundur dari jabatannya. Nama Anas yang sering dikaitkan dengan kasus megakorupsi Hambalang dianggap membebani partai. Sebaliknya, para pendukung Anas menolak tuntutan itu karena dalam kasus Hambalang Anas belum memiliki status hukum apa pun.

Anjlok di survei Prahara internal PD kembali mencuat karena hasil jeblok partai tersebut dalam pelbagai survei politik belakangan ini. Sejumlah survei bahkan menyebut elektabilitas Partai Demokrat saat ini tinggal 8 persen. Padahal, pada Pemilu 2009 lalu, Partai Demokrat tampil sebagai pemenang dengan raihan 20,8 persen suara. 

Jebloknya elektabilitas Partai Demokrat selalu dihubungkan dengan keterlibatan elite partai ini dalam sejumlah kasus korupsi besar. Paling heboh adalah kasus korupsi Hambalang yang menyeret sejumlah kader utama partai tersebut, mulai M Nazaruddin, Angelina Sondakh, hingga Andi Mallarangeng.

Tak kalah heboh, nama Anas Urbaningrum pun dikaitkan dalam kasus ini. Partai yang gencar menjual isu antikorupsi pada Pemilu 2009 lalu justru terbelit kasus korupsi akut.
Namun, anjloknya elektabilitas Partai Demokrat tak semata karena keterlibatan sejumlah elitenya dalam kasus-kasus korupsi besar. Anjloknya suara Partai Demokrat juga bukan semata karena nama sang ketua umum hampir selalu disebut-sebut dalam persidangan kasus Wisma Atlet dan Hambalang. Faktor melorotnya elektabilitas partai saat ini bersifat sistemis. 

Selain terkait kasus-kasus korupsi besar, seperti kasus Wisma Atlet, Hambalang hingga skandal Bank Century, menurunnya pamor Partai Demokrat juga terkait langsung dengan kepemimpinan dan kinerja SBY sendiri sebagai presiden RI. Bagaimanapun, tingkat popularitas SBY sebagai presiden akan berpengaruh besar pada Partai Demokrat, karena SBY adalah ikon partai ini.

Kelembagaan yang Rentan

Namun, di balik semua itu, jebloknya suara PD juga terkait dengan masih rentannya kelembagaan partai ini merespons berbagai dinamika perkembangan politik. Mapannya kelembagaan mestinya tecermin dari perilaku yang memola maupun budaya politik. Paling tidak, ada dua masalah terkait kelembagaan partai, yakni (1) ideologi dan platform; (2) kohesivitas dan manajemen partai.
(Romli, 2008).

Dalam dunia politik, adanya politisi terlibat skandal hukum, seperti korupsi, bukanlah hal aneh, termasuk di negara demokrasi maju. Cuma, di negara maju, kelembagaan partai sudah terbangun baik. Jika ada skandal korupsi politisi terkuak, tak sampai mengguncang partainya. Ketika beberapa waktu lalu Presiden Jerman Christian Wulff mengundurkan diri karena terlibat skandal korupsi, hal itu tak sampai mengguncang Partai Kristen Demokrat (CDU). Partai mampu melokalisasi skandal Wulff sebagai kasus personal. 

Di Jepang, politisi yang terlibat skandal juga sering terjadi. Namun, hal itu dianggap sebagai masalah oknum politisi bersangkutan, bukan masalah partai. Sistem internal partai sudah berjalan baik. Jika ada politisi bermasalah, mereka mampu melokalisasi masalahnya sebagai masalah hukum. Alhasil, hingga kini peta kekuatan partai-partai politik di negara demokrasi maju tak banyak berubah.

Walaupun anggota atau elitenya terlilit skandal, partai modern tetap punya kans mempertahankan popularitas dan elektabilitasnya. Dengan ideologi dan platform yang jelas, partai modern dalam sistem kepartaian sederhana tetap bisa mempertahankan ceruk pemilihnya sendiri. Kalaupun ada pendukung yang kecewa, tak otomatis mereka akan berpindah ke partai lain, apalagi ke partai yang berbeda ideologi mau pun platform politiknya.

Selain itu, partai dengan kohesivitas organisasi yang baik juga mampu memilah antara masalah kader dan masalah partainya. Korupsi politisi tak serta-merta menjadi masalah kolektif yang dapat mengguncang organisasi. Partai modern dan solid secara organisasi bahkan mampu memulihkan kembali kepercayaan publik yang bisa saja terjadi akibat skandal oknum anggota atau elitenya.

Bandingkan dengan di Indonesia. Kasus Wisma Hambalang tak hanya melibatkan satu atau dua kader Partai Demokrat, tapi bisa lebih banyak lagi.

Begitu pula pelbagai kasus korupsi lainnya, seperti suap impor daging sapi yang melibatkan petinggi PKS baru-baru ini. Belum lagi, banyak indikasi korupsi lain yang `berpusat' di Badan Anggaran DPR yang juga terkait banyak partai.

Jika dibuka secara blak-blakan, korupsi politik sistemis yang melibatkan banyak partai ini jelas mengharu-birukan politik nasional menjelang 2014 nanti.

Implikasi paling dikhawatirkan pun sudah membayang. Sejumlah survei juga menunjukkan bahwa menurunnya elektabilitas Partai Demokrat karena dikaitkan dengan sejumlah kasus korupsi, tak otomatis menaikkan secara signifikan elektabilitas partai-partai lain. Artinya, secara umum, publik pun kecewa dengan partai-partai yang ada. Kondisi ini tentu memunculkan kekhawatiran naiknya angka golput pada pemilu nanti. 

Oleh karena itu, pembenahan tak hanya ditujukan pada kelembagaan partai-partai politik agar mampu menahan guncangan yang menerpa organisasi partai, tapi juga sistem kepartaian secara keseluruhan. Sebab, hal ini menyangkut nasib demokrasi kita. Harus ada upaya radikal untuk membangun sistem kepartaian yang kokoh dan modern sekaligus dapat meminimalisasi penyimpangan sistemis yang melibatkan kepentingan politisi dan partai politik. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar