Kamis, 21 Februari 2013

Prahara Partai Demokrat dan Pertaruhan Politik SBY


Prahara Partai Demokrat dan Pertaruhan Politik SBY
Bawono Kumoro Peneliti Politik The Habibie Center
SINAR HARAPAN, 19 Februari 2013


Prahara tidak berkesudahan di tubuh Partai Demokrat akhirnya mendorong Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) selaku ketua majelis tinggi untuk mengambil alih sementara kepemimpinan partai.

Keputusan pengambialihan itu tertuang dalam delapan solusi langkah penyelamatan partai. Delapan solusi langkah penyelamatan partai itu dihasilkan melalui rapat majelis tinggi di kediaman SBY di Cikeas, Bogor, Jawa Barat, Jumat (8/2) lalu.

Delapan solusi langkah penyelamatan partai itu adalah: (1) Ketua Majelis Tinggi partai bertugas, berwenang, dan bertanggung jawab untuk memimpin penyelamatan dan konsolidasi partai; (2) Segala keputusan, kebijakan, dan tindakan partai ditentukan dan dijalankan Majelis Tinggi partai.

Ketua Majelis Tinggi partai mengambil keputusan dan arahan yang penting dan strategis; (3) Elemen utama partai, terutama Fraksi Partai Demokrat di DPR beserta DPD dan DPC Partai Demokrat, berada dalam kendali dan bertanggung jawab langsung pada Majelis Partai, sesuai hierarki dan konstitusi partai; (4) Majelis Tinggi melakukan penataan dan penertiban partai untuk meningkatkan kredibilitas dan integritas partai; (5) Putusan Majelis Tinggi mutlak dijalankan; (6) Penataan dan konsolidasi partai yang dipimpin Majelis Tinggi berakhir setelah nama baik partai pulih dan normal; (7) Sementara langkah penyelamatan diambil Ketua Majelis Tinggi, Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum diberikan kesempatan untuk memfokuskan diri menghadapi masalah dugaan hukum di Komisi Pemberantasan Korupsi.

Partai Demokrat siap memberikan bantuan hukum, dan (8) Partai Demokrat untuk saat ini melupakan dulu agenda Pemilu 2014 dan mengutamakan penataan, penertiban, dan pembersihan partai dari unsur negatif.

Sejak beberapa pekan belakangan memang kian kencang terdengar suara-suara sejumlah elite Partai Demokrat yang meminta SBY untuk turun tangan memulihkan elektabilitas dan citra partai. Selama ini figur SBY dan Partai Demokrat ibarat dua sisi koin mata uang yang tidak terpisahkan. Popularitas dan ketokohan SBY menjadi semacam mesin pendulang suara menjanjikan bagi Partai Demokrat. Kolaborasi ini telah menempatkan SBY sebagai ikon bagi Partai Demokrat.

Karena itu, kini di saat tingkat elektabilitas Partai Demokrat anjlok SBY pun diminta turun tangan. Sebagaimana diketahui bersama beberapa waktu lalu Saiful Mujani Research and Consulting merilis hasil survei terbaru mengenai tingkat elektabilitas terkini partai-partai peserta pemilu tahun 2014. Dalam hasil survei itu terungkap tingkat elektabilitas Partai Demokrat terus merosot hingga mencapai angka 8,3 persen.

Anas pun kemudian dituding sebagai sebab utama dari penurunan elektabilitas partai tersebut mengingat nama mantan ketua umum PB HMI ini sering kali dikaitkan dengan kasus korupsi pembangunan pusat olahraga Hambalang dan pembangunan Wisma Atlet SEA Games di Palembang, Sumatera Selatan.

Keputusan Presiden SBY untuk melakukan pengambilalihan sementara kepemimpinan partai segera menuai polemik di muka publik. Bahkan, sejumlah pihak menuding keputusan SBY untuk mengambil alih kepemimpinan Anas Urbaningrum merupakan cerminan sikap otoriter sekaligus inkonstitusional karena menyalahi anggaran dasar dan anggaran rumah tangga partai serta tidak menghormati mekanisme prosedural.

Selain itu, SBY dituding lebih sibuk mengurusi partai ketimbang menjalankan fungsi sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan. Apalagi dalam sejumlah kesempatan SBY mengingatkan para menteri anggota kabinet berlatar belakang partai dan kepala-kepala daerah untuk mengutamakan tugas-tugas pemerintahan daripada kegiatan-kegiatan politik di partai.

Pedang Bermata Dua

Dengan berpijak pada realitas historis peran SBY sebagai penggagas dan pendiri Partai Demokrat, maka tindakan untuk melakukan pengambilalihan kepemimpinan partai di masa krisis seperti saat ini sesungguhnya merupakan hal wajar dan dapat dimaklumi.
Secara proporsional tindakan itu dapat dimaknai sebagai bentuk kepedulian seorang SBY terhadap masa depan partai yang telah ia dirikan dan mengantarkannya ke kursi kepresidenan selama dua periode berturut-turut.

Lebih dari itu berlarut-larutnya konflik internal Partai Demokrat bukan tidak mungkin akan membawa dampak buruk bagi keberlangsungan pemerintahan SBY-Boediono. Hal itu lantaran Partai Demokrat merupakan basis politik utama penopang pemerintahan SBY-Boediono.

Di samping itu, konflik internal berkepanjangan di tubuh Partai Demokrat juga tidak produktif bagi proses konsolidasi demokrasi di Indonesia.

Tidak jarang konflik internal berkepanjangan di sebuah partai berujung pada perpecahan dan fragmentasi politik yang ditandai dengan pemisahan diri sekelompok elite dari partai terdahulu untuk kemudian mendirikan partai baru. Fragmentasi politik merupakan “musuh besar” konsolidasi demokrasi karena ia memiliki kontribusi cukup besar dalam melambatkan proses tersebut.

Meskipun demikian, langkah SBY untuk mengambil alih sementara kepemimpinan Partai Demokrat dari genggaman Anas Urbaningrum bukan berarti tanpa risiko politik sama sekali. Langkah berani itu ibarat pedang bermata dua dapat menguntungkan sekaligus merugikan.

Kondisi elektabilitas Partai Demokrat di akhir 2013 nanti akan menjadi acuan bagi hal tersebut. Sebagaimana diketahui bersama Partai Demokrat menargetkan pada akhir 2013 atau empat bulan menjelang pelaksanaan pemilu legislatif 2014 tingkat elektabilitas partai telah pulih dan beranjak naik dari angka 8,3 persen.

Jika kelak tingkat elektabilitas Partai Demokrat beranjak naik dari angka 8,3 persen, publik akan melihat langkah SBY untuk mengambil alih sementara kepemimpinan partai sebagai langkah politik cerdas dan penuh perhitungan matang. Lebih dari itu SBY pun akan menuai pujian dan dukungan luas kader-kader akar rumput partai karena dinilai mampu menjadi jangkar penyelamat partai dari kehancuran.

Di saat bersamaan nama Anas Urbaningrum akan tenggelam dan dikenang sebagai tokoh muda tercepat yang “gugur” di pentas politik Indonesia. Apalagi jika kemudian Komisi Pemberantasan Korupsi secara resmi menetapkan mantan anggota Komisi Pemilihan Umum ini sebagai tersangka kasus korupsi pembangunan pusat olahraga Hambalang.

Akan tetapi, jika kelak di akhir 2013 tingkat elektabilitas Partai Demokrat tidak kunjung beranjak naik dari angka 8,3 persen atau justru semakin merosot tajam, tudingan sejumlah pihak bahwa SBY bersikap otoriter dan dan inkonstitusional saat memutuskan mengambil alih sementara kepemimpinan partai mendapatkan justifikasi.

Alih-alih dikenang sebagai penyelamat partai dari kehancuran, publik dan kader-kader akar rumput akan melihat SBY sebagai sosok diktator baru di tengah gelombang besar demokrasi Indonesia. Citra SBY selama ini sebagai “sang demokrat” dan penggagas reformasi Tentara Nasional Indonesia akan hilang seketika.

Inilah pertaruhan politik terbesar SBY di penghujung karier politik. Bukan hal mudah bagi SBY untuk memulihkan kembali citra dan elektabilitas Partai Demokrat sebagaimana pada pemilu legislatif tahun 2009. Apalagi kini SBY sudah tidak dapat lagi mencalonkan diri sebagai presiden dalam pemilihan presiden tahun 2014 sehingga ekspektasi publik pun diperkirakan tidak akan sebesar dulu lagi.

Akhirnya, waktu akan membuktikan apakah pilihan untuk menjadikan (kembali) figur SBY sebagai barang jualan menjelang pemilu legislatif 2014 merupakan pilihan bijak, cerdas, dan strategis bagi penyelamatan partai. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar