Sabtu, 09 Februari 2013

Politik Menzalimi Demokrasi


Politik Menzalimi Demokrasi
Toeti Prahas Adhitama  ;    Anggota Dewan Redaksi Media Group
MEDIA INDONESIA, 08 Februari 2013


DALAM buku The Nature of the Non-Western World, ahli sejarah lulusan Universitas Cornell, Dr Harry J Benda (1919-1971), menyampaikan kekagumannya tentang perkembangan demokrasi di Asia Tenggara. Menurut pendapatnya, negara-negara baru itu mampu mengatasi berbagai pemberontakan, krisis ekonomi, dan sengketa politik. Lembaga-lembaga demokratik yang dibangun berhasil mengadakan reformasi sosial. “Miraculous,” katanya. Kesimpulan itu didapat setelah pengalaman bekerja di perusahaan dagang Belanda di Jawa. Dia sempat bertemu dan banyak berdiskusi dengan para cendekiawan setempat.

Ketertarikannya pada masyarakat setempat makin mendalam dan membuat dia mengambil keputusan membangun karier atas dasar studinya tentang itu. Benda menulis demokrasi di wilayah itu bisa sukses karena terdapat banyak pemimpin yang penuh pengabdian. Keyakinan para pemimpin itu akan cita-cita demokrasi dihargai dan dihormati sebagian terbesar rakyatnya.

Lebih dari 55 tahun berlalu sejak Benda mengungkapkan kekagumannya itu. Benda pasti nya tak bisa percaya bahwa demokrasi Indonesia sedang mengalami cobaan sebesar sekarang. Cita-cita demokrasi terganggu. Materialisme dan pragmatisme membalikkan arah perjuangan demokrasi. Ada kegusaran dan kegelisahan dalam tahun politik 2013 yang situasinya makin panas.

Saling menjatuhkan antartokoh maupun antarpartai politik, serta politik transaksional dan korupsi besar-besaran yang mengiringinya, membuat demokrasi gonjang-ganjing. Dana kampanye luar biasa besar lebih dibutuhkan, antara lain karena ibaratnya tak ada jabatan tinggi publik tanpa suapan.

Politik Transaksional

Skandal korupsi dianggap musibah bergilir yang singgah ke partai politik masing-masing. Tokoh-tokoh partai `kecipratan dosa'. Wajar bahwa perkembangan ini membangkitkan sinisme masyarakat dan melemahkan posisi partai yang dibebani musibah. Korupsi makin marak karena politik transaksional makin membudaya. Tanpa KPK, kelemahankelemahan ini bisa lewat dari pengamatan dan terbebas dari tindakan. Lebih-lebih bila hukum tidak peka terhadap kecenderungan ini.

Musibah itu lebih-lebih mengagetkan publik bila partai yang tidak disangka-sangka ikut terkena. Dalam wawancara dengan Metro TV beberapa waktu lalu, pernyataan psikolog bidang politik Hamdi Muluk mengandung tafsiran, bagi partai politik yang mengatasnamakan agama dalam menjalankan visi dan misinya, musibah itu justru ibarat peringatan dari Allah. Itu bila dilihat dari sisi spiritualnya.

Korupsi bukan gejala baru. Bentuk korupsi seperti suapan, pemerasan, dan nepotisme sudah ada sejak zaman dulu. Masyarakat semaju apa pun mengenalnya. Yang serakah, yang pintar dan yang licik justru pandai mengutak-atik taktik untuk mendapatkan dana besar dengan mudah.

Sebenarnya tidak kurang tokoh-tokoh sejarah yang berusaha memberantas korupsi. Mereka ada di berbagai belahan bumi, termasuk di Timur Tengah: seperti Imam Ahmad Ibnu Hanbal (780-855), tokoh terkenal dalam ajaran Islam yang sering dianiaya dan dipenjara oleh penguasa di zamannya dan yang memandang rendah jabatan hakim yang di zamannya menjadi sasaran suapan. Juga Abdul Rahman Ibnu Khaldun (1332-1406), ahli sejarah yang terkenal sebagai penentang korupsi, yang pernah menjadi hakim dan berusaha menghapuskan korupsi, tetapi gagal dan malahan dia dipecat. Tokoh yang disebut terakhir itu berkesimpulan, korupsi menyebar karena reaksi berantai sikap ingin mewah.

Restorasi Demokrasi Pancasila

Bila direnungkan, sebenarnya tidak ada pembiaran atas perkembangan akhir-akhir ini. Pemerintah, masyarakat, ataupun dunia politik tentu menyesalkan merebaknya politik transaksional. Korupsi yang pada mulanya bangkit karena sikap mengejar kemewahan, sekarang merajalela bukan demi kepentingan pribadi semata. Pendanaan kehidupan politik membutuhkan biaya luar biasa; di luar kemampuan pelaku-pelaku politik.

Mungkin itu yang menimbulkan asumsi bahwa sistem perpolitikan di mana-mana cenderung menimbulkan praktik korupsi. Pun memang benar bahwa partai-partai politik memerlukan dana besar. Menjadi kewajiban partai politik, sebagai tiang demokrasi, untuk memberikan pendidikan politik kepada jutaan kader dan puluhan juta konstituen. Ini bagian idealisme dan komitmennya.

Namun, pendanaan yang berlebihan telah menyelewengkan idealisme partai dan menzalimi demokrasi murni. Demokrasi kemudian menjadi transaksi dagang kekuasaan. Dua tokoh pimpinan DPR, Marzuki Alie dan Priyo Budi Santoso, dalam wawancara di Metro TV beberapa waktu lalu ini mengajukan berbagai pendapat untuk mengatasi kecenderungan memprihatinkan ini. Antara lain harus dipikirkan sistem pendanaan partai politik dan strategi kampanyenya.

Dengan pemikiran bersama, diharapkan muncul suatu sistem yang bisa meredam heboh di dunia perpolitikan kita. Seandainya tidak terjadi campur aduk antara keserakahan untuk memuaskan kepentingan pribadi dan dorongan kebutuhan politik, mungkin situasinya tidak separah sekarang. Perkembangan yang menyalahi idealisme politik ini jelas menyalahi demokrasi Pancasila.

Pada awalnya semua partai politik memiliki idealisme luhur, masing-masing dengan cara yang dirasanya tepat untuk mengusung visi dan misinya. Dalam perjalanan waktu, keluhuran dan sisi spiritualnya berangsur terabaikan. Padahal sepanjang sejarah peradaban politik semua bangsa, sisi-sisi itu menjadi bagian penting.

Bung Karno ketika dalam pidato pertamanya di forum PBB memperkenalkan lima sila falsafah bangsa, dia mendapat sambutan luar biasa. Khususnya pada saat menyebut sila pertama ‘Belief in God’. Dalam kehidupan politik kita, demokrasi Pancasila mengandung pesan yang menunjukkan tujuan bersama bangsa. Seharusnya demokrasi Pancasila selalu kita junjung tinggi; bukan sebaliknya: kita menjadi larut dalam keserakahan mengejar kekuasaan. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar