Rabu, 06 Februari 2013

Politik dan Uang


Politik dan Uang
Ahmad Syafii Maarif  ;   Pendiri Maarif Institute
KOMPAS, 06 Februari 2013


Pernah terjadi perdebatan panjang pada kurun 1930-an tentang hubungan politik dan agama, antara elite santri nasionalis dan elite nasionalis non-santri. Gaung perdebatan itu masih dirasakan sampai tahun 1950-an. Isu pokok yang diperdebatkan berpusat pada masalah apakah politik itu kotor atau tidak.
Non-santri bersikukuh, politik itu selamanya kotor sehingga agama yang suci jangan dibawa-bawa ke dalamnya. Santri lalu membalik formulanya, justru karena politik itu kotor perlu dibersihkan dengan agama.
Jadi, memang terdapat persamaan pandangan antara santri dan non-santri, politik itu kotor. Bedanya, bagi santri, agar politik itu tidak kotor, politik jangan dipisahkan dari agama. Non-santri menjawab, agama akan menjadi kotor jika bercampur-aduk dengan politik.
Agama dan Politik
Begitulah caranya elite bangsa tempo dulu memandang hubungan politik dan agama, masing-masing tetap bertahan pada pendiriannya. Jika substansi perdebatan ini kita baca dengan menggunakan kaca mata hari ini, fenomena sangat menarik jelas terlihat di depan mata kita.
Jika dulu tokoh santri sangat menjaga martabat dirinya agar tidak terkontaminasi oleh politik yang kotor, sebagian generasi santri sekarang justru dengan bangga berkubang dalam lumpur politik yang kotor itu.
Kondisi semacam inilah yang sangat memprihatinkan mereka yang masih menyimpan nilai-nilai luhur agama dan Pancasila. Nilai-nilai ini sekarang di dunia politik kita telah dibuang ke limbo—tempat pembuangan atau pengasingan—sejarah demi memburu uang dan kekuasaan yang tidak pernah merasa puas. Ibarat menghirup air laut, semakin dihirup semakin dahaga.
Tentu, di ranah pragmatisme politik yang keras dan kejam, siapa yang masih hirau dengan ungkapan-ungkapan bijak yang terdapat dalam semua tradisi di berbagai unit peradaban yang pernah dikenal sejarah umat manusia? Nyaris tidak ada. Tujuan mulia politik untuk kesejahteraan rakyat telah dikorbankan sedemikian rupa untuk memuaskan nafsu pragmatisme para elite yang kini sedang berburu harta dan kekuasaan. Akibatnya, simbol-simbol agama yang sering digunakan untuk mencari pendukung dan pengikut menjadi hambar dan kecut.
Di tangan mereka inilah sekarang demokrasi benar-benar tersandera sehingga tujuan mulia kemerdekaan untuk kesejahteraan bersama semakin menjauh saja. Politisi telah kehilangan kepekaan nurani, pengaruh uang demikian dahsyat. APBN/APBD/BUMN/BUMD terus saja diincar.
Inilah sebuah negeri yang dikatakan beragama, tetapi kelakuan warganya alangkah busuknya.
Dan ironisnya, teman separtai langsung berkomentar, politisi bukan malaikat. Sebuah komentar naif, defensif, dan reaktif, tetapi diucapkan tanpa beban moral yang semestinya terlihat pada diri seorang santri.
Jika demikian faktanya, perdebatan lama di atas masih cukup relevan untuk diungkap kembali. Atau, agar hidup ini tidak kepalang tanggung, buang saja simbol-simbol agama itu, langsung saja berenang dalam lautan politik yang kotor dan busuk itu bersama pihak lain yang juga punya filosofi serupa.
Partai Moralis
Dalam sejarah perpolitikan Indonesia, kita mengenal dua partai moralis, yakni Masyumi dan Partai Katolik. Sekalipun berbeda agama, tokoh-tokoh kedua partai ini sangat terlihat ketat dalam mengawal moralitas anggotanya yang bergerak dalam politik. Mereka menjadikan agama sebagai ajaran moral yang wajib dipedomani dalam mengawal perilaku politik anggotanya. Sebab, tanpa moral, politik pasti merusak (destruktif).
Kerusakan inilah yang kini sedang mengepung kehidupan bangsa ini, pelopornya tidak lain adalah politisi yang tunamoral, tetapi hebatnya tidak kehilangan senyum saat memberi keterangan kepada wartawan. Alangkah hina dan kejinya tontonan serupa ini.
Di era modern, sistem demokrasi memang tidak dapat dipisahkan dengan kehadiran partai yang memang menjadi pilar utama sistem itu. Di sinilah kesulitannya sebab partai di Indonesia pasti menjadi sarangnya politisi. Sistem ini akan dapat berfungsi dengan baik manakala politisinya belajar menjadi negarawan yang lebih memikirkan persoalan bangsa dan negara secara keseluruhan, bukan terpaku dan terpukau oleh godaan kekuasaan sesaat yang menyebabkan orang kehilangan keseimbangan untuk berpikir jernih.
Sebuah partai yang berlagak suci jika suatu saat kesandung musibah moral, reaksi publik terhadapnya pasti akan sangat keras, dan tidak mustahil brutal, yang dapat menyebabkan partai itu kehilangan wibawa dan kepercayaan. Yang akan menjadi korban adalah konstituen partai ini yang sebelumnya punya kebanggaan dan kepercayaan tinggi kepada sosok pemimpin yang ternyata tidak banyak berbeda dengan politisi korup lain.
Akhirnya, sebuah ungkapan dalam Al Quran dalam Surat Al-Hasyr Ayat 2 yang maknanya, ”Maka ambillah pelajaran moral, wahai orang-orang yang punya penglihatan tajam,” mungkin perlu direnungkan kembali dalam suasana serba tidak pasti seperti sekarang ini. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar