Sabtu, 09 Februari 2013

PKS, Merkantilisme Partai Politik


PKS, Merkantilisme Partai Politik
Arya Budi  ;   Manajer Riset Pol-Tracking Institute
TEMPO.CO, 08 Februari 2013


Di tengah gerakan politik yang seolah menjadi sebuah gerakan suci memperjuangkan nilai-nilai transendental, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) mau tidak mau masuk nalar kerja-kerja imanensi, terlibat dalam persekongkolan merkantilis yang terkomodifikasi dalam kelembagaan partai politik. Penangkapan mantan Presiden PKS, LHI, menjadi gambaran penting bagi publik bagaimana sebenarnya partai-partai di negeri ini dikelola. Penetapan tersangka terhadap presiden partai mengkonfirmasi nalar pengelolaan partai yang merkantilistik setelah kasus Nazaruddin yang terus merembet hingga saat ini. 

Dalam merkantilisme politik, sebuah partai akan menjadi kuat jika mempunyai harta atau logistik politik yang berlimpah. Artinya, kekuatan kelembagaan partai politik tidak hanya dilihat melalui jumlah suara yang diperoleh, atau basis massa loyal yang dimiliki, tapi juga penting bagi mereka untuk memiliki cadangan logistik yang berlimpah agar secara maksimal menggunakan ruang-ruang kompetisi dalam agenda elektoral yang demikian liberal dan transaksional. 

Merkantilisme partai politik terjadi karena dua alasan penting. Pertama, demokrasi elektoral yang terjadi di Indonesia dilihat sebagai sebuah agenda jual-beli musiman. Layaknya dalam tradisi musim ataupun periode perdagangan dalam relasi sosial kita. Seperti, ketika warga desa berbondong mengerumuni persimpangan jalan untuk memperdagangkan barang-barang yang dimiliki tiap hari pasar Pon, Wage, Kliwon, Legi, Pahing, dalam penanggalan Jawa. Periode perdagangan elektoral diadakan setiap lima tahun. Hasilnya, kalender menuju musim jual-beli adalah kalender merkantilistik yang paling sibuk dengan merampas dan menjarah APBN di setiap pos kementerian yang dimiliki masing-masing partai berdasarkan jatah kementeriannya. Inilah politik kartel karena partai sudah berdamai untuk tidak saling mengganggu lapak di tiap kementerian yang dimiliki. 

Kedua, perilaku pemilih yang semakin pragmatis sehingga menyebabkan kian rendahnya pemilih loyal. Dalam banyak survei perilaku memilih sepanjang 2012, angka pemilih mengambang lebih dari 50 persen, dan mencapai angka 60 persen dari total responden. Dalam kondisi seperti ini, partai politik memerlukan modal yang tidak sedikit untuk menarik pemilih secara instan menjelang pemilu. Penghimpunan dana melalui mekanisme internal hanya cukup untuk memastikan aktivitas organisasi partai tetap berjalan, tapi sangat tidak cukup untuk menggerakkan partai bertarung di dalam ruang-ruang demokrasi yang demikian traksaksional. Alhasil, logika merkantilisme dengan pengumpulan modal sebanyak-banyaknya adalah cara terbaik untuk mengamankan pertarungan dan menciptakan bargaining politik antarpartai. Soal massa dan pemilih dilihat sebagai konsekuensi dari mobilisasi dan distribusi logistik ke publik. 

Walaupun demikian, jika kita melihat, pada dasarnya PKS adalah partai santri perkotaan yang dikenal justru mempunyai militansi gerakan, karena semangat ikhwah (persaudaraan) dibangun melalui jejaring-jejaring kaderisasi sel di banyak institusi, seperti lembaga pendidikan (sekolah, perguruan tinggi), institusi pekerjaan (perusahaan, perkantoran, dan lembaga negara), serta institusi sosial (rumah, kelurahan, masjid). Berbeda dengan partai-partai Islam berbasis santri pedesaan (PKB, PPP) yang meletakkan loyalitas kader pada ceramah-ceramah kiai di setiap pesantren. Jadi, baik dalam bayangan publik maupun deklarasi partai, PKS adalah partai jemaah yang sebenarnya mampu menghimpun pendanaan organisasi partai melalui loyalitas anggota. Namun masuknya PKS di “ruang penjagalan sapi” mau tidak mau menciptakan kesadaran publik terhadap sifat merkantilistik partai. 

Kasus yang terjadi dalam sengkarut proyek Menteri Pertanian adalah bentuk penjatahan dan negosiasi antarpartai. Artinya, koalisi bukan soal pembagian jatah posisi menteri, melainkan pembagian jatah insentif politik melalui pos kementerian yang dimiliki tiap partai. Hal inilah yang menjelaskan hampir tidak ada politikus di luar PKS yang bermain dalam impor daging. Hal ini pulalah yang menjelaskan hampir tidak ada politikus lain dalam kasus Wisma Atlet dan Hambalang di luar Partai Demokrat. 
Negara dibajak dengan menggunakan logika tribalistik. Artinya, kasus daging sapi dilihat sebagai destruksi eksternal terhadap sebuah kelompok politik yang bersifat komunal. Komunalisme tercipta karena sistem kekerabatan di dalam partai telah dibangun dengan menggabungkan doktrin agama soal siyasah Islamiyah (berpolitik dalam Islam) dan ukhuwah (relasi “persaudaraan”) melalui sel-sel kaderisasi yang sangat ketat dari level kader tingkat akar rumput dalam institusi-institusi pendidikan dan perkantoran hingga di level pusat dalam bilik-bilik gedung Senayan. 

Model kekerabatan dengan acuan doktrin agama digunakan untuk memastikan loyalitas massa. Akhirnya, hal ini menciptakan respons komunal layaknya sebuah tribal atau suku yang merespons adanya musuh yang mendekat dan mengobrak-abrik harmoni kekerabatan para kader. Tak ubahnya, penangkapan LHI oleh KPK disebut sebagai sebuah konspirasi. Kader seolah tetaplah suci dan bersih dari bentuk-bentuk penistaan politik apa pun, sehingga konspirasilah yang paling bersalah. PKS, yang mendeklarasikan sebagai partai dakwah dan partai bersih, akhirnya justru merespons dengan gegap-gempita dan tidak terima kader terbaiknya disebut sebagai koruptor. Jamak kita ketahui bahwa PKS bergerak menggunakan dua motif utama: agama dan persaudaraan. 

Partai menjadi jalan dakwah dalam doktrin ini, tapi perilaku partai ternyata tetap. Artinya, sekuat apa pun doktrin agama yang digunakan sebagai dasar operasionalisasi partai, kanal keuangan partai mengalir melalui orang per orang. Personalisasi akhirnya menjadi lumrah dalam budaya politik kita. Setiap kader partai dengan jatah jabatan publik adalah agen-agen merkantilis yang terus berusaha mengumpulkan koin, tapi di sisi lain selalu ada komisi yang ditentukan secara individual. 

Sekuat apa pun mendeklarasikan diri sebagai partai dakwah yang bersih dan peduli, PKS tetap masuk interdependensi perdagangan elektoral antara supporter dan player, sementara voter tinggal sebagai basis legitimator pemenang tender dan lelang jabatan publik, baik di level legislatif maupun kursi eksekutif. Partai politik akhirnya menjadi aktor-aktor merkantilis yang memperdagangkan merek ataupun komoditas dalam pasar-pasar pemilu lima tahunan sebagai arena vox mercari ataupun arena untuk mempertukarkan rupiah dengan suara. 

Partai yang bernasib seperti PKS akhirnya berpotensi menjadi melting pot party karena akan menciptakan migrasi politik dalam pengelolaan partai yang semakin akomodatif terhadap variasi masyarakat yang multi-aliran dan paham. Dalam kondisi seperti ini, demokrasi konsesional ala Arend Lijphart (1968) tidak akan kita temui, karena pemilahan sosial tidak serta-merta terefleksi dalam praktek politik kepartaian. Masyarakat Islam tidak sedang direpresentasikan oleh partai Islam, karena entitas politiknya tak lebih dari legitimator kekuasaan melalui suara dalam pemilu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar