Kamis, 07 Februari 2013

PKS, Korupsi, dan Ideologi


PKS, Korupsi, dan Ideologi
Muhammadun  ;   Analis Politik pada Program Pascasarjana UIN Yogyakarta
MEDIA INDONESIA, 06 Februari 2013


TRAGEDI isu korupsi menerpa Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Itu menjadi sebuah tragedi karena partai yang lahir pada 20 April 1998 tersebut mengidentifikasikan diri mereka sebagai partai dakwah. Dugaan korupsi yang menyangkut petinggi PKS, Luthfi Hasan Ishaaq, itu menjadi jalan terjal bagi mereka dalam meng hadapi Pemilu 2014. Apalagi, PKS selama ini mengampanyekan diri sebagai partai yang bersih untuk Indonesia bermartabat.

Isu korupsi itu juga menjatuhkan nama PKS sebagai partai dakwah karena korupsi menjadi musuh utama dalam aja ran agama. Tobat nasional yang digelorakan Anis Matta, presiden baru PKS, belum cukup menjadi energi bagi mereka dalam mengembalikan kepercayaan (trust) masyarakat. Anis Matta ha rus bekerja keras meya kinkan kembali publik ihwal kebersihan PKS. Mungkin masih banyak kader yang tetap solid, tetapi simpatisan bisa `lari' dalam jebakan politik korupsi.

Politik `konspirasi' yang disuarakan elite PKS bu kannya menjadi benteng kekuatan internal, melainkan malah menjadi bumerang menuju 2014. Dalam analisis politik kontemporer, PKS lahir untuk mem perjuangkan lahirnya negara yang menganut ideologi Islam, bahkan sampai pada ideologi khilafah seluruh dunia.

Walaupun tidak secara tegas diucapkan dalam berbagai pidato politik PKS, di awal kelahiran mereka pada 1998, PKS begitu melancarkan gerakan Islam kafah. Gerakan itu bukannya tanpa masalah. Secara tidak langsung, PKS sedang berhadapan dengan organisasi keagamaan yang telah berkembang di Indonesia, seperti Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, Persis, Nahdlatul Wathon, dan AlIrsyad.

Organisasi-organisasi tersebut terbukti mampu beradaptasi dengan tradisi Indonesia yang beragam tanpa terjebak dalam politik praktis. Adapun PKS yang juga mendakwahkan Islam sering kali harus berhadapan karena selain membawa misi dakwah, mereka membawa misi politik. Misi dakwah PKS sering kali juga tidak sama dalam konteks pemahaman ajaran dengan organisasi Islam tersebut. Pergesekan tak bisa dihindarkan dan PKS akhirnya harus berkonfrontasi dengan organisasi Islam yang menjaga jarak dengan politik praktis. Kegamangan itu sangat kentara di berbagai daerah, khususnya di Jawa.

Para kader PKS juga seolah gagap dengan Islam Nusantara yang mempunyai ragam begitu kompleks. Ideologi Ikhwanul Muslimin dan Masyumi yang mereka jadikan sebagai framework ternyata sulit mengakomodasi keragaman Nusantara sehingga gerak pikir PKS sering kali bertabrak an dengan warisan leluhur yang telah mengakar kuat dalam tradisi keindonesiaan. Itulah problem yang belum tuntas dalam jati diri PKS sehingga mereka terancam tidak menemukan `rumah politik' di Indonesia. Untuk memiliki `rumah politik', partai politik harus menyesuaikan dengan jati diri tradisi yang mengakar kuat di Indonesia.

Politisasi Dakwah

Salah satu yang menjadi problem dalam dunia politik PKS ialah langkah politik mereka dalam menjadikan jargon dakwah sebagai media perjuangan politik.

Politisasi dakwah kemudian menjadi jargon politik yang selalu didengungkan PKS. Bermacam langkah PKS di berbagai daerah ternyata menjadi slogan dan simbol dakwah dalam melakukan gerak politik di masyarakat. Rakyat seolah melihat yang dilakukan PKS untuk sebuah dakwah saja. Namun di balik itu, PKS ternyata dijadikan sebagai media dalam gerak politik kekuasaan. Ini sebuah dilema yang penuh teka-teki.

Jalan dakwah merupakan jalan mulia dan merupakan tugas semua umat Islam. Jalan dakwah itu telah dilakukan semua organisasi Islam di Indonesia. NU, Muhammadiyah, Persis, Al-Irsyad, dan sebagainya merupakan organisasi yang telah concern dengan serius dalam dakwah Islam. Dakwah benar-benar diletakkan sebagai proses pemberdayaan masyarakat. Dakwah dijadikan media dalam melakukan proses menumbuhkan kesadaran umat Islam dalam membangun Indonesia. Dakwah benar-benar menjadi media untuk menjadikan Islam sebagai rahmat bagi semesta (rahmatan lil'alamin).

Adapun PKS menjadikan dakwah mereka sebagai jalan politik. Sejarah politik dalam dunia Islam mengabarkan jalan dakwah sebagai media politik gagal di pertengahan jalan. Olivier Roy (2001) me nengarai partai Islam selalu gagal mengusung ‘negara agama’ sehingga mereka mengambil posisi politik yang ekstrem, revivalis, islamis, dan fundamentalis. Partai Islam di Afghanistan, Sudan, dan Pakistan terbukti gagal menjaga amanah agama di ruang politik.

Said Al-Asymawi (2002) juga melihat Islam politik gagal menjalankan visi luhur agama karena politik menjadikan agama semakin keruh oleh kuasa kekuasaan. Bagi Al-Asymawi, Islam yang diajarkan Nabi Muhammad bukanlah Islam yang menjadi agama dan negara. Islam bukanlah agama dan negara. Praktik kenegaraan yang dilakukan Nabi ketika di Madinah bukanlah praktik yang dipahami secara universal, melainkan sebagai praktik yang partikular. Yang universal ialah keadilan, kemanusiaan, kesetaraan, dan keadaban. 

Khitah Politik

PKS seharusnya kepada khitah politik mereka. Sebagaimana diungkapkan Hilmi Aminuddin (2011), kelahiran PKS seharusnya menjadikan PKS memegang teguh makna khitah mereka. Pertama, lahir membawa misi penyebar kasih sayang. Kedua, lahir dengan kehormatan dan lahir untuk meraih kejayaan. Ketiga, lahir untuk terus dan terus memikul tanggung jawab dan mengemban amanah.

Khitah kelahiran itulah yang harus dipahami PKS dengan baik. Dengan khitah tersebut, PKS seharusnya tidak lagi menjadikan agama sebagai isu sentral mereka dalam berpolitik. Jangan sampai agama hanya dijadikan sebagai medan meraih kekuasaan karena itu hanya akan menjadikan agama semakin kehilangan visi kerahmatannya. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar