Rabu, 13 Februari 2013

PKS dan Teori Konspirasi


PKS dan Teori Konspirasi
Azis Anwar Fachrudin ;   Analis politik Islam;
Pengajar di Ponpes Nurul Ummah, Kotagede
MEDIA INDONESIA, 13 Februari 2013


SATU kata yang cukup meramaikan kegaduhan politik ih wal penjatuhan status tersangka kepada mantan Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Luthfi Hasan Ishaaq (LHI) oleh KPK ialah `konspirasi'. Kata itu semakin banyak dibicarakan dan dijadikan bahan ledekan oleh lawan politik PKS sejak pidato Presiden PKS yang baru Anis Matta mengarah ke kesimpulan bahwa ada konspirasi dalam aksi penangkapan KPK itu. Anis Matta kemudian menyerukan `tobat nasional'.

Tuduhan konspirasi itu menyiratkan pesan ada persekongkolan di balik penahanan LHI. Salah satu alasan yang dipakai yaitu KPK kini telah menjadi alat politik untuk menggembosi partai politik (parpol) tertentu. Ada juga desas-desus yang mengisukan beberapa hari sebelum KPK menahan LHI, ada perwakilan dari Kedubes Amerika Serikat yang mendatangi KPK. Faktanya juga, yang kemudian turut dijadikan alat justifikasi bagi konspirasi itu, ialah LHI dinyatakan sebagai tersangka tidak lebih dari sehari. Itu tidak lazim.

Intinya, dengan mengajukan teori konspirasi itu, PKS telah melakukan bentuk komunikasi politik `pengingkaran' (denial). Komunikasi jenis itu biasanya terjadi ketika sebuah figur atau parpol mengalami keguncangan psikologis. Hal itu cukup wajar. Dengan membawa beban moral sebagai partai `bersih', tentu saja tuduhan korupsi merupakan aib terbesar, menyasar ke jantung kekuatan tawar (bargaining power) parpol, apalagi langsung menimpa (mantan) presidennya.

PKS terkena tsunami politik. Publik menghakimi dengan opini secara kejam.
Meminjam istilah dari Alquran, “Murka besar (kabura maqtan) dari sisi Allah jika kalian berkata apa yang tidak kalian lakukan (QS 61: 3).“ Kasus itu telah membawa PKS mendapat `murka besar' itu dari publik. Dalam implementasi demokrasi di Indonesia selama ini, kita memang susah menafikan fakta bahwa publik menjadi hakim, yang kadang-kadang arogan, bagi setiap tindak-tanduk elite parpol. Tentu saja itu membawa keguncangan psikologis yang akut.

Keguncangan psikologis semacam itu biasanya membawa kekalutan sehingga figur atau parpol yang bersangkutan terbawa emosi. Maka, mulailah dicari beberapa alasan pembenar. Di antaranya, yang paling praktis, ialah dengan lepas tangan: mengingkari keterlibatan dirinya dalam korupsi itu lalu mengalihkan tanggung jawab ke pihak lain. Di situlah hulu `teori konspirasi' itu.

Plus-Minus

Tuduhan adanya konspirasi memang bisa `bermanfaat' bagi PKS dan kader konstituen mereka, konstituen mereka, setidaknya dalam dua hal. Pertama, dengan mengutarakan adanya konspirasi, PKS minimal bisa mengatakan kepada publik akan adanya tangan-tangan tak terlihat (invisible hands) yang bermain di balik layar.

Dengan model tuduhan semacam itu, PKS tentu saja bisa mengurangi beban untuk menjawab soal siapa musuh itu, sebab memang tak terlihat. Namanya saja konspirasi. Kedua, konspirasi sudah menjadi bagian dari pembentukan ideologi (ideology framing) dari PKS sendiri. Secara umum itu merupakan watak gerakan sosial ala `Islamisme'.

Dalam teori gerakan sosial, dikenal tiga pola pembangunan basis massa, yakni 1) political opportunity structure (struktur kesempatan politik), 2) resource mobilization (mobilisasi sumber daya), dan 3) collective action frame (pembingkaian aksi kolektif).
Untuk bisa membangun basis massa yang kuat dan mem bingkai aksi kolektif dari pada kader loyal mereka, mesti ada musuh bersama. Di sanalah teori kon spirasi dengan efektif bermain. Biasanya, yang dijadikan musuh bersama adalah Zionis dan Amerika.
Walhasil, dengan mengajukan teori konspirasi dalam kasus suap impor daging itu, PKS sudah menyelam sambil minum air, mengalihkan tanggung jawab dan mempertahankan loyalitas basis massa mereka. Faktanya, soal konspirasi itu cukup ramai diutarakan beberapa kader PKS di jejaring sosial.

Meski demikian, yang dikhawatirkan, tafsir politik konspiratif itu bisa jadi bumerang. Jika salah, ia akan berbalik menyerang logika politik yang dibangun PKS: betapa emosional partai Islam itu menanggapi setiap makar. Selain itu, kilah tersebut susah dipercaya.
Jika melihat rekam jejak KPK selama ini, KPK belum pernah menjatuhkan status tersangka tanpa ada bukti yang kuat terlebih dahulu.

Di samping itu, KPK selama ini banyak menyasar para elite parpol yang sedang berkuasa.

Kita tak bisa pura-pura lupa dengan Nazaruddin, Angelina Sondakh, Hartati Murdaya, dan Andi Mallarangeng: adakah mereka juga terjebak konspirasi sebagaimana yang kini dialami LHI? Lagi pula, KPK akan terkesan bodoh jika menjatuhkan status tersangka kepada LHI tanpa bukti. Padahal, di antara bukti itu ada, misalnya penyadapan telepon dan tegasnya fakta penangkapan tangan AF itu. Soal cepat jatuhnya status tersangka itu, sebagaimana disebutkan beberapa pakar hukum, bisa dipahami bahwa itu bagian dari proses penyidikan.

Maka dari itu, pada hemat saya, sikap yang elegan bagi PKS ialah, jika memang ada yang salah, utarakan permohonan maaf kepada publik.
Saya kira itu bisa lebih menumbuhkan rasa simpati, seperti ketika publik memberikan rasa salutnya kepada Andi Mallarangeng ketika mundur dari Demokrat dan dari jabatan menpora setelah jadi tersangka.

Memperbaiki Citra

Kasus yang menimpa PKS itu membawa kita ke memori tentang kebijakan purba di Jawa: adigang, adigung, adiguna--sebuah peringatan kepada yang berkuasa (adigang), berpunya (adigung), dan berpengetahuan (adiguna) untuk tidak jemawa, sebab suatu saat ia akan dimintai pertanggungjawaban.

Orang Jawa amat perhatian dengan citra (ajining diri). Citra, dalam memori orang Jawa, besar pengaruhnya terhadap penilaian diri dan moralitasnya.

Tsunami politik yang meluluhlantakkan jantung citra PKS itu jelas bisa berimbas besar pada citra. Pertama, ia bisa berujung pada demoralisasi terhadap para kader mereka di level akar rumput. Kedua, yang lebih besar dari itu, ia bisa menimpa citra partai Islam pada umumnya: tidak ada jaminan bahwa Islam sebagai asas partai lantas membuat suatu partai tampil lebih islami jika dibandingkan dengan partai-partai sekuler lainnya. Tanggung jawab terbesar untuk memperbaiki citra, tentu saja, ada pada para kader. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar