Sabtu, 09 Februari 2013

PKS dan Peluang yang Hilang


PKS dan Peluang yang Hilang
Bawono Kumoro  ;   Peneliti Politik The Habibie Center dan Fellow Paramadina Graduate School of Political Communication
TEMPO.CO, 08 Februari 2013


Aroma busuk korupsi kembali tercium dari partai politik Indonesia. Kali ini bau busuk itu berasal dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Komisi Pemberantasan Korupsi telah menetapkan Presiden PKS Luthfi Hasan Ishaaq sebagai tersangka atas dugaan suap impor daging sapi. 

Penetapan status tersangka tersebut tentu sangat merugikan citra partai dakwah tersebut di mata publik menjelang pemilu legislatif 2014. Apalagi status tersangka diberikan kepada pejabat di level tertinggi kepengurusan partai. Selama ini PKS selalu membanggakan diri sebagai partai bersih, karena tidak ada satu pun kader mereka yang tersangkut kasus korupsi. Namun citra itu kini tercoreng dengan penetapan Luthfi Hasan Ishaaq sebagai tersangka dalam kasus dugaan suap impor daging sapi. Padahal tidak sedikit publik berharap PKS tampil konsisten sebagai partai bersih, agar publik memiliki alternatif pilihan menjanjikan dalam pemilu legislatif 2014 di saat partai-partai lain digerogoti persoalan korupsi.
 
Peluang 
Penetapan status tersangka terhadap Luthfi Hasan Ishaaq tentu merupakan musibah politik mahabesar bagi PKS. Ketika Partai Demokrat selaku partai penguasa mengalami penurunan kepercayaan dari publik akibat perilaku korup elite-elite mereka, PKS sesungguhnya memiliki peluang untuk meraih dukungan suara dalam pemilu 2014. Situasi kurang menguntungkan di Partai Demokrat saat ini, akibat terungkapnya perilaku korup elite-elite mereka, dapat dimanfaatkan PKS untuk mengukuhkan positioning politik sebagai partai bersih. 

Dengan cara itu, diharapkan PKS dapat “mencuri” simpati dan dukungan dari para pemilih Partai Demokrat pada pemilu yang lalu. Fakta jika belum ada satu pun kader PKS yang terjerat kasus korupsi akan menjadi modal berharga bagi PKS untuk melakukan positioning politik tersebut. Di dunia marketing, positioning didefinisikan sebagai seluruh aktivitas yang bertujuan menanamkan kesan di benak para konsumen, agar mereka dapat melakukan diferensiasi antara satu produk dan produk lain. Produk yang dihasilkan akan direkam dalam bentuk citra (image) yang terdapat pada sistem kognitif para konsumen (Firmanzah, 2007: 157).

Jika konsep ini diadopsi ke dalam konteks persaingan politik, partai/kandidat--sebagai sebuah produk politik--dituntut untuk mampu menanamkan image politik tertentu secara kuat di dalam benak pemilih. Untuk itu, ia harus memiliki sesuatu yang berbeda dengan produk-produk politik lain. Keseragaman hanya akan menyulitkan pemilih untuk melakukan identifikasi. Mereka akan merasa tidak ada perbedaan signifikan antara satu produk politik dan produk politik lain. 

Permasalahan mendasar partai dalam melakukan positioning politik adalah penciptaan gambaran konsisten yang mengerucut pada satu tema tertentu. Tema itu bisa terkait dengan program kerja partai, isu politik, dan pemimpin partai. Masing-masing partai harus berusaha menjadi dominan dan menguasai benak pemilih. Posisi kuat dalam benak pemilih akan membuat partai bersangkutan selalu diingat dan dijadikan referensi utama ketika mereka dihadapkan pada serangkaian pilihan politik (Firmanzah, 2007: 158-159). 

Untuk itu, dalam melakukan positioning politik harus diperhatikan pula konteks kondisi riil di masyarakat. Apabila hal itu diabaikan, niscaya positioning politik yang dilakukan tidak akan memperoleh respons menggembirakan dari masyarakat. Terkait dengan hal itu, mengingat penurunan kepercayaan publik terhadap Partai Demokrat selaku partai penguasa dipicu oleh keterlibatan sejumlah elite partai bersangkutan dalam berbagai kasus korupsi, merupakan sebuah pilihan strategis bila kemudian PKS memposisikan diri mereka sebagai partai antikorupsi. 

Dengan mengambil positioning politik ini, pemilih akan melihat PKS sebagai antitesis dari partai penguasa yang cenderung korup. Ketika suatu masalah korupsi mencuat ke permukaan, publik akan menjadikan PKS sebagai bagian dari pemecahan masalah. Bahkan bukan tidak mungkin hal itu akan berujung pada keuntungan elektoral dalam pemilu 2014. 

Problem Konsistensi
Perlu diingat, positioning politik tidak dapat dibangun secara instan dalam jangka pendek. Menanamkan image positif di dalam benak pemilih membutuhkan konsistensi jangka panjang. Hal itu karena publik perlu melakukan proses pembelajaran untuk dapat memahami posisi ideologis partai-partai tersebut. Dalam konteks PKS, penanaman image politik itu telah lama dilakukan sejak partai ini masih bernama Partai Keadilan.

Namun realitas politik hari ini, berupa penetapan status tersangka terhadap Luthfi Hasan Ishaaq, menunjukkan adanya problem konsistensi pada diri PKS dalam usaha mereka mengukuhkan positioning politik sebagai partai bersih. Alih-alih menjadi antitesis dari partai penguasa yang cenderung korup, PKS kini justru mulai tertular virus korupsi tersebut. 

Konsistensi untuk menghindarkan diri dari jerat korupsi ternyata menjadi problem tersendiri bagi PKS untuk mengukuhkan positioning politik mereka sebagai partai bersih. Partai dakwah ini lupa akan satu hal penting, bahwa kesediaan pemilih untuk mengikatkan diri pada satu partai tertentu akan terjadi apabila partai bersangkutan terbukti mampu menjaga konsistensi perjuangan mereka selama ini, termasuk dalam pemberantasan korupsi.

Ketidakmampuan menjaga konsistensi itu akan membuat pemilih berpikir seribu kali untuk mengikatkan diri pada partai tersebut. Kegagalan PKS menjaga konsistensi sebagai partai bersih akan terekam dalam memori kolektif publik. Lebih dari itu, reputasi yang telah memburuk akan sulit dipulihkan. Peluang untuk dapat “mencuri” simpati dan dukungan dari para pemilih Partai Demokrat pada pemilu yang lalu pun kini tinggal mimpi semata.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar