Jumat, 01 Februari 2013

Pindah Pusat Pemerintahan, Kenapa Tidak?


Pindah Pusat Pemerintahan, Kenapa Tidak?
Muda Mahendrawan ; Bupati Kubu Raya, Kalimantan Barat & Wakil Sekjen Asosiasi Pemerintahan Kabupaten Seluruh Indonesia (Apkasi)
SINDO, 01 Februari 2013



Banjir besar yang “melumpuhkan” Jakarta pada pertengahan Januari 2013 ini menjadi peringatan serius bagi bangsa untuk segera menyikapi wacana pergeseran (bukan perpindahan) ibu kota pemerintahan negara. 

Banjir tak hanya menenggelamkan daerah-daerah bantaran sungai, namun sudah merangsek masuk Istana Negara. Jakarta memang mendapatkan dampak langsung dari banjir, tetapi dampak besarnya juga mengganggu aktivitas di Nusantara ini. Mengapa? Karena Jakarta menjadi pusat pemerintahan dan sekaligus pusat tumpuan kegiatan perekonomian dan pusat perputaran uang yang sangat signifikan. Apa pun yang terjadi di tanah “Jayakarta” akan menjadi bahan pembicaraan hampir di seluruh pelosok Republik ini.

Apa pun yang terjadi, jelas akan kentara memengaruhi kehidupan bangsa ini. Banjir dan problem lainnya seperti kemacetan, ancaman gempa, krisis air, serta polusi udara tidak bisa sepenuhnya kita sandarkan kepada seorang gubernur, Joko Widodo (Jokowi). 

Persoalan Jakarta merupakan masalah nasional, dan magnet nasional lantaran provinsi ini menjadi pusat pemerintahan. Sangat dibutuhkan peran dan kemauan kuat dari pemerintah pusat. Pemerintah pusat (Presiden) sudah sepantasnya mengambil langkah-langkah yang tidak biasa dan komprehensif namun implementatif, karena menyangkut kepentingan negara yang sangat besar.

Wacana perpindahan pusat pemerintahan Republik Indonesia dari Jakarta ke luar Jawa pernah menguat. Keinginan ini perlu disikapi dengan kajian lebih arif tanpa harus mengorbankan kepentingan bangsa yang lebih besar. Tentu diperlukan solusi bijak kenegarawanan dan revolusioner. 

Perpindahan pusat pemerintahan bukanlah hal baru. Indonesia sudah mengalami beberapa kali hal tersebut. Pusat pemerintah pernah dipindahkan ke Bogor, Yogyakarta bahkan ke Bukit Tinggi, Sumatera Barat. Pada saat itu dalam nuansa darurat. Arif dan bijak rasanya pusat pemerintahan tidak perlu dipindahkan sampai ke luar Pulau Jawa. Harus kita kaji dan timbang lebih mendalam manfaat positif dan aspek negatifnya, tak hanya bagi pemerintah saja namun juga seluruh warga Indonesia. 

Persoalannya,bagi sejumlah daerah akan menjadi tambahan pengeluaran biaya.Andai dipindah ke Kalimantan misalnya, maka sejumlah daerah di kawasan timur Indonesia harus menambah biaya perjalanan untuk penerbangan (transit dulu di Bandara Cengkareng). Selain itu, dalam kondisi ekonomi dan keuangan negara sekarang ini, perpindahan ke luar Jawa akan menjadi beban besar lantaran harus memperkuatkan infrastruktur.

Pemerintah harus membangun baik infrastruktur bandara,jalan, air bersih, tenaga listrik, gedung kantor pemerintah baru, maupunfasilitas-fasilitas penunjang lain.Belum lagi adanya tantangan harus beradaptasi dengan kondisi sosial dan budaya masyarakat setempat. Beberapa contoh pemindahan ibu kota dalam jarak tidak terlalu jauh yang berhasil di luar negeri sudah ada, misalnya Amerika Serikat (AS) dan Malaysia.

Awalnya ibu kota AS adalah New York, sebuah kota perdagangan di pinggir pantai yang sangat sibuk. Namun karena terlalu sesak dan kurang teratur, Kongres Amerika menyetujui ibu kota dipindah di sebuah kawasan khusus tak jauh dari Kota New York. Akhirnya pada tahun 1791 Washington DC resmi menjadi ibu kota pemerintahan AS. 

Sementara New York hingga kini tetap dipertahankan sebagai kota perdagangan berpenduduk 8,2 juta jiwa dengan tingkat urbanisasi 250.000 jiwa per tahun, yang menjadikan New York sebagai kota terpadat di Negeri Paman Sam itu. 

Kisah sukses lainnya datang dari negeri tetangga Malaysia dengan Putrajaya. Ibu kota pemerintahan Malaysia resmi dipindahkan dari Kuala Lumpur ke Putrajaya pada 1999. Kota yang berada 25 kilometer selatan Kota Kuala Lumpur itu dulunya adalah lahan sawit. Untuk pembangunannya memakan waktu empat tahun dengan menelan biaya sekitar Rp85 triliun.

Saya mencoba mengambil garis tengah dalam pemikiran ini, antara wacana yang masih terlalu prematur dengan fakta dan realita yang menjadi problema bagi seluruh kepentingan nasional. Saya sendiri lebih cenderung agar pusat pemerintahan tidak dipindahkan terlalu jauh dari Jakarta. Mungkin ada baiknya dipindahkan di kawasankawasan yang tidak terlalu jauh jaraknya dengan akses ke Bandara Soekano-Hatta. 

Bila di sekitar kawasan bandara, pemerintah tidak perlu lagi mengeluarkan biaya terlalu besar untuk membangun dan melengkapi infrastruktur maupun fasilitas penunjang lainnya. Beberapa wilayah di sekitar Bandara Soekarno-Hatta juga masih cukup luas untuk dijadikan lokasi pusat pemerintah. Mengapa pusat pemerintahan bersama? Tentu akan jauh lebih hemat baik biaya dan waktu bila pemerintahan tersebut diletakkan dalam satu kawasan. 

Kantor-kantor kementerian maupun kantor instansi tinggi lainnya bisa berada dalam satu kawasan bersama, termasuk kantor presiden dan wakil presiden serta sekretariat negara. Lebih lima ratus pemerintahan daerah yang hendak berurusan dengan pemerintah pusat, cukup sampai di kawasan sekitar bandaradanmengeluarkanbiaya tambahan lebih kecil untuk transportasi selanjutnya ke pusat pemerintahan, bila dibandingkan harus ke Jakarta.

Waktu yang digunakan akan sangat efektif.Ketika akan berurusan dengan sejumlah kementerian, mereka yang datang dari daerahdaerah tidak lagi harus membuang waktu lantaran jarak kantor-kantor kementerian sekarang ini terpisah-pisah. Pemusatan ini akan menekan ego sektoral antarbirokrasi kementerian/lembaga yang selama ini sangat nyata dirasakan. 

Selain itu, kapan pun presiden ingin menggelar pertemuan dan rapat sangat mudah dan mengefektifkan waktu perjalanan bila dibandingkan dengan kantor-kantor kementerian terpisah seperti sekarang ini. Sementara jika pergeseran pusat pemerintahan menjadi satu kawasan ke luar Jawa, justru memiliki konsekuensi berat terutama bagi aparat birokrasi. 

Puluhan bahkan ratusan ribu PNS yang bekerja di kantorkantor kementerian ataupun lembaga-lembaga pemerintahan lainnya di Jakarta akan terkena imbasnya. Minimal 50%, birokrat harus pindah. Ini juga akan menciptakan high cost bagi PNS. Belum lagi biaya hidup yang mahal, ongkos perpindahan akan menjadi beban. Pergeseran jarak tempuh terutama bagi PNS yang bermukim di Bogor, Depok, Bekasi, atau di wilayah-wilayah di sekitar Jakarta bisa diatasi dengan bus-bus pegawai.

Pemerintah menyediakan bus-bus tersebut dan menentukan titiktitik serta jam-jam keberangkatan. Ini juga mengurangi tingkat keterlambatan karena melalui jalur tol, serta mengurangi ketidakdisiplinan pegawai dan kontrol lebih mudah, bisa juga saling mengontrol. Ini juga menghindarkan PNS dari stres kemacetan yang membuang energi dan waktu sehingga membuat tidak fokus dalam bekerja. 

Untuk pembangunan gedunggedung baru, pemerintah bisa memanfaatkan sistem tukar guling, ruislag, atau penjualan aset. Saat ini, kantor-kantor kementerian maupun lembagalembaga lainnya terletak di kawasan-kawasan strategis di Jakarta sehingga memiliki nilai jual tinggi. Dari dana penjualan aset gedung tersebut bisa dimanfaatkan untuk membangun gedung-gedung baru dalam satu kawasan terpusat tersebut, bila perlu membentuk konsorsium. 

Ini akan mengurangi beban anggaran negara dalam penyediaan fasilitas baru. Hemat saya sebagai orang daerah, memang layak pusat pemerintah RI dipindahkan. Walaupun pusat pemerintahan digeser bukan berarti pemerintah pusat perlu merasa kehilangan kewibawaan, justru ini bentuk sikap kenegarawanan demi kepentingan nasional yang lebih besar. 

Bila kita mengetahui kondisi Jakarta 10 tahun mendatang, mengapa tidak kita mulai dari sekarang. Tulisan ini hanya memberikan pemikiran sederhana dan mengajak mendiskusikan kembali wacana perpindahan pusat pemerintahan dengan cara pandang lebih luas dan holistik.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar