Selasa, 19 Februari 2013

Pindah Ibu Kota Negara dalam Konstelasi Negara Maritim


Pindah Ibu Kota Negara
dalam Konstelasi Negara Maritim
Rokhmin Dahuri Ketua DPP PDIP Bidang Maritim dan Perikanan;
Ketua Umum Masyarakat Akuakultur Indonesia 
SINDO, 19 Februari 2013


Banjir bandang yang menggenangi Jakarta pada Januari yang baru lalu, mengingatkan kita pada gagasan Bung Karno untuk memindahkan ibu kota negara. Bung Karno berujar bahwa ibu kota yang paling tepat untuk NKRI adalah Palangkaraya, Kalimantan Tengah. 

Bukan Jakarta. Di samping luasnya terlalu kecil untuk bangsa yang besar, Jakarta juga rawan banjir. Sejak tumbuh menjadi metropolitan, 200-an tahun lalu sampai sekarang, Jakarta secara periodik dilanda banjir. 

Dalam dua dekade terakhir, banjir di Jakarta makin parah. Setiap musim hujan Jakarta nyaris tenggelam dan menelan korban jiwa serta kerugian ekonomi puluhan triliun rupiah akibat hancurnya bangunan, infrastruktur, kemacetan lalu lintas, ledakan wabah penyakit, dan terganggunya aktivitas ekonomi dan pemerintahan. 

Selain karena 40% wilayah Jakarta berada di bawah permukaan laut,drainase yang buruk, minimnya ruang terbuka hijau dan daerah resapan air, masyarakat tinggal di bantaran sungai, membuang sampah sembarangan, dan masalah teknis-kultural lain. 

Banyak ahli ekologi dan tata kota meyakini, bahwa akar masalah dari banjir Jakarta sejatinya adalah karena jumlah penduduk beserta segenap aktivitas kehidupannya telah melampaui daya dukung lingkungan wilayah Jakarta dan tiga DAS (Daerah Aliran Sungai) yang mendukungnya, Ciliwung, Cisadane, dan Citarum.

Dengan ratarata pendapatan (GNP) per kapita USD15.000,jumlah penduduk maksimal yang bisa ditopang oleh daya dukung lingkungan wilayah DKI Jakarta sekitar 10 juta jiwa. Saat ini penduduk Jakarta mencapai 12 juta orang dengan rata-rata GNP per kapita USD10.500. Dalam suatu wilayah DAS, luas hutan minimal agar fungsi hidroorologisnya (mencegah banjir, kekeringan, dan erosi) optimal adalah 30% dari total luas wilayah DAS tersebut.

Padahal, saat ini luas hutan di ketiga DAS itu kurang dari 15%. Dari perspektif inilah, gagasan Bung Karno menarik. Menurut Putra Sang Fajar itu, ibu kota yang tepat untuk menyongsong Indonesia masa depan seharusnya tidak terletak di Pulau Jawa, tetapi di Kalimantan. 

Alasannya, pertama karena Kalimantan merupakan pulau besar—daratannya empat kali luas Pulau Jawa, sehingga memungkinkan menjadi pusat aktivitas pemerintahan dan ekonomi Indonesia yang besar.

 Kedua, Kalimantan bukan merupakan bagian dari cincin gunung api (ring of fire), sehingga aman dari ancaman dan bahaya gempa, letusan gunung api, dan tsunami. Pilihan Bung Karno terhadap Kalimantan bukan Papua, antara lain karena faktor ring of fire tadi. Papua dan sekitarnya masih masuk dalam deretanring of fire. 

Ketiga, Kalimantan penduduknya masih jarang,sedangkan wilayahnya luas, sehingga bisa dikembangkan dengan berbagai strategi pembangunan. Keberadaan ibu kota negara di Kalimantan diyakini akan menarik sebagian penduduk yang selama ini terkonsentrasi di Pulau Jawa ke Kalimantan dan kawasan timur Indonesia (KTI) lainnya. 

Keempat, dengan pemindahan ibu kota negara ke Kalimantan, maka akan membangkitkan ekonomi KTI yang mempunyai banyak pulau dan kaya SDA, namun hingga kini ekonominya kurus. Jika itu terjadi, maka gagasan untuk membangun Indonesia sebagai negara maritim yang besar, maju, adil-makmur, dan mandiri akan mudah terwujud. 

Negara Maritim 

Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia dengan 13.487 pulau.Dari jumlah tersebut, yang berpenduduk hanya 1.667 pulau (12,4%).Sisanya 11.820 pulau masih kosong dan sebagian besar berada di KTI. Selama ini hampir semua investasi swasta di pulau-pulau kecil berupa pertambangan,oil storage, dan pariwisata oleh korporasi asing atau pemodal besar nasional, yang tidak ramah lingkungan dan melibatkan peran serta penduduk setempat. 

Akibatnya, masyarakat lokal kebanyakan tidak menikmati keuntungan dari geliat ekonomi tersebut, sehingga mereka tetap miskin. Rakyat setempat hanya menjadi penonton dan korban kerusakan lingkungan yang ditimbulkan oleh kegiatan investasi di pulau-pulau kecil. 

Sementara itu, kebijakan politik ekonomi berupa alokasi anggaran (APBN dan APBD), kredit perbankan, infrastruktur, SDM, dan aset ekonomi produktif lainnya sangat tidak pro daerah kepulauan, pesisir dan laut. Sehingga pergerakan ekonomi hanya berputar-putar di Pulau Jawa, khususnya di Jabodetabek. Saat ini 70% dari total uang Indonesia hanya beredar di P Jawa.

Kondisi ini jelas sangat membahayakan masa depan Indonesia yang merupakan negara maritim dan kepulauan. Sebab, dengan distribusi penduduk, pembangunan, dan ekonomi yang sangat tidak seimbangitu,maka produktivitas dan daya saing ekonomi Indonesia akan sangat sulit untuk berkembang. 

Lebih dari itu, dengan pola pembangunan yang sangat‘jomplang’ dan berorientasi daratan yang telah berlangsung sejak masa kolonial hingga sekarang,secara perlahan tapi pasti akan membuat ekologi P Jawa hancur.Sebagai akibat dari: (1) konversi hutan dan ekosistem lain menjadi kawasan pemukiman, pertanian, industri, perkotaan, dan infrastruktur; (2) overeksploitasi SDA; dan (3) pencemaran. 

Bayangkan, hampir semua DAS di P. Jawa, dari Ciliwung, Cimanuk, Bengawan Solo sampai Brantas, telah dinyatakan kritis sejak awal 1990. Luas hutan Pulau Jawa kini hanya tersisa sekitar 14%. Sebaliknya, kekayaan alam di luar Jawa, pesisir, pulau-pulau kecil,dan lautan belum dimanfaatkan secara produktif dan banyak dicuri oleh pihak asing. 

Bila paradigma dan caracara kita membangun bangsa, yang terlalu Pulau Jawa dan daratan sentris seperti selama ini, tidak segera dikoreksi, maka kekhawatiran kita untuk terperangkap dalam negara berpendapatan menengah (middle-income trap),tidak bisa naik kelas menjadi negara maju dan makmur, adalah sebuah keniscayaan. 

Sebab, produktivitas dan daya saing ekonomi nasional bakal tetap terpuruk lantaran tingginya biaya logistik, rendahnya konektivitas maritim,dan sejumlah praktik ekonomi ilegal. Yang lebih mencemaskan, ketertinggalan dan kemiskinan yang dialami masyarakat di luar Pulau Jawa, pesisir, dan pulau-pulau kecil terdepan juga dikhawatirkan dapat merongrong kedaulatan wilayah NKRI. 

Lepasnya Pulau Sipadan dan Ligitan ke Malaysia merupakan konsekuensi logis dari kesalahan konsep pembangunan selama ini. Oleh sebab itu,pemindahan ibu kota negara tidak hanya krusial bagi penanggulangan banjir Jakarta, tetapi juga sebagai bagian integral dari reorientasi paradigma pembangunan nasional, dari berbasis daratan ke maritim dan kepulauan. 

Bila pada saatnya,ibu kota negara pindah ke Kalimantan, niscaya Jakarta bisa tumbuh sebagai megapolitan modern dan pusat kegiatan perekonomian yang lebih produktif, berdaya saing, berkeadilan, dan ramah lingkungan. Rakyatnya hidup lebih sejahtera, aman, dan damai dalam lingkungan yang lebih bersih,sehat,dan asri. 

Perlu dicatat,bahwa hampir semua negara maju dan emerging economies, ibu kota negaranya hanya berfungsi sebagai pusat pemerintahan, sedangkan pusat ekonomi (industri dan bisnis) nya ditempatkan di kota-kota lain. Contohnya Australia, ibu kota negaranya di Canberra, sementara pusat ekonominya berada di Sydney, Melbourne,Adelaide, dan Perth. 

Di AS, ibu kota negara di Washington, DC, pusat ekonominya tersebar di semua negara bagian, seperti New York City,Boston, Miami, Seattle, dan San Fransisco. Serupa dengan AS, di China, ibu kota negara di Beijing, sedangkan pusat ekonomi tersebar hampir di semua provinsi, seperti Shanghai,Guangzhou, Shenzhen, Dalian, dan Chongqing. 

Kiranya kita bisa mengambil pelajaran,bahwa Inggris Raya berubah menjadi penguasa dunia ketika ia berhasil menguasai lautan. Amerika juga berubah menjadi negara adidaya setelah berhasil menjadi bangsa penguasa maritim. 

Jika kini China dan Jepang berebut pulau kecil (Diaoyu/ Senkaku) dengan kesiapan mengorbankan segalanya, hal itu semata dalam rangka menguasai lautan.Keempat bangsa itu menyadari betul akan relevansi pepatah Inggris: who rules the waves,rules the world!  ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar