Jumat, 22 Februari 2013

Pesantren Antikorupsi


Pesantren Antikorupsi
A Zaini Bisri Wartawan Suara Merdeka,
Alumnus Magister Ilmu Politik Universitas Diponegoro
SUARA MERDEKA, 21 Februari 2013


KIAI muda itu bicara berapi-api di depan para tamu undangan. Ia menegaskan pendiriannya bahwa pondok pesantren sudah saatnya menjadi benteng gerakan antikorupsi. Dia sangat prihatin dengan makin banyaknya tokoh agama dan bekas santri yang dibui karena korupsi.

’’Apa yang salah dengan pesantren, mangga dibuka saja. Kalau harus dirombak sistem pendidikannya, kita rombak. Pokoknya, kami siap mengubah sistem pesantren ini agar mampu melahirkan santri-santri yang bersih,’’ katanya.

Para undangan, antara lain Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD, anggota Komisi Yudisial Dr Taufiqurrahman Sahuri, anggota Komisi III DPR Khotibul Umam Wiranu, dan sejumlah wartawan manggut-manggut. Ya, Kiai Akomadien Shofa, salah satu pengasuh Ponpes Al Hikmah, Benda, Sirampog, Brebes, hari itu sangat bersemangat menyampaikan isi hatinya.

Keprihatinan dia memang beralasan. Korupsi ibarat kanker yang sudah merambah ke organ-organ tubuh terdalam. Sejumlah tokoh agama atau figur yang selama ini menjadi anutan masyarakat tidak luput dari jerat hukum. Sebut misalnya, Said Agil Husin Al Munawar, mantan menteri agama yang divonis 5 tahun penjara oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada 2006 dalam kasus dana abadi umat (DAU).

Pada tahun dan kasus yang sama, Taufik Kamil, Dirjen Bimas Islam dan Urusan Haji, juga divonis 4 tahun. Belakangan beberapa tokoh agama ditetapkan sebagai tersangka. Anggota Badan Anggaran DPR Zulkarnaen Djabbar dan pejabat Ditjen Bimas Islam Kementerian Agama Ahmad Jauhari menjadi tersangka kasus pengadaan Alquran.

Tidak Efektif

Insiden terakhir yang mengejutkan adalah penangkapan Presiden PKS Luthfi Hasan Ishaaq oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam kasus suap kuota impor daging sapi. Sejak itu, istilah raasyi (penyuap) dan murtasyi (penerima suap) menjadi terkenal. Dua kata itu adalah istilah dalam hadis Nabi riwayat Bukhori dan Muslim. Bunyi hadis itu, ’’Allah melaknat al-raasyi (pemberi suap) dan al-murtasyi (penerima suap)’’.
Para tokoh agama sangat tahu hukum haramnya suap (risywah). Menurut Al Mula Ali al-Qari (Al Mirqah Syarhul Misykat: 11/390), risywah adalah sesuatu yang diberikan untuk menggagalkan perkara yang benar atau mewujudkan perkara yang batil.

Pertanyaannya, mengapa sesuatu yang sudah diketahui hukumnya masih juga dilanggar?
Diskusi bertemakan agama dan korupsi sudah banyak digelar. Kesimpulannya, agama tidak cukup efektif dalam pemberantasan korupsi. Agama tidak bisa berdiri sendiri melawan korupsi, ia harus ditopang oleh elemen lain. Elemen itu antara lain penegakan hukum, political will dari negara, strategi, pengawasan publik, dan kontrol dari pers.

Sejauh ini, pemberantasan korupsi di Indonesia baru diimbangi oleh kontrol kuat dari pers. Penegakan hukum, kemauan politik, strategi, dan pengawasan publik masih lemah. Penegakan hukum masih amburadul dan cenderung tebang pilih. Kepercayaan masyarakat kepada para penegak hukum sangat rendah, tecermin dari pelesetan ’’HAKIM’’ sebagai ’’Hubungi Aku Kalau Ingin Menang’’ dan ’’JAKSA’’ menjadi ’’Jika Akan Kalah Suap Aku’’.

Kemauan politik mulai tumbuh dengan penjeratan KPK atas menteri dan pimpinan parpol. Meski belum simultan dan merata, gejala positif ini patut diapresiasi. Berikutnya, KPK perlu mencoba strategi yang diterapkan KPK-nya Hong Kong (Independent Commission Against Corruption - ICAC) yang terbukti mampu memberantas korupsi dan budaya korupsi di Negeri Triad itu hanya dalam tempo tiga tahun.

Budaya Korupsi

Salah satu strategi ICAC yang mampu mengubah Hong Kong dari negeri yang polisinya sangat korup menjadi negara yang relatif bersih, yaitu dengan menangkap penerima suap tanpa melihat jumlah uangnya. Rumah sakit di negeri itu yang semula korup menjadi bebas suap, setelah ICAC melakukan shock therapy dengan menahan para perawat yang ketangkap basah menerima suap kecil-kecilan.

Langkah ICAC berhasil meyakinkan masyarakat bahwa lembaga itu tidak pandang bulu dalam memberantas korupsi. Siapa pun yang memberi dan menerima suap, meski jumlahnya hanya satu dolar Hong Kong, akan ditangkap. Strategi ini berhasil menghapus budaya korupsi di masyarakat.

Di Indonesia, masyarakat akhirnya bersikap toleran terhadap suap karena tidak ada tindakan hukum. Dari aneka pelayanan publik sampai mendaftar berbagai pekerjaan dan profesi, selalu disertai suap. Hal ini kemudian menjadi kebiasaan masyarakat dan seolah-olah dianggap wajar.

Itulah sebabnya moral agama tidak berdaya mengontrol tindakan individu. Hasil survei Riaz Hassan dari Flinders University Australia (Salahuddin Wahid, 2011) menyebutkan, 96 persen umat Islam Indonesia mengerjakan shalat dan 99 persen berpuasa. Artinya, sebagian besar koruptor di negeri ini rajin shalat dan puasa.  

Pesantren bisa berperan dalam gerakan antikorupsi melalui pendidikan serta pembudayaan santri dan lingkungan pesantren. Pelajaran fikih mungkin perlu lebih ditekankan ke fikih sosial, tasawuf melandasi spiritualisme ibadah, dan para kiai memberi keteladanan.

Namun, peran pesantren hanya sebatas pencegahan korupsi. Penindakan dan pemberantasan korupsi tetap menjadi kewenangan penegak hukum. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar