Jumat, 15 Februari 2013

Pers, Retrospeksi, dan Rujukan


Pers, Retrospeksi, dan Rujukan
Toeti Prahas Adhitama  Anggota Dewan Redaksi Media Group
MEDIA INDONESIA, 15 Februari 2013


BENARKAH pers tanpa kontrol? Pada 1975, ketika sedang menjabat Perdana Menteri India, Indira Gandhi (1917-1984) mengatakan, “Saya benci penyensoran.” Tetapi dia tambahkan, penyensoran toh dilakukan terhadap koran-koran yang dia anggap memelopori kampanye menentang pemerintah dan merongrong rasa percaya diri masyarakat.

Ungkapan seperti itu sering memunculkan ‘media elite’, sebutan untuk media/ pers yang cenderung menari mengikuti irama gendang penguasa. Mereka bukan media massa yang mencerminkan aspirasi massa.

Bahwa pers dituding menjadi sumber pemberitaan yang membuat masyarakat kehilangan wawasan jernih, menjadi sumber kekacauan dan seakan-akan mengakibatkan cacat sosial, bukanlah hal baru. Padahal ibaratnya no man is an island. Tidak ada individu, lembaga, atau negara yang mampu menimbulkan masalah sosial atau, sebaliknya, mengatasinya tanpa keikutsertaan pihak lain.

Dalam kaitan itu, daripada selalu saja mengumpati peran pers, membuat pers sebagai kambing hitam untuk setiap persoalan sosial, bukankah masyarakat yang peduli sebaiknya urun rembuk? Fungsi pers memang menuntutnya agar peka terhadap situasi sosial-politik-budaya. Untuk itu mereka membutuhkan banyak rujukan dan masukan, khususnya terobosan dari mereka yang pemikirannya dapat diandalkan: kaum intelektual, misalnya. Sebaliknya juga dari mereka yang mengeluhkan perkembangan situasi.

Dr. Alfian (1940-1992), salah seorang ilmuwan politik yang hasil pemikirannya sering dikutip pers, dalam suatu ceramah di forum PWI pernah menyatakan bahwa terobosan menandai lahirnya suatu kesadaran baru. Kesadaran baru lahir dan berkembang melalui keberanian para intelektualnya untuk menyelami dan memahami secara kritis kondisi bangsa yang sesungguhnya.

Di awal perjuangan mendirikan republik ini, dengan memakai kemajuan bangsabangsa lain sebagai pembanding, para intelektual menjadi makin memahami arti keterbelakangan, kemiskinan, dan kebodohan bangsa ini. Ketika menanggapi salah satu pertanyaan di forum PWI itu, Alfian secara ringkas menyimpulkan, “Dalam keadaan ruwet, sebaiknya kita bersikap sederhana dan bersih dari curiga.”

Retrospeksi Pers

Peringatan Hari Pers Nasional bisa dipakai kalangan pers untuk retrospeksi mengenai jati diri dan perannya dalam kehidupan sosial-politik dan budaya, yang saat-saat ini sedang kisruh. Memang bijaksana kalau orang pers mau mengatur diri untuk berkebiasaan retrospeksi, apalagi bila sebagai individu atau lembaga kita memiliki power. Jelas, pers memiliki power betapa pun besar atau kecilnya.

Harry Scott Ashmore (1916-1998) tokoh pers pemenang hadiah Pulitzer, pernah mengatakan dalam ceramah di Harvard, mungkin yang paling kita perlukan hanyalah keberanian untuk menyadari bahwa `berita' bukan hanya catatan mengenai fakta-fakta yang dapat dipastikan kebenarannya dan pendapat-pendapat yang muncul sebagai akibatnya, melainkan juga catatan rentetan kejadian di dunia yang kita tempati dilihat dari nilai-nilai moralnya. Kita bisa saja salah, itu pasti, dan kita bisa saja disalahgunakan. Tetapi, paling tidak kita akan menempati posisi di menara, dan berusaha menceritakan apa yang kita lihat dalam segenap dimensinya.

Tokoh pers Amerika lainnya Joseph Pulitzer (1947-1911), kelahiran Hongaria, menyatakan, tradisi terluhur jurnalisme adalah tradisi untuk tetap mendengarkan hati kecil atau conscience kita. Tanpa itu, jurnalis tidak ubahnya seperti stempel untuk prasangka yang dirasakan massa dan surat kabar berperan tidak lebih dari gumpalan kertas untuk pelapis rak atau pembungkus ikan basah, dan bukan catatan rentetan kejadian dalam kehidupan manusia yang isinya dihormati pembacanya.

Menyimak pendapat Harry Ashmore dan Joseph Pulitzer, rasanya gagasan yang mereka kemukakan tidak beda dari apa yang ingin dicapai masyarakat pers Indonesia umumnya.

Menjaga Nurani dan Citra

Menerjemahkan makna pers sebagai pilar demokrasi tentu tak gampang. Kita bisa menulis buku untuk itu. Tetapi, yang dikatakan tokoh-tokoh pers dunia intinya sama: bagaimana pers diharapkan menjaga integritasnya tanpa larut dalam pragmatisme yang menjadi ciri zaman. Artinya, jangan pers menjual diri demi kelangsungan hidupnya, seperti yang dituduhkan banyak pihak.

Kenyataannya, masyarakat pers, seperti lain-lainnya, bersifat heterogen, tergantung pada pengalaman dan pendidikannya. Juga tergantung pada bagaimana cara menjaga kelangsungan hidupnya. Orang memuji atau memaki pers sesuai kemampuannya menyeimbangkan bisnis dan idealisme. Mereka perlu jeli memikirkan, mana yang bisa dibisniskan, mana yang menjaga idealisme. Lacurnya, demi uang, orang sering mencampuradukkan keduanya; antara lain karena ketidak pekaannya melihat situasi. 

Sebenarnya pers sudah dilengkapi dengan berbagai perangkat yang tidak akan membuatnya sesat; seperti kode etik jurnalistik maupun berbagai peraturan yang menjabarkan komitmen dan tanggung jawab pers terhadap publik.

Sayangnya, selalu ada saja yang nekat, yang terbius kepentingan kekuasaan-pribadi, kelompok, atau bahkan bangsa dan negara. Seperti maju perang, pertarungan batin sering terjadi, to kill or not to kill. Ketika pilihan membuat orang pers terjepit, pada akhirnya dia sendiri yang harus menentukan.

Publik bisa saja mengatakan pers yang itu tidak bertanggung jawab. Padahal dia melakukannya atas dasar panggilan nurani. Mudah-mudahan jarang yang memilih jalan salah hanya demi kepentingan pribadi. Bila itu toh terjadi--seperti yang terjadi pada para koruptor-yakinlah bahwa publik bisa menengarai. Kita sekali-sekali bisa membohongi, tetapi tentu tidak selamanya. Apakah dia jurnalis murni atau tidak, publiklah yang menentukan. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar