Kamis, 21 Februari 2013

Permusyawaratan Rakyat


Permusyawaratan Rakyat
Arif Susanto Pengajar di Universitas Paramadina
KOMPAS, 21 Februari 2013


Pertukaran kepentingan antar-elite cenderung menghasilkan peraturan perundang-undangan berperspektif sepihak kekuasaan sekaligus berlawanan dengan konstitusi.
Demi terpenuhinya kepentingan publik serta syarat legitimasi hukum, proses legislasi sepatutnya melibatkan permusyawaratan rakyat. Di dalamnya, warga negara turut menghidupi suatu proses diskursif pembentukan opini dan kehendak, yang akhirnya diserap DPR dengan segenap hikmat kebijaksanaan.

Pertukaran Kepentingan

Selama lima tahun terakhir, berdasarkan tinjauan Mahkamah Konstitusi, rata-rata 20,44 persen uji materi UU yang dikabulkan. Sepanjang 2012 terdapat 31 persen dari 169 perundang-undangan yang diuji materi di MK, sebagian materinya dinyatakan bertentangan dengan konstitusi. Ketua MK Mahfud MD mengidentifikasi tiga hal sebagai penyebabnya (Kompas, 3/1). Pertama, tukar-menukar kepentingan antarpembuat UU. Kedua, kurangnya profesionalisme pembuat UU. Ketiga, perubahan situasi membutuhkan tafsir baru atas perundang-undangan.

Di antara ketiga hal tersebut, penyebab kedua lebih mudah dicari solusinya. Seorang profesional ditentukan oleh tingkat kompetensinya; mereka yang ahli dalam menjalankan suatu peran kerja secara mumpuni disebut profesional. Jika para pembuat UU lemah profesionalismenya, mereka harus melengkapi diri dengan berbagai kemampuan teknis yang dibutuhkan untuk mendukung proses legislasi.

Tentang penyebab ketiga, relatif dapat diterima bahwa kadang memang terdapat UU yang tidak lagi sesuai. Apa yang awalnya merupakan aturan tepat, menimbang semangat UU yang berselisih dengan keadaan mutakhir, kemudian dipandang tak lagi memadai. UU tersebut perlu diselaraskan dengan dinamika sosial yang ada.

Dalam hal ini, yang dibutuhkan adalah suatu visi untuk menghasilkan UU berjangkauan masa depan dan melingkupi kepentingan luas publik. Para legislator harus peka terhadap perubahan situasi, termasuk mampu menangkap kehendak publik secara responsif untuk merevisi UU.

Terkait penyebab pertama, yaitu pertukaran kepentingan antar-elite, merupakan hal yang lebih kompleks. UU No 8/2012 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD merupakan satu contoh produk pertukaran kepentingan ini. Butir seperti diskriminasi kewajiban verifikasi parpol secara jelas menunjukkan akomodasi kepentingan sepihak partai-partai penghuni parlemen. Kompromi politik sebagai suatu pertukaran kepentingan dapat pula terendus pada ketentuan ambang batas parlemen dan metode penentuan perolehan kursi.

Ketika suatu aturan disusun berlandaskan kepentingan sepihak penyusunnya, langkah itu tak lebih daripada upaya untuk memajukan kekuasaan. Rakyat, yang kepentingannya seharusnya jadi pertimbangan utama, dijauhkan dari proses permusyawaratan. Padahal, permusyawaratan rakyat menentukan legitimasi suatu hukum. Lemahnya sensibilitas terhadap kepentingan lebih luas publik dalam penyusunan UU semacam ini saya sebut sebagai ”politik minus imajinasi” (Kompas, 28/4/2012).

Proses Diskursif

Sebagai bagian dari bangunan negara hukum, UU dibutuhkan bagi stabilisasi pengharapan atas perilaku. Jika saya melakukan tindakan A, misalnya, saya paham bahwa itu punya konsekuensi hukum berupa situasi X. UU memandu tindakan; memberi terang tentang apa yang diizinkan dan yang tidak untuk dilakukan. Dengan itu, diharapkan terwujud tatanan, yang dibedakan dari kekacauan. UU juga memandu pengorganisasian negara. Lembaga dan prosedur penyelenggaraan negara diatur dalam perundang-undangan demi memastikan tidak terjadi konflik, apalagi penyalahgunaan, kekuasaan. Demikian pula pembatasan kekuasaan melalui UU dimaksudkan untuk menghadirkan tatanan berlandaskan hukum, yang dibedakan dari absolutisme.

Dalam negara demokrasi, tiada kekuasaan politik tanpa landasan hukum. Jürgen Habermas (1998:134) menegaskan bahwa kekuasaan politik itu tidak terkait secara eksternal dengan hukum, melainkan diandaikan oleh hukum dan mewujud dalam bentuk hukum. Kekuasaan politik dapat terbangun hanya melalui suatu perundang-undangan, dan kemudian melalui legislasi, kekuasaan politik hadir menetapkan aturan hukum.

Apa yang membuat suatu hukum itu absah sekaligus layak dipatuhi? Hukum memperoleh makna normatifnya secara utuh, menurut Habermas (1998:135), bukan melalui bentuk legalnya per se. Bukan pula melalui suatu kapasitas moral apriori, melainkan melalui prosedur pembentukan hukum yang menghasilkan legitimasi. Tidaklah mungkin melandaskan keabsahan suatu hukum begitu saja melalui pengandaian bahwa setiap ketentuan legal memang harus dipatuhi. Bukan lagi pula masanya kini— terutama dalam suatu masyarakat politik yang majemuk-modern—untuk mencari pendasaran transendental tunggal atas suatu hukum negara.

Keabsahan suatu hukum lebih ditentukan pemenuhan prosedur yang memastikan dipertimbangkannya secara publik berbagai kepentingan yang relevan. Inilah permusyawaratan rakyat.

Perhatian terhadap prosedur tersebut penting mengingat hukum tak mungkin ditetapkan dan diterapkan secara semena-mena. Hal ini membedakan antara tatanan berlandaskan hukum dan kesewenang-wenangan. Yang pertama memperhatikan prosedur demokratis, yang kedua mengingkarinya; yang pertama diarahkan untuk mewujudkan keadilan dan yang kedua bertujuan untuk memajukan kekuasaan.

Dengan permusyawaratan rakyat, ”satu-satunya hukum yang dianggap sah hanya hukum yang dapat diterima secara rasional oleh seluruh warga negara dalam suatu proses diskursif pembentukan opini dan kehendak” (Habermas, 1998:135). Warga negara dipersilakan menunjukkan kehendaknya, kemudian diserap wakil-wakil mereka. Di parlemen, melalui tematisasi, para wakil akan memperdebatkan persoalan-persoalan publik.

Peran legislasi yang diemban DPR tidak lantas mengisolasi lembaga tersebut dari publik berikut kepentingan mereka. Sebaliknya, prinsip demokrasi perwakilan menuntut terbukanya DPR terhadap berbagai pandangan publik. Tanpa keterbukaan semacam itu, UU yang dihasilkan DPR cenderung mewakili kepentingan mereka sendiri ketimbang mencerminkan aspirasi rakyat.

Dalam pemahaman bahwa keabsahan suatu hukum pada pokoknya ditentukan oleh permusyawaratan rakyat, DPR mesti merentangkan cakrawala pandang. Pertanyaan tentang apa yang perlu dan tak perlu diatur, harus, pertama-tama, diuji dalam suatu perdebatan publik. Jika disepakati, perdebatan dapat beranjak pada bagaimana mengatur persoalan itu dalam suatu hukum yang berkeadilan. Proses diskursif inilah yang menentukan keabsahan prosedural suatu hukum. Dan, sesungguhnya, permusyawaratan rakyat adalah esensi demokrasi. Pada akhirnya, permusyawaratan rakyat akan memastikan proses legislasi tak jadi gelanggang pemenuhan hasrat sepihak kekuasaan. Tanpa permusyawaratan rakyat, DPR potensial kehilangan pijakan keabsahannya. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar