Kamis, 07 Februari 2013

Peringatan Tekanan Penduduk


Peringatan Tekanan Penduduk
Razali Ritonga  ;   Direktur Statistik Kependudukan dan Ketenagakerjaan BPS 
REPUBLIKA, 05 Februari 2013


Kinerja pemerintah dalam pengendalian penduduk sejak diberlakukannya otonomi daerah menunjukkan hasil yang kurang menggem birakan. Hal ini, antara lain, termanifestasi dari stagnasinya angka kelahiran total (total fertility rate/TFR) selama 2002-2012, yaitu sebesar 2,6. Angka 2,6 dapat dimaknai sebagai rata-rata banyaknya anak yang dilahirkan seorang ibu hingga akhir masa reproduksinya. 

Dengan tingkat kelahiran yang stagnasi dan tingkat kematian sedikit menurun, angka pertumbuhan penduduk kembali meningkat, yakni dari 1,44 persen pada periode 2000-2010 menjadi 1,49 persen pada periode 2000-2010. Adapun turunnya angka kematian itu terutama pada kelompok bayi dan balita.

Tercatat, angka kematian bayi turun dari 35 per 1.000 kelahiran hidup pada 2002 menjadi 32 per 1.000 kelahiran hidup pada 2012 dan angka kematian balita turun dari 46 per 1.000 kelahiran hidup pada 2002 menjadi 40 per 1.000 kelahiran hidup pada 2012. Jika pertumbuhan penduduk sebesar 1,49 persen itu terus berlangsung pada masa mendatang, jumlah penduduk Indonesia diperkirakan akan menjadi dua kali lipat besarnya dalam tempo 46 tahun. Ini berarti dengan jumlah penduduk sebesar 237,6 juta pada 2010 akan menjadi 475,2 juta pada 2056. 

Kurang berhasilnya pemerintah mengendalikan jumlah penduduk akan menyebabkan tekanan yang kian berat (demographic pressure) dalam pembangunan untuk menyejahterakan masyarakat. Tekanan yang kian berat itu, antara lain, ditandai dengan mening- katnya penduduk yang terpinggirkan dari pembangunan, penyediaan air bersih yang kian sulit, dan meningkatnya degradasi lahan. 

Pada tahap lanjut, kekurangberhasilan pemerintah mengendalikan jumlah penduduk itu menyebabkan Indonesia rentan menjadi negara gagal.
Peringatan bahwa Indonesia berpotensi menjadi negara gagal, antara lain, termanifestasi dari indeks kegagalan pemerintah (Failed States Index) yang menempatkan Indonesia di peringkat ke-63 dari 177 negara pada 2012. Posisi ini lebih buruk dibandingkan peringkat pada 2011 yang berada di posisi ke-64.

Sebenarnya, tidak sedikit pihak di Tanah Air yang kurang sependapat dengan peringatan kegagalan yang terekam dalam Failed States Index itu mengingat kinerja ekonomi makro In donesia terbilang bagus. Hal ini, antara lain, tecermin dari pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi dan infl asi yang terkendali dalam beberapa tahun terakhir. 

Namun, membaiknya ekonomi makro itu tidak dapat dinikmati secara merata bagi setiap penduduk, terindikasi dari meningkatnya ketimpangan pendapatan.
Secara faktual, hal itu terlihat dari angka Rasio Gini yang kian meningkat dalam empat tahun terakhir, yaitu dari 0,35 pada Maret 2008 menjadi 0,41 pada Maret 2012 (BPS, 2012).

Melebarnya ketimpangan itu menyiratkan kegagalan pemerintah dalam meningkatkan kesejahteraan penduduk, terutama pada kelompok terbawah.

Bahkan, kondisi penduduk miskin di kelompok terbawah keadaannya kian memburuk, terekam dari meningkatnya indeks kedalaman dan keparahan kemiskinan. Tercatat, indeks kedalaman kemiskinan meningkat dari 1,88 pada Maret 2012 menjadi 1,90 pada September 2012 dan indeks keparahan kemiskinan meningkat dari 0,47 pada Maret 2012 menjadi 0,48 pada September 2012. 

Pembatasan kelahiran Diperkirakan, meningkatnya indeks kedalaman dan keparahan kemiskinan itu terutama berasal dari penduduk miskin yang berpendapatan tetap dengan beban tanggungan keluarga yang besar. Tidak mudah memang bagi penduduk miskin untuk meningkatkan pendapatannya di tengah keterbatasan kapabilitasnya akibat derajat pendidikan dan kesehatan yang rendah. Juga, tidak mudah bagi penduduk miskin untuk membatasi jumlah kelahiran. 

Diberlakukannya otonomi daerah sebagai respons dari era Reformasi turut menyulitkan pemerintah melakukan pengendalian penduduk. Sebab, keputusan untuk membatasi kelahiran tidak lagi berada di tangan pemerintah seperti pada saat rezim otoriter, melainkan berada di tangan individu sebagai pengewajantahan dari hak azasi manusia (HAM). 

Meski demikian, sebenarnya masih cukup ruang bagi pemerintah untuk menurunkan angka kelahiran yang sejalan dengan HAM, yaitu mereka yang ingin membatasi kelahiran, tapi tidak memperoleh layanan KB (unmet needs).

Hasil sementara survei demografi dan kesehatan Indonesia (SDKI) 2012 mencatat persentase unmet needs yang ternyata cukup besar, yakni sekitar 11,4 persen. 
Meningkatnya kesejahteraan merupakan faktor pendorong untuk menuju masyarakat modern. Maka, untuk menurunkan tekanan penduduk pada masa mendatang, pemerintah perlu bekerja keras agar angka kelahiran dapat diturunkan, sejalan dengan HAM. Peringatan bahwa Indonesia berpotensi menjadi negara gagal seyogianya dapat menginspirasi pemerintah untuk memperbaiki arah pembangunan. 

Sepatutnya, pembangunan ekonomi dan politik dapat dilakukan secara paralel dengan pembangunan kependudukan agar kesejahteraan masyarakat tak tergerus oleh tekanan penduduk. Adapun tujuan akhir dari pembangunan kependudukan adalah penduduk stabil dengan TFR sebesar 2,1. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar