Jumat, 15 Februari 2013

Perebutan Uang dan Kekuasaan di PSSI Djohar


Perebutan Uang dan Kekuasaan di PSSI Djohar
Tubagus Adhi  Wartawan Senior, Pengamat Sepakbola,
Mantan Anggota Komite Media PSSI periode 2007-2011
JARINGNEWS.COM, 10 Februari 2013


Ini sejumlah cuplikan pemberitaan terkait konflik sepakbola Indonesia beberapa hari terakhir.

Menpora Roy Suryo mengisyaratkan mengambil-alih pengelolaan timnas senior jika tampil buruk saat menghadapi Irak pada laga pertama kualifikasi Pra Piala Asia. Belakangan, Roy Suryo menganulir pernyataannya, khususnya setelah Timnas ternyata 'hanya' kalah 0-1 dari tim juara Piala Asia 2007 itu--padahal Andik Vermansyah dkk dipermalukan Yordania 0-5 dalam ujicoba beberapa hari sebelumnya.

Namun, Roy Suryo kemudian mengurai kekesalannya setelah Djohar Arifin Husin dkk dari PSSI 2011-2015 melakukan penandatangan kontrak dengan pelatih asal Argentina Luis Manuel Blanco, yang disebut-sebut akan menggantikan posisi Nilmaizar di timnas senior. Menurut Djohar, pendanaan untuk perekrutan Luis Manuel Blanco dilakukan oleh 'pihak ketiga'.

Namun, perekrutan Luis Manuel Blanco ini dilakukan tanpa melibatkan persetujuan seluruh Exco (atau tepatnya anggota Exco yang tersisa dari kepengurusan PSSI Djohar). Diketahui bahwa Bob Hippy dan Sihar Sitorus tak mendukung perekrutan Luis Manuel Blanco itu.
Masih di hari yang sama, pelatih Arema ISL Rahmad Darmawan (coach RD) ditetapkan oleh Satlak Prima KON Pusat sebagai pelatih kepala timnas U-23 yang diproyeksikan ke SEA Games 2013, Desember mendatang di Myanmar.

Sementara itu, agak lepas dari perhatian komunitas media, Djohar Arifin Husin yang disertai Bob Hippy, anggota komite media dan beberapa wartawan, 'terbang' ke Timika, Papua, untuk meresmikan pelatnas Timnas U-19 yg dipersiapkan ke Hongkong. Pada kesempatan itu, Djohar kepada Bob Hippy menyatakan bahwa ia belum secara resmi menetapkan 'status' Luis Manuel Blanco.

Pelajaran atau 'pencerahan' apa yang dapat dipetik dari cuplikan pemberitaan di atas?

Pertama, PSSI Djohar yang kepengurusannya sudah tak diakui lagi oleh mayoritas anggotanya itu, masih saja terus mencoba eksis. 'Mengolah' timnas adalah 'bagian' yang paling menyita perhatian publik, karena penyuka sepakbola Tanah Air sejatinya sangat mencintai timnas.

Kedua, sudah terjadi perpecahan diantara Exco PSSI. Atau persisnya, 'kebobrokan' PSSI Djohar semakin terbuka. Kian jelas adanya perpecahan karena perebutan uang dan kekuasaan.

Dan, ketiga, kemungkinan adanya 'tarik menarik' untuk timnas, khususnya antara KONI melalui Satlak Prima dengan Kantor Kemenpora. Namun, terkait poin ketiga ini, sangat dimungkinkan bila yang terjadi nantinya adalah kerelaan kantor Kemenpora untuk mendukung pengelolaan Timnas U-23 kepada Satlak Prima dari KONI Pusat. Masalahnya, dukungan finansial untuk Satlak Prima diberikan oleh Kemenpora. Tinggal bagaimana penekanan dari Roy Suryo kepada PSSI Djohar agar benar-benar menyerahkan pengelolaan Timnas U-23 kepada Satlak Prima dan tidak mencampuri teknis proses pembinaannya.

Pengelolaan Timnas U23 sendiri oleh Satlak Prima sangat mungkin ditentang habis-habisan oleh PSSI dengan mengajukan alasan bahwa itu bisa dianggap sebagai intervensi pemerintah. Untuk itu, tidak ada salahnya jika ada petunjuk dari AFC yang sudah diserahi FIFA untuk menyelesaikan konflik PSSI.

Kemenpora sendiri sebenarnya sudah mencoba memperoleh petunjuk dari AFC. Namun, Eko Indradjit yang menjadi utusan dari Kantor Kemenpora untuk menemui acting Presiden AFC Zhang Jilong beberapa hari lalu, justru bukan tokoh yang memahami seluk-beluk permasalahan sepakbola nasional, karena 'spesialisasinya' adalah bidang kepemudaan. Karena itu, patut dikritisi bagaimana Roy Suryo bisa 'mengolah' pemikirannya secara optimal bila ia tidak memperoleh dukungan maksimal dari orang-orang di sekelilingnya.

Perebutan Kekuasaan
Kita ketahui bahwa 'PSSI Djohar' yang terbentuk dari KLB 9 Juli 2011 di Hotel Sunan, Solo, sekarang hanya tinggal dihuni oleh tujuh anggota Exco. Empat anggota Exco sudah sejak September 2011 mengundurkan diri dengan lebih dulu melakukan perlawanan kepada Djohar yang tetap didukung oleh sebagian Exco. Subtansi perlawanan ke-4 Exco ini adalah karena ketidaksetujuan mereka atas 'policy' Djohar Dkk yang menerapkan kebijakan 'balas dendam' dan kontra-produktif, terutama dengan 'mengangkangi' keputusan Kongres II PSSI 2010 tentang kompetisi level tertinggi dan jumlah peserta kompetisi. Keputusan Kongres PSSI 2010, yang dilaksanakan 20-22 Januari 2011 di Bali, kompetisi strata tertinggi adalah ISL, dan jumlah peserta kompetisi ISL adalah 18. Dua keputusan Kongres tersebut juga dituangkan dalam Statuta PSSI 2011.

Ke-4 anggota Exco yg menentang kebijakan Djohar ini belakangan mempelopori pembentukan PSSI 2012-2016 yang kelahirannya didukung oleh mayoritas anggota dan voters PSSI, tentunya termasuk voters KLB Solo.

Tujuh anggota Exco PSSI KLB Solo yang tersisa adalah Djohar, Farid Rahman, Bob Hippy, Sihar Sitorus, Widodo Santoso, Mawardy Nurdin dan Tuty Dau. Akan tetapi, kenyataannya beberapa Exco seperti Widodo Santoso dan Mawardy Nurdin sudah sangat jarang mengikuti rapat-rapat Exco PSSI Djohar.

Sementara itu, empat anggota Exco yang mengundurkan diri dan kemudian sama-sama menjadi pengurus inti PSSI 2012-2016 melalui KLB 18 Maret 2012 di Hotel Mercure, Ancol, dengan peserta seluruh anggota PSSI dan mayoritas voters KLB Solo adalah La Nyalla Mattalitti, Robertho Rouw, Erwin Budiawan dan Toni Apriliani.

Terkait perekrutan Luis Manuel Blanco, proses 'pengambilannya' ternyata 'dipromotori' oleh mantan manajer timnas senior di Piala AFF 2012 yakni Habil Marati, bersama beberapa orang lainnya. Dari penelusuran, Habil Marati ternyata didukung penuh oleh Djohar. Dana dari pihak ketiga yang disebut-sebut Djohar ternyata berasal dari kas Isran Noor, bupati Kutai Timur yang menjabat Ketua Asosiasi Kabupaten Seluruh Indonesia. Kendati demikian, tidak diketahui besarnya dana yang digelontorkan oleh Isran Noor ini.

Yang jelas, Isran Noor sendiri tidak 'membuang' dananya secara sia-sia. Bupati Kutim ini dijanjikan untuk menduduki jabatan Ketua Badan Tim Nasional atau BTN PSSI, lembaga yang tercatat dalam Statuta PSSI 2007-2011 namun dibubarkan hanya melalui SK oleh Djohar Arifin. Menurut rencana, keberadaan BTN 'gaya baru' ini akan diumumkan awal pekan ini, dengan Isran Noor sebagai ketua dan Habil Marati menjadi wakilnya.

Akan tetapi, belum lagi bisa dipastikan apakah kelahiran BTN 'gaya baru' ini dapat segera direalisasikan. Pasalnya, seperti dikemukakan di awal tulisan ini, perlawanan terhadap 'keputusan' Djohar Arifin dalam menetapkan Luis Manuel Blanco sebagai pelatih kepala timnas senior sudah langsung ditunjukkan dari kalangan internal PSSI sendiri. Disamping Bob Hippy, yang menjabat koordinator timnas, sikap menentang juga dilontarkan Sihar Sitorus yang selama ini disebut-sebut mengucurkan dana talangan untuk timnas, serta Bernhard Limbong, penanggung jawab timnas.

Mereka berdalih, penunjukkan pelatih timnas harus melalui persetujuan rapat Exco. Tidak ujug-ujug seperti yang dilakukan oleh Djohar.

Kekesalan Bob Hippy, Sihar dan Limbong boleh jadi karena memang mereka tak dilibatkan. Apalagi, Isran Noor diplot untuk menduduki posisi strategis yang memayungi seluruh aspek terkait timnas, yakni Ketua BTN. Dalam penjabaran fungsi atau peran dan kewenangannya, BTN akan menjadi semacam lembaga 'superbodi' yang bertanggung jawab penuh atas timnas, termasuk dalam hal penggalangan dukungan finansial, atau sponsor, serta merekomendasikan pemain dalam seluruh strata tim, serta memilih atau merekomendasikan jajaran ofisial.

Kewenangan BTN yang nyaris mutlak terkait timnas ini tentu saja bisa mematikan peranan Bob Hippy sebagai koordinator timnas dan Limbong, penanggung jawab timnas. Walau fungsi koordinator dari Bob Hippy dan penanggung jawab Timnas yang melekat pada Limbong tidak jelas dan yang pasti tumpang-tindih, akan tetapi selama ini keduanya bisa seiring-sejalan, mungkin karena kepentingan masing-masing terakomodasi.
Berbeda kondisinya sekarang ini. Limbong amat geram dengan perekrutan dan penugasan Luis Manuel Blanco. Sampai-sampai pensiunan jenderal bintang satu ahli koperasi ini melontarkan pernyataan lantang, bahwa lebih baik menurunkan Djohar daripada melanggar keputusan Exco.

Jelas jika saat ini sedang terjadi 'benturan kepentingan' diantara pengurus teras PSSI 2011-2015. Indikatornya apalagi kalau bukan karena uang dan kekuasaan. Penentuan manajer untuk timnas senior untuk Pra Piala Asia, yang dijabat oleh Bupati Sarmi (Papua) sebelumnya disebut-sebut tak terlepas dari aroma kepentingan bisnis Sihar Sitorus dan Limbong. Sekarang, langkah yang sama dilakukan oleh Habil Marati, tentunya dengan memanfaatkan situasi dan dukungan orang-orang yang oportunis.
 
Masyarakat Jangan Apatis
Ada kecenderungan bahwa masyarakat kini sudah semakin merasa masa bodoh atau apatis dengan permasalahan sepakbola nasional saat ini. Sesungguhnya, masyarakat atau publik penyuka sepakbola Indonesia, tidak boleh apatis. Masyarakat harus senantiasa mengkritisi apa yang terjadi, apalagi  dengan memahami subtansi permasalahan, sehingga seorang tokoh yang sebelumnya berada di luar lingkungan sepakbola seperti Prof Tjipta Lesmana pun pada akhirnya bisa melontarkan pendapat bahwa 'kehancuran sepakbola Indonesia sekarang ini dimulai setelah pembentukan LPI (Liga Primer Indonesia)'.

Menurut Prof Tjipta Lesmana, yang menjadi Ketua Komisi Banding Pemilihan (KBP) dalam proses pencarian figur pengurus untuk Kongres Pemilihan 2011, di negara mana pun tidak ada dua kompetisi dari level yang sama. Sekarang ini, di Indonesia,  bukan hanya ada dua kompetisi dari level yang sama. Akan tetapi, dua kepengurusan. Kompetisi yang digelar bukan hanya dari strata profesional, akan tetapi juga seluruh kategori amatir.

Pengungkapan Tjipta Lesmana mengisyaratkan bahwa masyarakat harus cerdas dalam menelaah akar permasalahan terkait konflik PSSI ini. Walau demikian, bagi sebagian masyarakat, timnas-lah yang lebih penting. Pemikiran atau mindset ini pula yang tampaknya amat dipahami oleh Djohar Dkk. Sentimen kebanggaan pada timnas selalu menjadi 'senjata' yang paling ampuh untuk memperoleh dukungan dari masyarakat, termasuk  kalangan media.

Sejak lama disebutkan bahwa elemen media sebenarnya mempunyai peranan penting dalam penyelesaian konflik PSSI. Masalahnya, dalam labirin konflik yang belum diketahui ujungnya ini, media justru terkesan 'terpecah' sehingga hal ini secara langsung atau tidak langsung 'termanfaatkan' oleh pengurus PSSI yang sebagian justru bersifat oportunis. Banyak orang-orang 'pintar' yang 'nyambi' dan bertahan dalam kepengurusan ini untuk mendapatkan keuntungan sendiri.

Kita memahami bahwa sepakbola mempunyai aturan-aturan sendiri. Dalam konteks ini, penyelesaian konflik PSSI tak sekadar siapa harus mengalah, atau kedua pihak harus sama-sama menahan diri. Aturannya sudah sangat jelas. Kepengerusan Djohar sudah diamputasi oleh mayoritas stakeholders sepakbola nasional, dan hanya karena proteksi atau kebaikan dari FIFA/AFC mereka masih bertahan.

Kesalahan terbesar memang ada pada FIFA/AFC yang tidak secara langsung menjatuhkan sanksi kepada PSSI setelah terbentuknya kepengurusan PSSI 2012-2016 dari KLB KPSI pada 18 Maret 2012 di Ancol. Jika saja FIFA konsisten pada statutanya sendiri, yang mengharamkan adanya dua asosiasi di satu negara, maka sepakbola Indonesia sudah harus dijatuhi sanksi berupa pembekuan.

Fakta yang lebih buruk menyusul tidak adanya sanksi itu adalah, Djohar Dkk terus melakukan kerusakan-kerusakan. Pembentukan pengprov-pengprov tandingan, dan klub-klub kloningan, adalah bentuk kerusakan  tambahan                                (collateral damage) yang dibuat oleh PSSI 2011-2015. Tujuan utama Djohar Dkk membentuk pengprov dan klub-klub kloningan apalagi kalau bukan 'merusak' tatanan keanggotaan PSSI, termasuk anggota pemilik suara atau voters.

Karena itulah, Djohar selalu menyatakan bahwa mereka masih didukung oleh mayoritas voters dari KLB Solo--yang menghasilkan kepengurusan 2011/2015. Alasan dengan nuansa kebohongan itu pula yang selalu dilontarkan ke FIFA/AFC, terkait peserta Kongres Palangkaraya 2011 dan 2012. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar