Selasa, 12 Februari 2013

Percayakah Kita dengan Pendidikan?


Percayakah Kita dengan Pendidikan?
Ahmad Baedowi ;   Direktur Pendidikan Yayasan Sukma, Jakarta
MEDIA INDONESIA, 11 Februari 2013


SETIAP orang pasti akan berhenti berpikir sejenak untuk menjawab pertanyaan itu. Jika kita percaya kepada Tuhan, padahal Tuhan tak berbentuk, mengapa kita tak memercayai pendidikan yang efek negatifnya terlihat begitu dahsyat terhadap perkembangan kehidupan sosial masyarakat kita?

Lihat saja angka pengangguran terus bertumbuh, pertumbuhan ekonomi tak seimbang sehingga membuat jurang antara yang kaya dan yang miskin semakin melebar, juga kekerasan, kelaparan, dan kebodohan. Akan tetapi, mengapa kita tetap seperti tak memercayai pentingnya pendidikan untuk suatu bangsa?

Ketika negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura di era 70-an banyak mengalokasikan dana untuk mengirim ratusan ribu anak-anak mereka agar belajar ke luar negeri, kesadaran itu di Indonesia justru baru muncul belakangan. Di 2010 pernah pemerintah mengeluarkan statement akan membuat dana abadi (endowment) pendidikan yang bertujuan untuk mengirim mahasiswa kita belajar ke luar negeri. Kabar itu tak pernah terdengar lagi dan tiba-tiba salah satu rekan saya, seorang profesor ternama dari Yogyakarta, bercerita dia baru saja mendapat tugas untuk me-review calon pe-review yang akan menyeleksi anak-anak berbakat untuk melanjutkan studi keluar negeri. Apa komentarnya?

Lucu, karena hampir semua calon pe-review yang di-review tak sampai 20% yang lulus berkas. Padahal, jumlah calon pe-review program penerima beasiswa semuanya berasal dari kampus ternama di Tanah Air. Apa penyebabnya? Rekan saya menduga praktik pemilihan calon pe-review ini asal-asalan dan beraroma kolusi dan nepotisme di tingkat rektorat. Saya kira selain kemiskinan, kelaparan, dan kekerasan sebagai akibat langsung dari proses pendidikan 30 tahun silam, korupsi menjadi peninggalan kasatmata dari sistem pendidikan yang tidak jelas karena hampir semua indikator yang merujuk kepada visi pendidikan nasional sangat sulit mengukurnya.

Di tingkat sekolah, kerusakan sistem terlihat amat jelas dari cara pemerintah daerah mengatur alokasi dan distribusi dana bantuan operasional sekolah (BOS) yang penuh dengan praktik korupsi. Jika sudah seperti itu masalahnya, masihkah kita percaya bahwa pendidikan dapat mengubah perilaku masyarakat? Jawabannya harus bisa, apalagi jika disertai dengan keyakinan dan kebersamaan. Kebersamaan antara pemerintah dan masyarakat harus dibangun kembali. Bukan seperti sekarang, seperti imajinasi masyarakat bahwa sekolah selalu terasosiasi dengan milik pemerintah, bukan milik masyarakat.

Hampir semua skema kebijakan publik tentang pendidikan selalu menempatkan masyarakat sebagai stakeholder yang tak berdaya dan harus terus dibantu.
Padahal, sejatinya, dalam sejarah pendidikan di negara mana pun di dunia, masyarakatlah pemilik saham terbesar dari setiap lembaga pendidikan. Bahkan ketika sekarang ini pemerintah mengendalikan semua suprastruktur dan infrastruktur pendidikan, masyarakat tetap melakukan perlawanan dengan memberikan bukti bahwa mereka, meskipun miskin, bisa berdaya dalam mendidik anakanak mereka.

James Tooley (2013), dalam The Beautiful Tree: A Personal Journey into How the World’s Poorest People are Educating Themselves, mengonfirmasi beragam bentuk perlawanan masyarakat miskin terhadap sistem pendidikan dan politik yang tidak berpihak kepada mereka.

Tidak hanya di negara seperti India, Ghana, dan China terdapat perilaku diskriminatif terhadap kaum miskin, di Amerika Serikat juga tetap ada contoh dan perilaku otoritas pendidikan yang tidak pro terhadap kaum miskin.

Seni Berkemungkinan

Film dokumenter Waiting for Superman memberi kita banyak ilustrasi tentang optimisme, harapan, dan kesetiaan sistem yang memiliki keberpihakan kepada yang lemah dan tak berdaya. Selain itu, film tersebut mengajarkan pentingnya kebijakan melihat sisi lain dari kehidupan sosial manusia, yaitu tentang seni berkemungkinan (the art of possibilities). Kehidupan ialah soal menjaga kemungkinan untuk tetap hidup di hati dan kepala setiap orang, dan sistem pendidikan yang baik tentu saja harus mengadopsi beragam kemungkinan, termasuk memelihara asa dan kemungkinan anak-anak kurang beruntung dalam memperoleh pendidikan berkualitas.

Salah satu contoh berkemungkinan dalam dunia pendidikan dilakukan Sekolah Sukma Bangsa di Aceh. Ketika di awal sekolah itu dibangun, idealisme yang diusung ialah bagaimana memberikan kualitas pendidikan yang layak dan memadai bagi anak-anak yang kurang beruntung. Karena itu, ketika di tahun pertama sekolah tersebut menerima siswa, hal pertama yang disepakati ialah tentang kualifi kasi siswa, yaitu untuk anak korban tsunami, korban konfl ik, yatim piatu, dan fakir miskin. Dalam prosesnya, rekrutmen siswa ternyata tidak semudah itu, mengingat jumlah anak korban tsunami dan konfl ik serta anak yatim dan fakir sangatlah banyak.

Dalam pikiran sekolah normal, mungkin salah satu cara untuk menekan jumlah peminat dari kalangan kurang beruntung tersebut ialah dengan menggunakan tes, baik akademis maupun psikologis. Namun, pengurus memutuskan untuk tidak melakukan keduanya, tetapi lebih memilih merekrut siswa secara door-to-door alias terjun langsung ke daerah untuk memastikan kepapaan calon siswa.

Prosedur awalnya yaitu dengan membagi kuota beasiswa kepada setiap kabupaten/kota. Kemudian panitia rekrutmen menyeleksi sendiri ketidakmampuan anak-anak calon siswa Sukma Bangsa tersebut.

Kesadaran dan idealisme untuk mempertahankan pola rekrutmen siswa yang pro kepada kemiskinan siswa merupakan sebuah kebermungkinan yang seharusnya dimiliki para pimpinan negeri ini. Itulah pangkal keyakinan bahwa kita tetap harus percaya akan pendidikan yang bisa melayani semua lapisan sosial dan tetap mempertahankan idealisme puritan tersebut; membela si papa untuk ikut serta ke dalam proses pendidikan yang berkualitas.

Dengan demikian, artinya kita sedang bergerak ke arah kesetaraan terhadap akses pendidikan berkualitas. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar