Sabtu, 02 Februari 2013

Penggelabuan Komunikasi Partai Politik


Penggelabuan Komunikasi Partai Politik
Gunawan Witjaksana ;  Dosen Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi (Stikom) Semarang
SUARA MERDEKA, 01 Februari 2013



KOMISI Pemilihan Umum (KPU) telah memutuskan 10 partai politik (parpol) sebagai peserta Pemilu 2014, termasuk memberi nomor. Berbagai tanggapan muncul, baik dari internal parpol maupun masyarakat. Ada kalangan parpol menganggap nomor urut itu sebagai perlambang yang akan mengantarkan kepada kesuksesan, tapi ada pula yang memaknai sebagai hal biasa. 

Adapun masyarakat bersikap realistis, lebih melihat kinerja dan reputasi parpol itu. Sebagian besar parpol peserta pemilu mendatang cenderung masih mengaitkan hal-hal yang dalam istilah Jawa disebut gothak-gathuk mathuk, atau oleh sebagian kalangan dianggap ’’mistis". Pertanyaannya, mengapa hal itu masih saja terjadi pada era teknologi? Bagaimana dampak bagi masa depan parpol tersebut?

Berpijak pada ilmu sosiologi, dalam dunia politik yang penuh ketidakpastian maka penerapan cara berpikir yang berbau mistis merupakan salah satu jalan ke luar, setidak-tidaknya untuk menambah kepercayaan diri. Model parpol yang nyaris tanpa ideologi seperti saat ini, memang sulit mem-branding sosok masing-masing.

Terlebih kesan pragmatisme sempit dengan dalih yang seolah-olah mulia namun minim bukti telah telanjur melekat dalam benak masyarakat. Dalam bahasa komunikasi, model pengelabuan komunikasi semacam itu seharusnya dihindarkan. Namun, entah sadar atau tidak, hingga saat ini masih banyak parpol (justru parpol besar) melakukannya tanpa merasa bersalah.

Janji untuk tidak korupsi yang justru menyeret si komunikator ke perbuatan korup, justru makin berdampak serius dan menjadi hambatan komunikasi yang sulit diperbaiki. Terkait hal ini Towne dan Alder menyebut bahwa communication is irreversible and unrepeatable (komunikasi tidak dapat diperbaiki dan diulang). Itu pula sebenarnya mengapa leluhur kita menganut filosofi sabda pandhita ratu, tan kena wola-wali. Ini sebenarnya yang perlu menjadi fokus perhatian parpol ketimbang menimang-nimang nomor urut yang dianggap bertuah.

Memaknai Nomor

Dari berbagai pernyataan dan diskusi dalam media, kita bisa melihat contoh ketika Sekjen DPP Partai Demokrat mengaitkan nomor urut 7 dengan pitulungan (pertolongan) dalam Bahasa Jawa. Meski ada makna baik, bukankah pernyataannya itu justru menjebak pada pengakuan bahwa saat ini partai itu memang membutuhkan pertolongan. Demikian pula, semisal mengaitkan nomor urut 2 dengan simbol victory (kemenangan), nomor urut 5 dengan Pancasila, atau nomor urut 4 yang kebetulan diperoleh PDIP dengan program empat pilar partai yang dideklarasikan beberapa waktu lalu.

Pilihan Tepat

Untuk sekadar menaikkan kepercayaan diri dalam politik yang penuh ketidakpastian saat ini, itu bukanlah cara keliru. Namun yang lebih penting, setidak-tidaknya melalui komunikasi politik dengan masyarakat, adalah bagaimana membangun keyakinan pada calon pemilih. Dari sisi public relations hal itu tak cukup hanya dengan mengobral wacana melalui berbagai pernyataan, tapi perlu menunjukkan reputasi yang langsung berdampak dan dirasakan oleh masyarakat.

Kesigapan dan kecepatan Gubernur DKI Jakarta Jokowi mewujudkan janji, semisal melalui pemberian kartu sehat, meski berskala kecil tapi karena kegiatan itu terliput media dan berdampak langsung pada masyarakat, menjadi capaian yang signifikan. Parpol sebenarnya perlu melakukan hal seperti itu. Bukankah ada adagium komunikasi work speak laughly, than words (hasil kerja lebih bergaung nyaring dibanding kata-kata).

Perolehan nomor urut parpol memang merupakan tahapan. Namun parpol tidak boleh hanya terpaku atas perolehan nomor itu, terlebih bila mengaitkan dengan hal-hal yang irasional.  Selain digunakan sebagai modal bersosialisasi, tahapan lain terutama terkait dengan pemilu legislatif (pileg), seperti penjaringan caleg dan seterusnya, perlu dilakukan lebih serius.

Prosesnya pun, tahapan demi tahapan, perlu disosialisikan kepada masyarakat. Lagu lama proses seleksi yang tidak fair sehingga menyulut konflik internal harus dihindari, terutama bila parpol yakin bahwa public relations begins at home. Konflik internal yang ter-blow-up media, akan melunturkan kepercayaan masyarakat yang dalam memilih parpol antara lain akan mempertimbangkan pada karakter partai itu.

Semoga perolehan nomor yang rata-rata berkesan menambah kepercayaan diri masing-masing parpol, perlu ditindaklanjuti dengan proses lain yang lebih baik dan terus dikomunikasikan kepada masyarakat. Dengan demikian masyarakat dapat menjatuhkan pilihan yang tepat, dan ke depan fungsi parpol sebagai sarana menyejahterakan masyarakat bukan hanya isapan jempol.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar