Rabu, 13 Februari 2013

Pengalaman Ikut Seleksi Hakim Agung di Indonesia


Pengalaman Ikut Seleksi Hakim Agung di Indonesia
Binsar M Gultom ;   Hakim PN Kelas IA Bengkulu;
Dosen Pascasarjana Universitas Bengkulu
KOMPAS, 13 Februari 2013


Penulis pernah ikut seleksi calon hakim agung (2012) hingga lolos ke tahap III, wawancara di tingkat Komisi Yudisial. Pengalaman menarik selama seleksi tersebut mendorong penulis menyampaikan masukan kepada publik untuk mencari hakim agung di Indonesia.

Sesungguhnya tidak ada manusia sempurna sekalipun dia hakim yang dijuluki sebagai ”wakil Tuhan” di bumi. Hakim juga manusia biasa. Punya berbagai kekurangan dan tidak luput dari berbagai godaan dan tantangan hidup. Itu sebabnya diperlukan pengawasan dan pembinaan terhadap hakim yang melanggar kode etik dan perilaku hakim.
Ketika hakim mengalami cobaan hidup, imannya kendor, dia tidak mampu menghadapi godaan. Justru hakim seperti itu yang sering terjerembap melakukan perbuatan dosa dan pelanggaran hukum. Akibatnya, setelah dia diterima menjadi hakim agung, timbul masalah baru seperti terungkap sekarang, berbagai skandal penyalahgunaan wewenang sebagai hakim agung.

Alangkah terkejut kita ketika ada dalam sejarah, hakim agung sampai dipecat secara tidak hormat. Siapa mengira seorang hakim agung ”Yang Mulia” bisa melakukan tindakan tidak terpuji? Bukankah saat seleksi di tingkat Komisi Yudisial (KY) dan DPR semuanya berjalan mulus, bahkan koreksi dari masyarakat terhadap kekurangan para kandidat saat itu tidak ditemukan?

Turun ke Lapangan

Mulai sekarang kita pasti sepakat bahwa tragedi semacam ini jangan pernah terulang lagi kepada ”Yang Mulia” Hakim Agung. Bagaimana caranya?

Jika kita sepakat mencari figur calon hakim agung yang ideal, caranya adalah menjadikan tugas dan tanggung jawab KY sedini mungkin melakukan inspeksi turun ke lapangan melakukan pemangkalan data seluruh hakim di Indonesia dari tingkat pertama hingga banding. Dari penelusuran pangkalan data itu akan diketahui secara langsung integritas moral para hakim, bagaimana prestasinya, keluarga harmonis atau tidak, kesehatannya, keberanian, tetapi jujurkah?

Nah, kriteria itu semestinya harus mulai dilaksanakan KY sebagai lembaga yang mengawasi perilaku dan kode etik hakim. Fakta hasil lapangan ini kelak akan dapat diuji ketika dia diusulkan Mahkamah Agung (MA) menjadi calon hakim agung. Bukan hanya sekejap saja ketika dia diseleksi KY berdasarkan pengumuman pendaftaran, hasil ujiannya bagus, selanjutnya dia lulus dan diterima menjadi hakim agung. Ini namanya lulus hakim agung secara instan, tetapi mental dan moralnya belum siap menjadi hakim agung.

Karena sampai saat ini seleksi kandidat hakim agung itu masih terus mencari formula yang lebih baik dari sekarang, hemat penulis, mekanisme mendapatkan kandidat hakim agung dalam konstitusi dan undang-undang (UU) harus ”diubah” segera.

Hemat penulis, jadikanlah MA yang pertama memproses seleksi awal kandidat hakim agung seperti yang sudah dilakukan MA selama ini ketika melakukan uji pantas dan layak terhadap para kandidat ketua pengadilan kelas IA khusus, dan bukan lagi hanya sekadar mengirimkan dan mengusulkan daftar nama calon hakim agung kepada KY.

Penulis tidak sependapat jika awal seleksi calon hakim agung dilakukan lewat DPR seperti yang diusulkan mantan Hakim Agung Benjamin Mangkoedilaga (Kompas, 5/2). Mengapa? Sebab, MA-lah yang lebih mengetahui rekam jejak para hakim Indonesia. Seleksi yang dilakukan KY selama ini menyangkut kemampuan teknis peradilan sebaiknya diserahkan kepada MA sebab MA yang paling tahu teknis peradilan, mulai dari mengadili perkara hingga eksekusi dan administrasi perkara.

Bagaimana mungkin diperoleh kualitas kandidat yang ideal jika para kandidat itu diuji oleh yang bukan hakim di KY. Penulis percaya, para tenaga ahli/pakar atau mantan hakim agung yang dijadikan KY untuk menyeleksi para kandidat hakim agung sudah bagus. Namun, akan lebih bagus lagi jika yang menyeleksi kompetensi teknis peradilan dan administrasi peradilan itu pertama sekali diserahkan kepada para ketua muda hakim agung di MA sesuai bidang masing-masing calon berdasarkan sistem kamar yang berlaku di MA.

Setelah tahapan di MA dilewati, barulah secara resmi pemimpin MA mengirimkan daftar nama calon hakim agung yang layak diseleksi oleh KY dengan komposisi, menurut penulis, sebaiknya 1:2, bukan seperti seka- rang 1:3. Jika perbandingannya 1:3, sama saja kita tidak konsekuen memilih figur yang lebih tepat dan layak. Terlalu banyak alternatif semakin tidak tepat pilihan kita.

Kemudian, KY melakukan uji kelayakan terhadap kandidat yang dikirimkan MA melalui hasil penelusuran data awal ketika KY turun ke lapangan untuk mengetahui rekam jejak kandidat lewat profile assessment, uji kesehatan, rekam jejak calon, dengan melibatkan elemen masyarakat melakukan investigasi terhadap berbagai kode etik perilaku hakim, harta benda yang tidak wajar, membuat makalah, hingga melakukan uji kelayakan seperti yang dilakukan Komisi III DPR selama ini.

Baru kemudian KY memilih di antara calon yang dipandang lebih cakap dari yang cakap. Dari hasil penilaian KY yang secara ketat ini, barulah nama-nama kandidat tersebut diteruskan KY kepada presiden untuk ditetapkan oleh presiden, bukan lewat DPR lagi.
Mengapa? Tanpa mengurangi rasa hormat kepada DPR, hemat penulis, sangat berlebihan apabila profesi hakim harus diseleksi lewat DPR. Sekalipun profesi hakim menurut UU Nomor 18 Tahun 2011 tentang KY kini jabatan hakim agung merupakan jabatan publik, hemat penulis, jabatan hakim agung itu bukanlah jabatan politis. Jabatan hakim agung itu tidak perlu mendapat rekomendasi dari DPR kepada presiden. Cukup melalui KY kepada presiden.

Kalau mekanisme prosedur pemilihan calon hakim agung ini dapat disederhanakan, mengapa harus diperpanjang yang akhirnya merupakan pemborosan uang negara? ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar