Rabu, 20 Februari 2013

Pengadilan Dihina, Mana KY?


Pengadilan Dihina, Mana KY?
Achmad Fauzi Hakim Pengadilan Agama Kotabaru, Kalsel;
Penulis buku Pergulatan Hukum di Negeri Wani Piro
JAWA POS, 20 Februari 2013


KERJA menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim oleh Komisi Yudisial (KY) masih berjalan parsial, reaktif, serta terpaku pada kasus-kasus yang menjadi atensi publik. Ketika pada 29 Januari lalu Ramlan Zas, mantan bupati Rokan Hulu, Riau, mengamuk dan mengancam membunuh jaksa dan hakim di ruang sidang PN Pekanbaru, seusai divonis 4 tahun penjara atas dakwaan korupsi dana APBD, KY hanya menyesalkan kejadian tersebut. 

Padahal, ancaman itu sangat serius bagi kemerdekaan hakim dan independensi peradilan. Sekadar memberikan perlindungan kepada pihak-pihak yang diancam itu selemah-lemahnya iman. Harus ada langkah lain yang menjerakan kepada pengancam dan calon pengancam. 

Selain KY wajib proaktif, hakim perlu melaporkan kasus penghinaan pengadilan oleh siapa pun kepada KY. Lembaga tinggi negara itu berwenang mengambil langkah hukum dan/atau langkah lain terhadap orang perseorangan, kelompok orang atau badan hukum yang merendahkan kehormatan dan keluhuran martabat hakim (pasal 20 ayat (1) huruf e UU Nomor 18/2011 tentang KY). 

Kadang ada penghinaan berat yang dilakukan kuasa hukum terdakwa, seperti menggebrak meja ketika sidang atau mencaci-maki hakim. Selama ini majelis sebatas mengusirnya ke luar persidangan. Padahal, demi tegaknya kewibawaan hukum, hakim bisa melapor ke organisasi advokat untuk dikaji kembali izin beracaranya: dilarang praktik dalam kurun waktu tertentu atau dicabut izin beracaranya.

Sikap KY tentu jauh berbeda ketika menghadapi gelombang kekecewaan publik atas pernyataan hakim Muhammad Daming Sunusi yang dianggap tak sensitif gender. KY dengan reaktif merekomendasikan Daming diberhentikan karena dinilai melukai perasaan perempuan korban perkosaan. 

Dua peristiwa tersebut sama-sama dalam kerangka penegakan martabat hakim dan lembaga peradilan, namun penyikapannya tidak seimbang. Padahal, merosotnya wibawa hukum, salah satunya, terkait dengan pelecehan terhadap lembaga peradilan. Sedih, kalau pembelaan terhadap martabat pengadilan menunggu dulu frekuensi pemberitaan.

Ada kecenderungan pelampiasan ketidakpuasan pihak yang dikalahkan dalam suatu perkara disalurkan secara melawan hukum. Protes terhadap sistem peradilan dilakukan dengan cara-cara primitif atau bahkan membunuh karakter hakim. 

Silakan disimak laporan pengaduan terkait pelanggaran kode etik hakim yang masuk ke KY sepanjang 2012. Dari 1.500 aduan hanya lima yang direkomendasikan ke majelis kehormatan hakim. Secara nyata sebagian besar persentase pengaduan masyarakat mengandung kebohongan. Celakanya, ribuan pengaduan yang tak terbukti itu kerap dijadikan parameter untuk menggambarkan integritas hakim secara keseluruhan. Proses rehabilitasi citra baik hakim terlapor juga tidak maksimal. 

UU Penghinaan Pengadilan 

Hingga kini langkah preventif KY dalam desain besar menjaga martabat dan keluhuran hakim belum utuh. Justru MA bersama Dewan Pers yang beberapa waktu lalu sepakat mendesak pemerintah supaya membuat UU yang mengatur perilaku masyarakat di dalam dan di luar persidangan. 

Kini kian mendesak adanya UU yang mengatur tindak pidana terhadap proses peradilan (contempt of court) berikut sanksi yang menjerakan. Penjelasan umum butir 4 UU Nomor 14/1985 tentang Mahkamah Agung telah menyebutkan bahwa untuk dapat lebih menjamin terciptanya suasana yang sebaik-baiknya bagi penyelenggaraan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, perlu dibuat suatu undang-undang yang mengatur penindakan terhadap perbuatan, tingkah laku, sikap dan atau ucapan yang dapat merendahkan dan merongrong kewibawaan, martabat, dan kehormatan badan peradilan. Pasal-pasal soal itu masih menyebar di beberapa bab dalam KUHP. 

Hakim, Beranilah Laporkan 

Mengatur sanksi contempt of court penting untuk menjaga martabat peradilan dari tindak pidana terhadap proses peradilan. Kini gejala perongrongan wibawa pengadilan itu menjadi-jadi. Jika diamati dengan saksama, sepanjang 2012 ada lima kecenderungan delik contempt of court. 

Pertama, penghinaan maupun ancaman terhadap hakim serta pemukulan yang dilakukan terdakwa terhadap saksi. Kedua, kecenderungan tidak menaati perintah-perintah pengadilan. Jamaknya eksekusi paksa dalam perkara perdata menunjukkan ketidakpatuhan terhadap perintah pengadilan. 

Ketiga, perbuatan yang ditujukan untuk memutarbalikkan kebenaran dan mengacaukan fungsi yang seharusnya dijalankan dalam proses peradilan. Misalnya, penyuapan terhadap saksi atau mengancam saksi agar bungkam ataupun memalsukan keterangannya. Terhadap sumpah dan keterangan palsu kini menjadi kegelisahan publik karena menyangkut proses penemuan kebenaran formil dan materiil. Karena itu, hakim wajib tidak mempertimbangkan sumpah dan keterangan palsu dan pihak yang dirugikan aktif melaporkan agar dapat diproses secara pidana dan memberian efek jera. 

Keempat, mencampuri peradilan yang bebas dan tidak memihak untuk suatu kasus yang sedang atau akan diperiksa di pengadilan. Kelima, tuduhan negatif kepada hakim atau pejabat pengadilan dan kritik-kritik terhadap putusan pengadilan yang belum maupun yang telah berkekuatan hukum tetap.

Ketersediaan UU contempt of court sejatinya menjadi instrumen hukum yang bersifat memaksa masyarakat menghormati lembaga dan proses peradilan. KY mestinya ikut mendorong adanya UU ini. Di sisi lain, reformasi integritas, kualitas, dan profesionalisme aparatur peradilan mutlak terus dilakukan hingga langit runtuh. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar