Rabu, 13 Februari 2013

Pemimpin Berkarakter dan Bermartabat


Pemimpin Berkarakter dan Bermartabat
Lilin Budiati ;   Widyaiswara Madya Badan Pendidikan dan Pelatihan
Provinsi Jawa Tengah
SUARA MERDEKA, 12 Februari 2013


"Organisasi pemda belum menganut asas yang mengedepankan miskin struktur tapi kaya fungsi"

PEMIMPIN selalu lahir dari situasi krisis dan kekacauan (riot) karena itu diperlukan kemampuan untuk mempersatukan seluruh elemen bangsa ini, dan itu butuh sosok negarawan yang teruji integritasnya. Banyak pemimpin hidup berkelimpahan tetapi tidak mempunyai, apalagi meyakini makna atau nilai (meaning) hidup yang harus diperjuangkan.

Bagaimana jika kekosongan eksistensial ini melanda kepemimpinan birokrasi. Mungkinkah seorang pemimpin dapat mereformasi atas dasar fundamen moral dan etika dalam tubuh birokrasi? Tak sedikit sumber daya, dana, pikiran, dan tenaga yang dicurahkan untuk mewujudkan reformasi birokrasi namun belum dapat mengubah  kinerja dan organisasi pemerintah, sesuai dengan tuntutan reformasi.

Realitasnya, hingga kini belum dapat diwujudkan kinerja pemerintahan yang bersih (clean government), budaya organisasi dan  tata kelola pemerintah yang baik (good governance) berjalan lamban, dan pelayanan prima  (excellence of service) masih belum optimal.  

Pertanyaan lain, mengapa reformasi birokrasi tak segera dapat diwujudkan? Padahal birokrasi adalah salah satu penggerak reformasi yang sangat penting. Birokrasi memang sudah melakukan perubahan tetapi baru pada tingkat permukaan. Yang berubah hanyalah nomenklatur (nama) lembaga-lembaga birokrasi.

Reformasi birokrasi yang sesungguhnya belum dilakukan secara sistematis dan terukur. Berbagai indikator menunjukkan bahwa reformasi birokrasi belum terlaksana dengan baik, (LGSP, 2008). Kemerebakan kasus korupsi merupakan salah satu indikasi bahwa reformasi birokrasi belum dilaksanakan secara konsisten.

Di sisi lain, restrukturisasi di berbagai lembaga pemerintahan tidak memberikan gambaran bahwa reformasi birokrasi sebagai alat untuk peningkatan efisiensi dan efektivitas pembangunan dan pemerintahan. Dengan kata lain, restrukturisasi birokrasi tidak sepenuhnya mendukung tujuan reformasi birokrasi. Apakah kondisi seperti ini dapat dimaknai sebagai buah reformasi?

Fakta membuktikan bahwa hingga kini pemilu yang diberi predikat sebagai indikator implementasi demokrasi selalu berakhir dengan ”kericuhan”. Lebih dari 50% pilkada berakhir dengan protes, demonstrasi, kekerasan, dan perusakan.  Prinsip kebersamaan yang harus ditegakkan menjadi terabaikan. Hal ini mengakibatkan moral dan etika politik birokrasi gagal membawa transformasi nilai-nilai menuju cita-cita reformasi.

Kita perlu menelusuri persoalan besar yang menghambat laju reformasi. Pertama; implikasi  proses demokrasi, yakni perilaku berdemokrasi justru melanggar atau berlawanan dengan nilai-nilai demokrasi, seperti kemunculan kerusuhan, huru-hara, demonstrasi, yang notabene melahirkan budaya politik mobokrasi.

Kaya Fungsi

Semua berdalih tindakan apa pun adalah pembenaran demi demokrasi, perilaku demoralisasi tanpa mengedepankan etika. Euforia demokrasi memicu demoralisasi dan etika politik demokrasi yang tidak mendasarkan pada  prinsip-prinsip kerakyatan, keadilan, dan hak asasi. Inikah wujud integrasi tanpa inteligensia?

Kedua; budaya kepemimpinan. Perubahan sosial era reformasi yang begitu cepat juga dapat dirasakan betapa absurd kondisi nilai-nilai budaya bangsa yang makin rentan dan mudah terkikis sehingga harmoni kehidupan bernegara dan bermasyarakat tidak dapat diwujudkan secara sehat.

Demoralisasi etika politik birokrasi sangat bergantung pada para pemimpin, disorientasi mindset dari paham sentralistik ke desentralisasi, dan kemunculan budaya etnosentrisme dan egosentrisme mengancam kesatuan NKRI. Di tangan pemimpin yang berkarakter dan bermartabatlah, budaya dan etika organisasi pemerintahan dapat diselamatkan, jika mampu membangun perubahan nilai-nilai, semisal mengurangi budaya birokrasi dari elitis ke egaliter (merakyat) dan budaya birokratis ke humanis. 

Ketiga; tata pamong organisasi pemerintahan. Membangun  budaya organisasi tata kelola pemerintahan yang  sehat sesuai tuntutan reformasi adalah membangun organisasi yang ramping, dan SDM berkinerja sesuai dengan kompetensi. Faktanya, hingga sekarang organisasi pemda belum menganut asas organisasi yang mengedepankan miskin struktur tapi kaya fungsi. 

Dengan jumlah yang terlalu besar, organisasi birokrasi menjadi tidak efisien. Birokrasi juga tidak efektif, tidak objektif, menjadi tidak terkontrol bila berhadapan dengan kritik, serta tidak mengabdi pada kepentingan umum. Birokrasi tak lagi menjadi alat rakyat tetapi menjadi instrumen penguasa dan sering tampil sangat otoritatif dan represif.

Kini saatnya para pemimpin melakukan kontemplasi total melalui introspeksi dan retrospeksi tentang kebijakan yang telah, sedang, dan dirancang dalam mewujudkan otonomi daerah. Paradigma seharusnya juga sudah berubah dari gaya sentralistik ke desentralisasi, dari menguasai ke melayani, dari lambat ke cepat, dari seram ke ramah, dari otoriter ke egaliter, dan seterusnya.

Karena itu, perlu redefinisi, reorientasi, dan revitalisasi perilaku pimpinan birokrasi, yakni pimpinan politik yang berorientasi pada kepentingan negara, bangsa, dan masyarakat. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar