Sabtu, 16 Februari 2013

Pemilu Dalam Disertasi Pram


Pemilu Dalam Disertasi Pram
Moh Mahfud MD  Guru Besar Hukum Konstitusi 
SINDO, 16 Februari 2013


Tanggal 11 Januari 2013 lalu, Pramono Anung Wibowo (Mas Pram) berhasil mempertahankan disertasi doktornya di Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran dengan predikat cum laude. Disertasi yang berjudul ”Komunikasi Politik dan Pemaknaan Anggota Legislatif terhadap Konstituen” itu menyimpulkan, antara lain, jika dilihat dari motivasi, anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) masuk ke lembaga legislatif tersebut karena motif yang berlapis, yaitu motivasi utama dan motivasi turunan. 

Motivasi utama untuk menjadi anggota legislatif adalah kekuasaan politik dan kepentingan ekonomi, sedangkan motivasi turunan-turunannya yang berciri retoris adalah ideologis, memperjuangkan sistem demokrasi, aktualisasi sikap-sikap politik, memperjuangkan kebijakan politik, dan memperjuangkan aspirasi kaum marginal. Kesimpulan tersebut bukan hal baru, tetapi tetap saja menyentak dan memancing perhatian. 

Selama ini memang terkesan anggota DPR tampil bukan karena ingin memperjuangkan ide atau segala kebaikan dalam berpolitik, melainkan karena syahwat mempunyai kekuasaan dan kepentingan ekonomi. Motivasi ideologis memperjuangkan sistem demokratis dan aspirasi politik serta memperjuangkan kaum marginal hanyalah menjadi motivasi turunan yang berciri retoris, tak jelas, dan sekadar basa-basi. Itulah yang kemudian bisa menjelaskan mengapa banyak politikus kita berperilaku koruptif dan dihukum karena korupsi. 

Karena motif utamanya hanya kekuasaan dan kekayaan material, para legislator sering menghalalkan segala cara untuk meraih kekuasaan dan uang. Kekuasaan diraih dengan uang, sedangkan uang digarong melalui kekuasaan. Saat mempertahankan disertasinya di depan ujian promosi terbuka itu, Mas Pram menjelaskan dengan sangat baik salah satu penyebab tampilnya perilaku politik asal berkuasa dan asal dapat uang itu adalah pemilu dengan sistem proporsional terbuka, yang calon terpilih adalah calon yang mendapat suara terbanyak dari sejumlah daftar nama calon yang disusun oleh pengurus parpol. 

Di dalam sistem proporsional terbuka ini para kandidat berjuang mati-matian dengan segala cara agar mendapat suara terbanyak. Para kandidat dalam satu parpol berjuang untuk diri masingmasing tanpa memedulikan apa yang harus diperjuangkan menurut khitah atau garis perjuangan partai. Bahkan dalam praktiknya mereka saling jegal, saling fitnah, dan saling berantem di antara sesama caleg dari satu partai yang sama. 

Tidak ada lagi ideologi, tidak ada lagi perjuangan untuk kepentingan rakyat.Yang penting terpilih meskipun harus menyuap atau melakukan money politics. Ketika menerangkan brutalitas politik di antara para caleg itu Mas Pram menyebut nama saya sebagai ketua Mahkamah Konstitusi (MK) dan nama Ferry Mursyidan Baldan. Sebagai ketua MK nama saya disebut untuk dilapori (dan dikomplain) karena pemilu dengan sistem proporsional terbuka seperti yang ditetapkan MK ternyata telah menimbulkan efek buruk dalam perpolitikan kita. 

Adapun nama Ferry disebut sebagai contoh betapa seorang pekerja politik yang baik dan profesional seperti Ferry telah menjadi korban sehingga ”tak terpilih” karena sistem proporsional terbuka itu. Kalau mau objektif dan jujur, brutalitas politik yang seperti itu sudah ada sejak sebelum diberlakukannya sistem proporsional terbuka. Pada masa lalu penentuan daftar caleg berdasar nomor urut (proporsional tertutup) lebih banyak ditentukan melalui nepotisme dan perkoncoan. 

Yang menjadi pimpinan partai pada berbagai level atau keluarganya selalu mendapat prioritas utama untuk mendapat nomor peci (nomor jadi), sedangkan orang-orang yang baik sering kali tak terpilih karena ditempatkan di nomor sepatu sebagaivote getter. Dalam beberapa kasus yang menyeruak di media massa,kita sering mengetahui banyak caleg yang menempati nomor peci karena membayar sejumlah uang kepada oknum pimpinan partai atau karena berhasil memaksa melalui cara-cara premanisme. 

Nepotisme dan money politics untuk menjadi anggota legislatif itu selalu ada,baik melalui sistem proporsional terbuka maupun sistem proporsional tertutup. Hanya saja di dalam sistem proporsional tertutup money politics dilakukan secara borongan kepada oknum pimpinan partai, sedangkan pada sistem proporsional terbuka dilakukan secara eceran langsung ke kantong-kantong pemilih. Makanya, kalau soal korupsi, kita bisa menyebut nama-nama anggota DPR yang masuk penjara karena korupsi, padahal mereka terpilih melalui sistem proporsional tertutup (murni dengan nomor urut), yakni terpilih melalui Pemilu 2004 dan sebelumnya. 

MK sendiri sebenarnya tidak pernah memutlakkan bahwa yang konstitusional adalah sistem proporsional terbuka. MK hanya mengatakan, sistem proporsional ”setengah terbuka” itu tidak adil dan mengandung penipuan. Misalnya si Sholeh tercantum di nomor urut tujuh dengan suara 10.000 harus dikalahkan oleh si Badu yang tercantum di nomor urut satu, padahal hanya memperoleh 750 suara dengan alasan suara yang diperoleh si Sholeh belum mencapai 25% bilangan pembagi pemilih (BPP). 

Bagi MK, untuk menghindari ketidakadilan dan pembohongan publik, kalau mau sistem proporsional tertutup (murni, sistem nomor urut), ya pakai saja sistem proporsional tertutup (murni) itu. Tapi kalau mau memakai sistem distrik ya pakai saja sistem distrik. Sistem proporsional dan sistem distrik itu sama konstitusionalnya. Yang penting konsisten, tidak mengecoh dengan adanya raihan minimal sekian persen dari BPP sebagai batas untuk dimenangkan dengan suara terbanyak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar