Rabu, 27 Februari 2013

Pemetaan Permasalahan di Papua


Pemetaan Permasalahan di Papua
Ismatillah A Nu’ad Peneliti Pusat Studi Islam dan Kenegaraan
Universitas Paramadina, Jakarta
SUARA MERDEKA, 27 Februari 2013


"Perlu mengubah pola militeristik di Papua dengan lebih menitikberatkan pada pendekatan HAM"

PENEMBAKAN di Papua yang menewaskan 8 prajurit TNI kembali memicu ketegangan antara negara dan gerakan ’’grassroot’’ yang seperti tidak pernah mewujud. Kontras menyatakan selama ini pemerintah masih menggunakan cara pendekatan militeristik di Bumi Cendrawasih. Ditambah realitas atas klaim pemerintah sudah menerapkan model pendekatan kesejahteraan, tidak sesuai dengan kondisi di lapangan.

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) menyatakan hampir tiap hari ada penembakan dan belum ada pelaku ditangkap. Bila ada yang mengatakan pelaku adalah anggota Organisasi Papua Merdeka (OPM), dari mana mengetahui, sementara belum ada pelaku ditangkap?

Kesimpulan sementara, kekerasan itu sebagai akibat perlakuan tidak adil yang sudah lama terjadi dan belum terselesaikan. Pendekatan nonmiliter atau nonkekerasan di Papua bukan berarti hanya menghindari kekerasan fisik melainkan juga menghindari kekerasan internal pada rohani manusia. Kita bukan cuma dilarang menembak manusia melainkan juga dilarang membencinya.

Pernyataan Martin Luther King Jr (1929-1968) relevan untuk mengaitkan dengan situasi tak kondusif di Papua. Pasalnya, saat ini aksi kekerasan bersenjata bukannya meredup melainkan makin menyebar. Situasi labil beberapa waktu lalu juga terjadi di Kepulauan Yapen, setelah sebelumnya terjadi di kota Jayapura dan Wamena. Tragedi Yapen memperlihatkan makin menyebarnya lokasi penembakan dalam tiga tahun terakhir.

Pemetaan Persoalan

Dewasa ini menurut beberapa media, kekerasan bersenjata makin kerap terjadi di Jayapura, Timika, dan sejumlah wilayah pegunungan tengah, seperti Wamena, Mulia, dan Paniai. Banyak pihak mengkritik kinerja aparat dan BIN cenderung lamban dan masih menggunakan pendekatan militeristik guna menstabilkan kondisi di provinsi itu.

Padahal sejumlah anggota DPR sudah mengusulkan mengintensifkan pendekatan dialogis atau nonmiliteristik. Sebagian lagi mengkritik ketidaktegasan pemerintahan SBY menyelesaikan persoalan itu. Pasalnya berbagai tragedi penembakan dan kekerasan bersenjata di Papua bisa menggiring ke arah disintegrasi bangsa.

Mantan Ketua MPR Amien Rais pernah mengusulkan kepada Presiden SBY supaya lebih serius menyelesaikan persoalan itu karena isu Papua sudah menjadi perbincangan internasional. Pada Agustus lalu, sejumlah pengacara internasional mengajukan banding ke Mahkamah Internasional atas referendum rakyat tahun 1969 yang menggabungkan Papua dalam NKRI.

Dari sekian anatomi  gerakan separatis (termasuk makar beberapa waktu lalu) di Papua, dipastikan ada aktor intelektual. Begitu sentral peran aktor intelektual itu karena dapat menggerakan massa. Karenanya, jika aparat ingin mencegah, lewat BIN misalnya, semestinya harus mengetahui basis aktor intelektual tersebut.

Pemetaaan terhadap gerakan separatis berikut aktor, serta persoalan di baliknya perlu dilakukan secara signifikan. Aparat keamanan harus berusaha supaya isu-isu yang dimainkan gerakan separatis tidak menjadi pusat perhatian internasional. Cara militeristik harus diubah  dengan lebih menitikberatkan pada pendekatan HAM mengingat indikasi pelanggaran hak asasi bisa menjadi pintu masuk internasionalisasi gerakan separatis.

Selain itu, isu keadilan ekonomi dan politik. Pemerintah perlu belajar dari kasus keterpisahan Timor Timur, dan salah satu isu yang diinternasionalisasi adalah persoalan ketidakadilan ekonomi dan politik.

Karena itu, pemerintah semestinya mulai memberikan rasa keadilan ekonomi dan politik secara konkret dan faktual, bukan hanya retorika. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar