Kamis, 21 Februari 2013

Partai dan Komitmen Kenegarawanan


Partai dan Komitmen Kenegarawanan
Joko Wahyono Analis pada Studi Politik Pascasarjana
UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
MEDIA INDONESIA, 20 Februari 2013


INTERVENSI Presiden Susilo Bambang Yudho yono dalam `mengatasi' prahara internal Partai Demokrat menimbulkan multiplier effect (efek ganda). Selain tak ada jaminan bakal terdongkraknya elektabilitas partai yang terpuruk di level 8,3% versi lembaga Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC), kesibukan SBY meredam gejolak di partainya itu menuai gugatan publik terkait dengan komitmennya sebagai kepala negara sekaligus kepala pemerintahan.

Kenyataan semacam itu setidaknya bisa dibaca dari hasil survei terbaru Lingkaran Survei Indonesia (LSI). Sebanyak 68,42% publik skeptis terhadap kinerja SBY dalam mengemban amanah kenegaraan di sisa masa baktinya.

Hanya 24,29% publik yang menilai SBY tetap bisa fokus menjalankan tugasnya sebagai presiden. Begitu pula hanya 27,31% publik yang yakin SBY dapat mengembalikan dukungan ke Partai Demokrat di Pemilu 2014 mendatang. Sebaliknya, 60,38% publik ragu langkah SBY tersebut bisa memperbaiki elektabilitas partai. Meski bukan hal yang mengejutkan, hasil survei itu semakin mengonfirmasi trust publik, khususnya kepada SBY dan Demokrat, kini benar-benar tengah berada di titik nadir. Salah satu penyebabnya ialah ketika Presiden kerap bertindak bukan sebagai negarawan, melainkan politikus. 

Tanggung jawab politik (political accountability) ke partai ditempatkan sebagai kepentingan tertinggi di atas tanggung jawab ke publik (public accountability).
Partai bukan lagi sebagai alat bagi pencapaian kemaslahatan bersama, melainkan hanya untuk memenuhi syahwat kekuasaan. Sebagaimana adagium le parti c'est moi (partai adalah saya), setiap kekuatan yang merongrong partai dini lai ancaman bagi eksistensi diri seorang politikus.

Tidak Konsisten

Sebagai pendiri sekaligus figur sentral, SBY memang berhak membenahi kemelut di tubuh partainya. Namun, langkah `tanggap darurat' SBY itu telah menjadi konsumsi publik. Pernyataan apa pun yang keluar di luar konteks kepentingan bangsa dan negara akan bersinggungan langsung dengan persepsi publik. Padahal, kisruh Demokrat bukanlah kisruh negara yang menuntut harus ditangani secara serius. Harus jujur dikatakan, langkah yang serupa jarang sekali diperlihatkan SBY ketika menghadapi sejumlah persoalan krusial, seperti korupsi, narkoba, serta konflik sektarian yang jelas menggerogoti sendisendi kehidupan berbangsa dan bernegara.

Itulah barang kali gambaran inkonsistensi SBY. Bagaimana tidak, beberapa waktu lalu (28/1), dalam acara pembekalan rapat kerja pemerintah 2013, SBY memperingatkan para menteri dari parpol agar tidak sibuk melakukan kegiatan-kegiatan politik menjelang Pemilu 2014. Namun, lagilagi untuk kesekian kalinya SBY melangkahi ucapannya itu. Alih-alih mengefektifkan kinerja pemerintahan, SBY justru larut dalam urusan internal partainya sendiri, seolah-olah tidak ada urusan ne gara yang lebih penting di luar persoalan kemelut partai yang mengantarkannya menjadi presiden untuk dua periode itu. Tak mengherankan jika kemudian muncul persepsi bahwa langkah SBY tersebut merupakan bentuk penyalah gunaan kekuasaan.

Penyalahgunaan kekuasaan di sini tentu tidak hanya terbatas pada korupsi, tetapi juga mencakup pula penggunaan fasilitas negara bahkan jam kerja yang memang di luar kontrol publik. Memang tidak mudah untuk menyelaraskan tuntutan akuntabilitas publik dengan politik (partai).

Namun, secara konstitusional SBY ialah presiden RI, bukan presiden partai. Basis legitimasi seorang presiden bersumber dari rakyat, bukan partai, karena pengangkatannya dipilih langsung secara demokratis sesuai dengan representasi dan keinginan rakyat. Untuk itu, rakyat berhak mempersoalkan, bahkan menggugat, seorang presiden ketika dinilai abai terhadap tanggung jawab publik dan lebih mementingkan urusan partai.

Tanggung Jawab Etis

Ketidakjelasan secara etis tindakan politik presiden itu membuat keadaban publik mengalami kehancuran. Wajah masa depan bangsa semakin kabur karena fungsi etis tidak dijadikan acuan dalam kehidupan politik. Etika politik di sini bukanlah sekadar imbauan moral yang naif bila dikaitkan dengan kehidupan politik praktis. Etika politik digunakan untuk membatasi tindakan mana yang harus dikedepankan atau dipilih seorang pejabat publik. Di dalam setiap kekuasaan, terkandung secara inheren tanggung jawab etis untuk berbuat sesuai dengan tuntutan jabatan demi kepentingan umum.
Langkah SBY yang membagi waktu antara mengurus negara dan partai tentu patut diapresiasi. Namun, menurut Kastorius Sinaga (2008), tindakan sebagai seorang presiden jauh lebih elegan jika didasarkan pada, pertama, prinsip kehatihatian (principle of prudence). Itu sebuah prinsip yang `mempertanyakan' secara kritis latar belakang berikut `pemihakan' dari sebuah tindakan politik.

Kedua ialah prinsip tata kelola (principle of governance). Prinsip itu menyangkut pengukuran terhadap standar-standar di dalam menentukan sebuah tindakan politik. Kesadaran akan pentingnya akuntabilitas publik, transparansi, dan solidaritas kolektif secara otomatis akan melahirkan perilaku dan keputusan yang jauh lebih etis.

Ketiga ialah prinsip rasional (principle of rational), yakni menimbang secara saksama manfaat dan biaya (cost and benefit) dari sebuah tindakan dalam rangka kepentingan umum. Sebuah tindakan yang memiliki motif untuk `memihak' kepada kepentingan umum jauh lebih etis jika dibandingkan dengan tindakan yang hanya untuk melayani kepentingan pribadi ataupun kepentingan partai. Sebenarnya partai berfungsi sebatas perantara dalam pengambilan keputusan bernegara yang menghubungkan warga dan institusi-institusi kenegaraan. Partai merupakan sarana politik untuk membentuk kemauan kolektif.

Presiden pertama Filipina Manuel L Quezon (1878-1944) telah mengingatkan, sebagaimana yang sering dikutip Presiden ke-35 Amerika Serikat John F Kennedy, “My loyalty to my party ends where my loyalty to my country begins.“ (Loyalitas politikus terhadap partai berakhir ketika pengabdiannya terhadap negara dimulai.) Itu sebuah ungkapan yang menyiratkan pentingnya komitmen kenegarawanan seorang pejabat publik, termasuk presiden. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar