Sabtu, 09 Februari 2013

OKI, Indonesia, dan Demokrasi


OKI, Indonesia, dan Demokrasi
Ismatillah A Nu’ad  ;   Peneliti Pusat Studi Islam dan Kenegaraan
Universitas Paramadina, Jakarta
REPUBLIKA, 07 Februari 2013


Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Organisasi Konferensi Islam (OKI) di Kairo, Mesir, pada 5-6 Februari 2013 sangat menarik dicermati dalam dua hal. Pertama, kondisi Mesir yang tidak stabil pascakemenangan referendum yang memberlakukan penerapan konstitusi berbau syariat Islam di Negeri Piramida. Kedua, kiprah Indonesia dalam KTT itu. 

Indonesia dinilai sebagai objek menarik karena sejarah politik di negeri ini tak begitu terlihat di mana Islam dan demokrasi menjadi begitu di pertentangkan. Berbeda di negara lain di mana masyarakat Muslim menjadi mayoritas, wacana Islam dan demokrasi tampaknya belum terkebumikan dalam arena politik praktis. Padahal, isu Islam dan demokrasi sejak dekade 1990-an menjadi tren global, terutama di kalangan akademisi. 

Ada yang menganggap kompatibel, ada juga yang menganggap inkompatibel.
Setidaknya, pengalaman Islam dan demokrasi di Indonesia menjadi contoh yang baik karena bisa menunjukkan kompatibilitas keduanya. Namun, tren demokratisasi yang ber kembang itu kurang begitu tampak di negara Islam. Menurut laporan yang berjudul "Freedom in the World 2000: The Democracy Gap", sejak awal dekade 1970-an di mana demokratisasi gelombang ketiga dimulai, di dunia Islam umumnya sangat minim dalam mengapresiasi keterbukaan politik, kurang respek terhadap persoalan-persoalan HAM, serta kebebasan pers dan transparansinya yang tersumbat. 

Celah demokrasi antara dunia Islam dan tatanan negara yang tengah dilanda gelombang ketiga demokratisasi itu terlihat sangat begitu dramatis (Azyumardi Azra, Indonesia, Islam and Democracy, Singapura: Solstice, 2006). Dari 192 negara-bangsa di dunia saat ini, 121 di antaranya telah melaksanakan pemilu secara demokratis. Tapi, di negara di mana Muslim menjadi mayoritas, hanya 11 dari 47 (atau hanya sebesar 23 persen) yang sudah membentuk pemerintahan secara demokratis. 

Fenomena yang menggambarkan titik-titik terang demokrasi di sebagian kecil negara non-Arab, namun Muslim menjadi mayoritas seperti Indonesia, memang menunjukkan bahwa hubungan antara Islam sebagai sebuah ajaran (yang diwahyukan) dan demokrasi sebagai kreasi manusia masih memiliki dinamika tersendiri. Maksudnya, demokrasi belum sepenuhnya diterima atau diaktualisasi sebagai suatu aturan main bagi terlaksananya tatanan negara.

Melihat kasus di Indonesia, meskipun dinamika demokratisasi di Indonesia tidak akan pernah bisa dilepaskan dengan fenomena Islam dan masyarakat Muslim, kebijakan politik luar negeri Indonesia tidak pernah melibatkan Islam sebagai faktor yang memengaruhinya. Hasjim Djalal dan Sofyan Wanandi (1999) mengungkapkan bahwa kebijakan politik luar negeri Indonesia dipengaruhi oleh kebutuhan-kebutuhan fundamental dalam rangka penguatan kenegaraan Indonesia itu sendiri.

Pertama, faktor pengembangan konsep pembangunan nasional, secara khusus lagi dalam ranah pembangunan sosial dan ekonomi. Kebijakan luar negeri Indonesia berorientasikan pada pengembangan konsep pembangunan itu sendiri yang diaktualisasi, seperti mempromosikan bahwa Indonesia adalah bangsa yang stabil dan damai, pertumbuhan sosial dan ekonomi yang signifikan dan kooperatif berhubungan dengan negara-negara asing. 

Kedua, mengangkat isu-isu domestik tentang persatuan nasional bahwa Indonesia adalah sebuah negara yang plural-multikultural, terdiri atas beragam etnis, suku, bahasa, kebudayaan, agama, banyak provinsi, dan kepulauan. Ketiga, mengangkat isu ke dunia luar dalam mempromosikan penegakan keadilan dan hukum. 

Keempat, faktor pengusungan isu-isu demokratisasi dan HAM bahwa Indonesia tengah berjuang untuk menegakkan de mokrasi dan HAM sebagai tuntutan mendasar dari zaman reformasi. Meski faktor Islam tidak diperhitungkan dalam kebijakan politik luar negeri Indonesia, secara domestik justru Islam menjadi dinamika tersendiri dalam pentas po- litik dan pada masa transisi demokrasi Indonesia.

Menurut Robert Hefner dalam Civil Islam: Muslims and Democratization in Indonesia (2000), demokrasi bisa tumbuh di negara-negara Islam. Islam di Indonesia yang ditemukan melalui penelitiannya adalah contoh bagaimana Islam dan demokrasi tidak memiliki posisi yang saling berhadapan untuk meniadakan satu sama lain. Oleh Cak Nur (Nurcholish Madjid) kemudian disebut dengan terminologi masyarakat madani. Cak Nur menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan civil society pernah dialami dunia Islam pada zaman Nabi Muhammad ketika membangun Kota Madinah sebagai sentra peradaban Islam. Nabi saat itu membangun sebuah tatanan masyarakat yang egaliter, inklusif, dan sejahtera. 

Untuk itulah, sebenarnya Islam memiliki nilai teologis dan ratusan eksemplar sejarah dalam menjalankan sistem pemerintahan yang demokratis. Dengan dua faktor ini, sudah cukup bekal negara-negara Islam untuk menjalankan demokrasi. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar