Selasa, 12 Februari 2013

Nestapa Politik 2013


Nestapa Politik 2013
M Alfan Alfian ;   Dosen Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Nasional, Jakarta
KOMPAS, 12 Februari 2013


Hampir semua pesan akhir tahun mencandra, 2013 suhu politik meningkat. Ini bisa dipahami mengingat gesekan politik akan lebih sering baik di internal maupun antarpartai.

Komisi Pemilihan Umum sudah memastikan peserta Pemilu 2014. Partai-partai akan menyiapkan daftar calon anggota legislatif. Maka, terbayanglah hiruk-pikuknya internal partai. Keriuhan lain ditunjukkan makin gencarnya pihak-pihak yang menyosialisasikan bakal calon presiden.

Misalnya, yang sudah jelas, Aburizal Bakrie disuarakan Partai Golkar, Prabowo Subianto oleh Partai Gerindra, Hatta Rajasa oleh Partai Amanat Nasional. Pada 2013 mungkin juga sudah akan ada tanda yang jelas siapa yang didorong Partai Demokrat, PDI-P, dan partai-partai lain. Tidak kalah menarik, beberapa nama yang santer disebut-sebut pantas menjadi capres atau cawapres, seperti Mahfud MD dan Dahlan Iskan, pun gencar tampil ke publik.

Katakanlah semua itu mewakili wilayah ambisi. Politik tanpa ambisi, ibarat sepeda motor yang diparkir saja. Dalam demokrasi langsung, semua harus menyalakan mesin dan menggerakkan motornya. Rumus baku pemasaran politik adalah kejelasan kandidat. Bagi yang punya ambisi meraih kedudukan, ia harus berkenalan dengan publik sebagai pelegitimasinya. Bahasa tingginya, sosialisasi. Ambisi pun bergeser ke fase pemasaran politik berikutnya, mendesain persepsi.

Persepsi

Para politisi mengemas diri masing-masing sebagai ”kecap nomor satu”. Dibantu pelejitannya oleh aneka konsultan, mereka berlomba mencitrakan diri. Publik yang memiliki gradasi kesadaran politik yang berbeda dihadapkan pada aneka tawaran yang sudah dikemas sedemikian rupa. Lapisan publik yang kritis akan mempersoalkan kecacatan kandidat. Memang, tidak ada kandidat yang tanpa cacat atau cela alias sempurna betul, justru kelemahan itulah yang menjadi sasaran utama publik kritis.

Publik yang pragmatis, sebaliknya, tidak mempersoalkan kekurangan, melainkan memanfaatkan kehadirannya dalam bingkai keuntungan material. Bahkan, dalam kadar tertentu, mereka rela dihadapkan pada publik kritis. Ini berbeda dengan publik yang permisif yang tidak mampu mengelak dari dominasi elite kuat dalam kandidasi. Yang permisif tidak menyisakan ruang bagi kekritisan. Mereka menyerah pada pilihan ”kucing dalam karung”. Namun, yang permisif masih berbeda dengan yang masokis, yakni jenis masyarakat yang sudah tahu bahwa pilihannya banyak cacat dan kekurangan, tetapi tetap saja dipilih.

Di wilayah persepsi masih terbuka ruang yang lebar bagi kandidat mendesain bangunan persepsi mereka masing-masing. Pengganggu setianya adalah publik kritis yang direpresentasikan oleh para pengamat politik, akademisi di kampus-kampus, atau para tokoh lembaga swadaya masyarakat. Betapapun sulit ditundukkan, mereka tidak terlalu dikhawatirkan karena secara jumlah tidak signifikan dan secara pengaruh mereka bukan pemilik media.

Para kandidat akan dihadapkan pada realitas sosial masyarakat Indonesia yang masih serba terbatas daya kritis politiknya. Di level menengah-bawah, mereka dipandang sinterklas sehingga aktivitas apa pun atas nama ”pendidikan politik” kurang bisa ditangkap baik. Yang tidak sabar memilih strategi pragmatis ”menunggu di tikungan”. Ketimbang fokus pada ”rezim substansi”, mereka lebih suka melakukan pendataan atau memakai pendekatan ”rezim administrasi” sehingga kelak mudah untuk melakukan ”serangan fajar”.

Tidak semuanya melakukan itu, tetapi trik memenangkan diri dalam pemilu itu variatif. Ada yang melanggar hukum, tetapi banyak yang sekadar melanggar etika.

Rakyat Dapat Apa?

Pada 2013, rakyat akan dihadapkan pada banyak tontonan politik. Elite akan semakin sering mengunjungi tempat strategis tempat rakyat berkumpul. Mereka berkunjung ke pasar-pasar, kampung, pesantren, atau ke makam-makam ”orang suci”. Rakyat dapat ”berkah” karena kunjungan-kunjungan mendadak itu, dan menimbang-nimbang siapa yang menyumbang secara riil atau sekadar janji.

Tradisi politik kita masih lebih bersifat top-down ketimbang bottom-up sehingga wajar manakala rakyat banyak berharap dari elite. Di Amerika Serikat, warga menyumbang ke kandidat presiden mereka. Sebaliknya, di Indonesia, warga kebanyakan justru menunggu sumbangan dari para kandidat.

Pemerataan pembangunan di era reformasi, ironisnya, banyak diekspresikan turun ke bawahnya para elite politik dan sumbangan yang ditinggalkan. Semakin mendekati pemilu, walaupun sangat permukaan, ”efek menetes ke bawah” pun terjadi. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar