Rabu, 20 Februari 2013

Negara Strukturalis


Negara Strukturalis
Benny H Hoed Profesor (Emeritus) FIB UI
KOMPAS, 20 Februari 2013


Tulisan Jakob Sumardjo, ”Negara Strukturalis” (Kompas, Sabtu, 9 Februari 2013), menarik perhatian saya. Saya tidak menyanggah, tetapi ingin melengkapi potret negara dan masyarakat kita yang wajahnya diperlihatkan Jakob Sumardjo.
Kita perlu memahami, bagaimanapun, sebuah negara adalah sebuah struktur besar yang di dalamnya ada struktur-struktur bawahan yang juga membentuk susunan struktural. Memang seharusnya demikian. Ada perangkat struktur nasional yang di bawahnya ada sejumlah struktur daerah yang juga di bawahnya terdapat struktur-struktur yang lebih kecil. Di samping struktur ”resmi”, ada sejumlah besar struktur yang terbentuk sebagai organisasi nonpemerintah.
Struktur-struktur itu tak dapat dihapus dari pikiran kita sebagai warga masyarakat, baik struktur besar maupun struktur bawahannya. Itu merupakan kesadaran kolektif yang terjadi pada setiap masyarakat dan kebudayaannya. Kita sadar ada pemerintah ”di atas” kita, yang diharapkan menyelesaikan berbagai permasalahan di masyarakat kita.
Lanjutan Struktur Kerajaan
Merujuk sejarawan Perancis, Fernand Braudel, dalam bukunya, A History of Civilizations (1995), apa yang dikemukakan Jakob Sumardjo (JS) adalah mentalité atau saya sebut saja ”inti budaya”, sesuatu yang sudah mengakar dalam suatu kebudayaan. Mentalité, menurut Braudel, tidak akan mudah hilang, bahkan dapat bertahan berabad- abad. Braudel menggambarkannya sebagai ”struktur bawah” dalam sejarah peradaban. Rentetan peristiwa membentuk sejarah pada struktur permukaan sehingga dapat dilihat, dirasakan, dan bergerak dengan cepat.
Namun, sejarah mentalité berjalan sangat lambat. Profesor Resink (almarhum), Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia, pernah mengemukakan, Indonesia punya UUD dan sejumlah peraturan perundang-undangan sebagai negara modern. Namun, struktur masyarakatnya masih seperti kerajaan.
Perubahan dari kerajaan ke negara berkonstitusi berjalan cepat. Namun, mentalité kerajaan, pertanian, dan maritim tidak berubah dan masih tersimpan kukuh dalam masyarakat kita. Meski kerajaan dalam arti politik sudah tiada, cara berpikir warga kita masih tetap mengacu pada masyarakat yang beraja-raja.
Reformasi 1998 bertujuan mendekonstruksi struktur pemerintah pusat yang terlalu dominan pada zaman Orde Baru. Namun, hasilnya adalah otonomi daerah yang terlalu memperkuat struktur pemerintahan daerah, khususnya kabupaten dan kota. Bahkan, pemerintah pusat sering kali tak berdaya menghadapi kekuatan struktur bawahannya.
Ditinjau dari teori mentalité kita dapat memahami. Di zaman kerajaan (di Nusantara ataupun di Eropa) otonomi membuat para bupati menjadi raja-raja kecil. Mereka harus memberikan upeti kepada raja besar. Namun, raja besar tidak berdaya (atau membiarkan) dan hanya melihat raja kecil menekan rakyatnya. Meski tidak sepenuhnya sama, suasana ini masih hadir dan terlihat pada masa pascareformasi.
Reformasi bercita-cita mengembangkan suasana demokratis. Intinya ”sama rata sama rasa” dan ”kebebasan berekspresi”. Meskipun betul JS melihat masyarakat kita terkungkung struktur, sekarang mereka berani melakukan kritik kepada pemerintah. Juga kegiatan swadaya masyarakat sudah terlihat. Ini hikmah reformasi, berkat praktik sama rata sama rasa dan kebebasan berekspresi meskipun masih dalam proses belajar. Setidaknya keadaan ini telah berhasil mencegah tindakan sebagian pejabat berbuat sewenang-wenang.
Reformasi telah melahirkan kebebasan berkelompok berekspresi dalam berbagai ranah politik dan sosial, termasuk berunjuk rasa. Namun, pengelompokan dalam wujud organisasi massa atau partai politik menjadi bukan sekadar wahana untuk berekspresi, melainkan makin terlihat menjadi wahana untuk menunjukkan kekuatan dan menunjukkan kekuasaan.
Karena itu, terbentuklah struktur-stuktur baru yang—menurut Michel Foucault—menjadi alat untuk mengembangkan daya kuasa melalui wacana. Kemampuan verbal dan pemanfaatan media penyalurnya, kadang-kadang dengan dukungan kekuatan ekonomi, menjadi andalan untuk menang dalam ”percaturan kekuasaan”.
Struktur baru ini berisi campuran antara berbagai unsur, baik eksekutif, legislatif, yudikatif, partai politik, organisasi massa, pengusaha besar, maupun LSM. Terjadi tumpang tindih struktur ”resmi” dan ”tidak resmi”. Struktur ini membentuk elite yang kini berada di atas. Meski setiap struktur di dalamnya mungkin kuat, sebagai suatu kumpulan struktur mereka jelas sangat rapuh karena tak berhenti berseteru dan bersaing. Saya menyebutnya ”elite politik”.
Keadaan struktur ini lebih berbahaya bagi masa depan negara kita daripada struktur negara yang digambarkan JS. Rakyat yang berada di bawah struktur ini, dengan mentalité-nya yang ”menunggu bantuan pemerintah”, makin tidak tersentuh.
Akhirnya, saya ingin menambahkan bahwa dalam struktur masyarakat kita ada yang disebut-sebut sebagai ”kelas menengah”. Meski tolok ukurnya dalam bidang ekonomi, seperti penghasilan yang cukup, kemampuan memiliki kartu kredit, mampu mengangsur rumah atau mobil, berekreasi (ke luar negeri), lapisan ini nyata telah terbentuk. Mereka dipandang sebagai salah satu pendorong pertumbuhan ekonomi karena daya belinya yang makin tinggi.
Struktur yang Rapuh
Merujuk pada Bourdieu (Raisons pratiques. Sur la théorie de l’action, 1994), mereka ini dapat dikatakan memiliki ”modal ekonomi”. Mereka juga punya ”modal sosial” berkat kemungkinannya memasuki jejaring kelas di atasnya, yakni elite politik (dan elite ekonomi). Sayangnya, ke dalam ”kelas menengah” ini kita belum dapat memasukkan mereka yang punya ”modal kultural”, seperti para seniman, budayawan, cendekiawan, dan ilmuwan. Saya melihat lapisan ini masih belum dapat berperan secara semestinya.
Artinya, pengaruh mereka dalam percaturan kekuasaan hampir tak ada. Bahkan, kita menyaksikan sebagian mereka telah terkooptasi dan hanyut ke dalam pusaran struktur elite politik. Mereka yang belum terbawa tak jarang memberikan kritik dan saran kepada elite politik melalui berbagai cara, tetapi sering kali tak berpengaruh pada penyelesaian percaturan kekuasaan. Yang menarik ialah mereka justru tak membentuk struktur yang jelas karena sifatnya yang bebas.
Kesimpulannya, struktur yang berat itu saat ini justru tidak kokoh, tapi rapuh karena di dalamnya terdapat berbagai struktur bawahan yang saling berseteru untuk memiliki kekuasaan. Padahal, kita butuh struktur negara yang kuat. Perseteruan inilah yang sebenarnya melemahkan struktur yang disebut ”negara” yang oleh rakyat selalu diharapkan sebagai ”penyelamat”. Inilah menurut saya masalah negara kita dewasa ini. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar