Sabtu, 09 Februari 2013

Negara Strukturalis


Negara Strukturalis
Jakob Sumardjo  ;   Esais
KOMPAS, 09 Februari 2013


Ketika terjadi bencana banjir atau gempa bumi, baik rakyat yang menjadi korban maupun reporter media massa selalu bertanya: apakah bantuan pemerintah sudah datang? Bahkan, para intelektual dan pekerja seni pun punya pikiran sama. Mengapa dana pemerintah untuk kegiatan penelitian terlalu minim?
Mana bantuan pemerintah untuk grup teater kami? Mana gedung kesenian yang representatif untuk kota kami? Alamat kesalahan selalu kepada presiden dan para menterinya, gubernur, bupati, wali kota, dan lurah.
Semua itu menunjukkan bahwa struktur negara berdampak total pada perilaku individu dan kelompok. Pandangan berat sebelah ini lantas meniadakan peran individu atau kelompok yang justru dapat mengubah struktur besar tadi. Negara dan pemerintah, atau lembaga struktural apa pun, adalah penanggung jawab semua kehidupan individu.
Itulah sebabnya, kita senantiasa mencari pemimpin yang dapat membawa dampak kesejahteraan pada rakyat. Bukan rakyat itu sendiri yang dapat menyejahterakan dirinya. Apa arti kebebasan? Kebebasan hanya berarti ketika negara dan pemerintah atau lembaga-lembaga struktural mengganggu kebebasan mereka. Arti kebebasan masih post-kolonial, yakni bebas dari penjajahan, bebas dari tekanan, bebas dari kesewenang-wenangan.
Kita belum sampai pada kesadaran bebas untuk menjadi apa. Bebas mengembangkan potensi diri. Potensi diri masih digantungkan pada struktur besar tadi. Dengan kata lain potensi individu, begitu pula potensi alam, belum dikembangkan berdasarkan intrinsiknya sendiri.
Makna Negara Modern
Lalu apa arti negara modern yang demokratis ini, yang meminjam kata-kata Lincoln bahwa pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat tak akan lenyap dari muka bumi ini? Bukankah yang terjadi justru sebaliknya: pemerintahan dari negara, oleh negara, dan untuk negara akan segera lenyap dari muka bumi? Bukankah itu yang ada dalam pikiran kita ketika bencana alam datang, ketika harga-harga naik, ketika musuh mengancam di perbatasan?
Ketika bantuan banjir atau gempa bumi tak kunjung datang dari camat atau bupati, maka rakyat bertanya, di mana negara ketika kami membutuhkannya? Dan tentu saja para bupati dan camat dengan enteng akan menjawab bahwa bantuan pemerintah belum datang.
Apa bedanya dengan di zaman raja-raja? Tentu saja banyak jenis raja di Indonesia masa lalu, tetapi di sini khusus raja-raja yang memerintah negara pertanian. Dalam masyarakat pertanian sawah, negara harus sepenuhnya strukturalis, yang menganut ungkapan “bapak selalu benar”. Negara pertanian yang begitu luas bagaimana mengendalikan rakyat agar tak bunuh-bunuhan memperebutkan air irigasi bagi sawah-sawah mereka? Hanya dengan pikiran bahwa ada kekuasaan tunggal yang mutlak dipatuhi seluruh rakyat petani.
Namun, pemandangan agak berbeda dengan kerajaan-kerajaan yang hidup dari perdagangan-maritim. Di lingkungan orang Melayu dan kepulauan berlaku ”raja adil raja disembah, raja lalim raja disanggah”.
Mengapa rakyat berani membuat pepatah semacam itu? Karena di sana dikenal adanya kelompok yang disebut orang kayo atau orang kaya di samping para bangsawan dan raja. Itulah benih borjuasi otentik Indonesia. Kalau kekayaan itu kekuasaan, maka di kalangan mereka kebebasan individu bisa ikut berbicara menentukan arah negara.
Dua tradisi besar dalam cara berpikir bernegara ini saling bertempur dalam dunia modern kita sekarang ini. Mungkin inilah yang membedakan antara Malaysia yang sepenuhnya Melayu dengan Indonesia yang masih strukturalis. Ternyata kita salah start sejak awalnya. Ketidaksesuaian dwitunggal Soekarno-Hatta atau SBY-Jusuf Kalla jangan-jangan gara-gara warisan arketip budaya ini.
Munculnya orang kayo di Sumatera dan kepulauan mengindikasikan individu ikut menentukan nasib individu. Di situ asas kebebasan individu menghasilkan adagium ”raja lalim raja disanggah”, kalau bupati tidak becus, ya diganti saja. Kalau waktu itu terjadi bencana nasional, maka tidak hanya pemerintah atau raja yang bergerak, tetapi juga orang-orang kayo ikut bertanggung jawab.
Gigantisme Struktural
Sejak kemerdekaan, alam pikiran strukturalis inilah yang berjaya, bahwa negara adalah segalanya, baik adil maupun lalim. Karena kebebasan struktural yang gigantik ini, rakyat tak dapat berbuat banyak. Lihat saja kasus bupati Garut akhir-akhir ini. Rakyat sudah jelas-jelas menginginkan bupati ini turun jabatan, tetapi gigantisme struktural kita membuat perkara ini berlarut-larut akibat berputar-putar dalam strukturnya sendiri.
Strukturalisme ini juga mengakibatkan persoalan korupsi tidak kunjungi teratasi, karena tindak korupsinya bukan individual, tetapi struktural. Kalau seorang koruptor tertangkap, mau tidak mau sederetan jaringan korupsi segera terbongkar. Para hakim lantas bingung karena harus mengadili individu atau mengadili sebuah struktur?
Bangsa ini mengaku dirinya demokratis, kenyataannya lebih strukturalis-sosialis. Negara atau pemerintah adalah segalanya sehingga rakyat tak dapat berbuat banyak mengubah struktur besar ini. Rakyat tak punya kekuatan karena tak memiliki alternatif orang-orang kayo. Negara ini satu-satunya yang kuasa dan kaya. Justru yang terjadi orang-orang kaya dapat membeli negara demi kepentingannya sendiri. Coba kalau rakyatnya banyak yang kayo?
Cita-cita Bung Karno dalam pidato Pancasilanya yang menyebutkan demokrasi Indonesia adalah “sosio-demokrasi” belum terwujud. Saling melengkapi antara strukturalisme dan kebebasan individu masih dominan strukturalnya. Banyak selalu benar meski jelas-jelas dia salah! ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar