Kamis, 07 Februari 2013

Mesir dan Negara Gagal


Mesir dan Negara Gagal
Zuhairi Misrawi  ;   Analis Pemikiran dan Politik Timur Tengah 
di The Middle East Institute
KOMPAS, 07 Februari 2013


Peringatan dua tahun revolusi yang digelar 25 Januari 2013 di seluruh pelosok Mesir merupakan momentum evaluasi terhadap misi utama revolusi: membentuk negara demokratis yang dibangun di atas prinsip kemakmuran, kebebasan, keadilan, dan menjunjung tinggi HAM.
Kaum muda sebagai lokomotif revolusi memandang Presiden Muhammad Mursi tak mampu memberikan harapan bagi masa depan Mesir, sebagaimana tuntutan revolusi. Dalam beberapa hari terakhir mereka mengajukan seruan agar digelar revolusi jilid dua sebagai antitesis terhadap kegagalan revolusi jilid satu.
Yang terjadi di Mesir dua tahun terakhir pada hakikatnya bukan revolusi, melainkan kontrarevolusi. Revolusi berhasil melengserkan rezim diktator Hosni Mubarak, tetapi rezim yang berkuasa telah menjelma sebagai diktator baru. Ikhwanul Muslimin melalui Partai Kebebasan dan Keadilan berhasil memonopoli kekuasaan di legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Istilah yang populer di dalam pelataran politik Mesir saat ini, yaitu ”Ikhwanisasi Mesir”.
Negara Gagal
Puncak kekecewaan muncul karena Mursi yang dipilih kaum muda revolusi dan mendapatkan mandat penuh mengimplementasikan misi revolusi telah gagal secara total. Menurut Halah Mustafa dalam Nahwa al-Dawlah al-Fasyilah, Mesir sedang beranjak menuju negara gagal. Di bawah kepemimpinan Ikhwanul Muslimin, pelayanan publik mengalami kekacauan amat parah, yang tak pernah terjadi pada masa-masa sebelumnya. Pemerintahan Mursi ditengarai tak mampu memperbaiki pelayanan publik sesuai amanat revolusi.
Keamanan dan kekacauan juga menjadi catatan buruk pemerintahan Mursi karena kriminalitas terjadi secara sporadis di seantero Mesir, tanpa ada perlindungan yang serius dari aparat keamanan. Belum lagi, penegakan hukum sangat lemah karena intervensi yang begitu besar dari eksekutif kepada yudikatif.
Sejumlah media massa diancam oleh kalangan islamis. Ini dapat mengancam kebebasan berpendapat dan berekspresi. Pengentasan masyarakat dari kemiskinan masih jadi problem utama dan hingga kini belum mendapatkan perhatian serius. Bahkan, yang terjadi justru sebaliknya, yaitu monopoli kekuasaan ekonomi oleh kalangan pengusaha yang berlatar belakang Ikhwanul Muslimin. Karena itu, kaum muda revolusioner membakar restoran El-Mokmin, yang ditengarai milik pengusaha yang berafiliasi pada Ikhwanul Muslimin. Kantor Ikhwanul Muslimin serta kantor Partai Kebebasan dan Keadilan juga jadi sasaran empuk kaum muda revolusioner yang telah kehilangan harapan terhadap rezim pascarevolusi itu.
Secara politik, Ikhwanul Muslimin tak punya kemampuan dan keinginan politik untuk membangun rekonsiliasi nasional yang mengedepankan kepentingan nasional. Mursi selalu berjanji menjadikan kepemimpinannya sebagai representasi kepentingan nasional, tetapi dalam implementasinya selalu bertolak belakang karena justru kepentingan kelompoknya lebih menonjol. Konsekuensinya, muncul banyak tuduhan bahwa yang berkuasa di Mesir bukanlah Mursi yang dipilih secara demokratis oleh rakyat, melainkan pimpinan tertinggi Ikhawanul Muslimin. Dua sosok yang ditengarai kerap mendikte Mursi adalah Muhammad Badi dan Khayrat Shater. Menurut Halah Mustafa, Mesir saat ini terjerembab dalam dualisme kepemimpinan, yakni Presiden Mursi dan Ikhwanul Muslimin.
Keadaan kian memburuk karena Ikhwanul Muslimin mampu mengemudikan pemerintahan. Monopoli kekuasaan tak disertai kemampuan memecahkan pelbagai persoalan dalam realitas politik, yang menyebabkan persoalan kian pelik. Bahkan, Ikhawanul Muslimin justru mengalami defisit dukungan dari beberapa sayap politik yang selama ini mendukungnya. Faksi Ghad al-Tsawrah, Jemaat Islamiyah, dan kelompok salafi mulai merasakan hilangnya dukungan publik pada Ikhwanul Muslimin.
Fakta paling telanjang, yaitu partisipasi publik dalam referendum konstitusi hanya diikuti 32 persen pemilih. Pasca-peringatan dua tahun revolusi dukungan publik terhadap Mursi ditengarai tinggal 15 persen. Artinya, Ikhwanul Muslimin mulai kehilangan kepercayaan dari publik untuk mengemban amanat revolusi.
Menurut Muhammad Hasanain Haikal, analis senior politik di Mesir, ada dua faktor penting penyebab Ikhwanul Muslimin tak mampu menerjemahkan agenda revolusi dalam realitas politik. Pertama, mereka tak punya pengalaman dalam pemerintahan. Sejak berdiri tahun 1928, mereka selalu jadi oposisi, bahkan sebagai organisasi terlarang. Dari rezim Gamal Abdul Nasser, Anwar Sadat, dan Hosni Mubarak, para aktivisnya dipenjara oleh rezim yang berkuasa.
Kedua, para aktivis Ikhwanul Muslimin umumnya berlatar belakang kedokteran dan teknik sipil. Bayangkan, para penasihat presiden yang sebagian besar dari Ikhwanul Muslimin adalah kalangan dokter sehingga cara memecahkan persoalan politik kehilangan sentuhan humanis. Persoalan dalam ranah politik pada umumnya berkaitan langsung dengan persoalan publik, karena itu pendekatan humaniora diperlukan ketimbang pendekatan ilmu pasti. Belum lagi, perdana menteri yang ditunjuk Ikhwanul Muslimin tak punya kemampuan mengendalikan roda birokrasi.
Terobosan Politik
Karena itu, mau tak mau, Ikhwanul Muslimin harus melakukan terobosan politik untuk menyelamatkan Mesir dari kegagalan. Selama dua tahun memerintah, Mursi dinilai publik tak mampu melakukan perubahan ke arah lebih baik. Menurut Hasan Nafaa dalam Hawamisy ’ala Agendah Muqtarahah li Hiwar Wathani, perlu dialog nasional dengan tiga agenda penting: pembentukan pemerintahan yang merepresentasikan kepentingan nasional dengan agenda perbaikan pelayanan publik, stabilitas politik, dan perbaikan ekonomi.
Perlu pemikiran serius untuk merevisi pasal-pasal di dalam konstitusi yang jadi perseteruan antara kubu islamis dan kubu nasionalis-sekuler. Setidaknya ada 35 pasal bermasalah dalam konstitusi baru. Yang terakhir, perlu pemilihan ulang presiden dengan mengacu pada konstitusi baru karena Mursi terpilih sebagai presiden sementara tanpa konstitusi. Agenda nasional Mesir dalam dua bulan ke depan adalah pemilihan anggota parlemen. Tiga agenda penting itu mutlak disepakati sebelum pemilu sehingga beberapa persoalan yang dapat menjerumuskan Mesir ke dalam negara gagal dapat dipecahkan bersama-sama.
Intinya, persoalan yang dihadapi Mesir tak bisa dipecahkan oleh satu faksi saja, melainkan butuh kebersamaan dan gotong royong seluruh faksi politik. Perlu kedewasaan dalam politik yang mengedepankan politik kebangsaan daripada sekadar politik sektarianistik. Sheri Berman dalan The Promise of the Arab Spring menegaskan, negara-negara Arab yang disapu musim semi sangat membutuhkan demokrasi yang stabil. Ini dapat tercapai jika mereka mampu mengeliminasi dimensi sosial dan kultural yang bertentangan dengan prinsip demokrasi serta meninggalkan legasi ekonomi korup yang ditinggalkan rezim lama. Kedua hal inilah yang mesti dilakukan rezim berkuasa Mesir sebelum mereka jatuh ke dalam kubangan negara gagal. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar