Jumat, 15 Februari 2013

Meretas Kleptomania Politisi dan Birokrat


Meretas Kleptomania Politisi dan Birokrat
Ansel Alaman  Pengajar Unika Atma Jaya Jakarta
MEDIA INDONESIA, 15 Februari 2013


KLEPTOMANIA adalah kelainan jiwa yang menyebabkan seseorang suka mengambil milik orang lain atau keinginan mencuri yang tidak dapat ditahan-tahan. Kleptomania adalah penyakit psiko-somatik yang bisa menjangkiti kita semua. Jika kita konversikan dalam bidang politik, ekonomi dan lain sekarang, ia tampak sebagai perilaku yang haus kekuasaan (power syndrome) di satu sisi, dan di sisi lain perilaku hedonisme yang memandang kekuasaan politik dan ekonomi sebagai objek kenikmatan belaka.

Saat ini bangsa kita seperti tengah mengidap kleptomania ini. Sebut saja perilaku korupsi yang makin menggila, keke rasan bahkan dengan senjata, perkelahian sampai pembunuhan, pelecehan seksual bahkan gratifikasi seks, yang langsung atau tidak pasti berhubungan dengan uang.

Seperti epilepsi, kleptomania terkuak dalam skandal sosial seperti bailout Bank Century, pajak Gayus Tambunan, korupsi pembangunan wisma atlet Palembang, sport center Hambalang, dan terakhir skandal impor daging sapi. Kleptomania menyerang pegiat politik dan ekonomi yang senang instan agar cepat meraih posisi dan keuntungan finansial.

Abaikan Proses

Meminjam pemikiran filsafat proses dari filsuf Amerika Alfred North Whitehead (Process and Reality, 1978) bahwa semua hewan, tumbuh-tumbuhan, bahkan tindakan manusia, khususnya politik dan birokrasi berkembang dinamis sebagai process (proses) dan tidak semata sebagai goal (tujuan).

Melalui proses itu, segala hal di atas bergerak untuk becoming (menjadi). Semua hal dalam dinamika proses itu menjadi objectivation yakni transisi dari fakta alamiah menjadi fakta baru secara makroskopis. Dengan kata lain, dinamika makroskopis itu beralih dari fakta lama menjadi fakta baru melalui langkah-langkah seperti asimilasi, harmonisasi, saling belajar, pertentangan bahkan benturan. Proses butuh waktu dan bagi manusia butuh kesadaran eksistensial.

Kesadaran itu mengharuskan kita mencangkokkan pemikiran filsafat proses ke dalam perilaku politik dan ekonomi seperti kaderisasi, pembinaan organisasi, penegakan disiplin, dan lainnya. ermasuk pula menjadi konten tugas legislasi yakni perundang-undangan sebagai panduan nor matif hidup membangsa dan menegara.

Selama ini rancang-bangun perilaku dan sistem dalam politik kita terlalu mengutamakan pencapaian tujuan yakni memperoleh kekuasaan secara konstitusional. Energi kita terkuras untuk menjadi partai pemenang dan penguasa (itu memang tujuan organisasi politik), namun harus seimbang dengan proses internalisasi nilai dan kelembagaan.
Jika tujuan diutamakan, ketika kita dilanda prahara politik seperti dialami Partai Demokrat dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) sekarang, selain partai pecah berantakan karena hanya menjadi ajang saling menyalahkan, kita juga semakin kehilangan humanisme ideologis. Yakni kehilangan militansi kebangsaan dan patriotisme yang jujur, elan perjuangan kebangsaan runtuh.

Hal itu berlawanan dengan teladan para bapak bangsa kita seperti Bung Karno, Bung Hatta, Sjahrir, Tan Malaka dan lainnya, yang sekalipun terus dikalahkan, direndahkan, dipenjarakan bahkan dibuang ke berbagai daerah, mereka justru semakin teguh dalam cita-cita dan revolusi kebangsaan. Seharusnya kompetisi politik tidak berhenti pada soal menangkalah, tetapi pelaksanaan nilai-nilai kebangsaan dalam bentuk kebijakan publik. 
Karena itu, yang menang harus didukung sebaliknya yang kalah dihargai dan dirangkul.
Perilaku itu harus lahir dari mindset dan political awareness, semacam `gravitasi politik' dengan metode RAR (refleksi-aksi-refleksi). Banyak politikus mengharamkan refleksi filsafat politik dan membarui konstruksi berpikir untuk menyeimbangkan perilaku ideologis dan pragmatis berbasis nilai, untuk menjadi `politik hati nurani' (YB Mangunwijaya, 1997).

Politik dan birokrasi kita berada dalam kerangkeng karena hanya mengabdi pada `tujuan'yang melahir kan perilaku `sindrom kekuasaan' sebagai politisi yang sakit seperti digam barkan psikolog politik Indonesia Hamdi Muluk (Mozaik Psikologi Politik Indonesia, 2010).

Bagi politisi sakit, kekuasaan adalah prestise. Padahal itu seharusnya instrumen untuk berbakti bagi bangsa dan negara. Akibat nya, politik (suara rakyat) harus dibeli dengan uang, 'selingkuh' dengan dunia usaha, mengumbar janji muluk, menjual kebohongan dan penipuan sebagai `barter' kursi di DPR/DPRD.

Itulah penghinaan kita terhadap `proses' karena mengutamakan `tujuan' untuk kekuasaan. Birokrat menggunakan kroninya melalui sistem eselonering yang sengaja didongkrak untuk menduduki jabatan strategis semisal menteri, terpilih jadi gubernur, bupati dan wali kota.

Sebagian besar simpati rakyat diraih bukan atas dasar trust (kepercayaan), tetapi atas dasar `transaksi' yakni penggelontoran dana politik yang amat besar, yang tidak diketahui asal-usulnya. Lalu bagaimana?

Cangkokkan Keadilan

Untuk meredam hasrat mengutamakan `tujuan' dan mengabaikan `proses', kita wajib menggugat pelaksanaan keadilan distributif dalam `pasar politik' kita. Sebab, perilaku pasar politik dalam proportional representation system (sistem perwakilan berimbang) dengan varian daftar terbuka (open list), sangat potensial menguntungkan yang kaya dan mengabaikan kualitas dan kemurnian perjuangan politisi jujur.

Pertama, pengabaian itu datang dari spirit keadilan. Sikap yang adil pasti tidak menggantungkan trust publik pada uang, tetapi kepribadian dan pengabdian sekalipun uang tetap penting. Spirit keadilan dalam konteks ini harus mengadopsi dua prinsip dasar keadilan sebagaimana diungkap John Rawls dalam A Theory of Justice (Rawls, 1995). Rawls menunjuk perinsip `hak yang sama' atas dasar kebebasan dan `distribusi sosial' adil untuk mengurai ketimpangan sosial yang melahirkan kemiskinan struktural.

Kedua prinsip keadilan itu berhubungan secara resiprokal, karena penyaluran hak secara bebas akan berdampak pada keadilan distributif untuk peningkatan kesejahteraan. Kebebasan dasar warga negara adalah kebebasan dan hak politik (political right), sebagai hak berpartisipasi dalam pemilihan umum. Keadilan akibat partisipasi politik itu harus memberi dampak (impact) pada peningkatan kesejahteraan rakyat.
Kesejahteraan harus lahir dari keadilan distributif. Bukan sebagai kebaikan hati pemerintah atau politisi melainkan hak konstitusional warga negara sebagai manfaat (benefit) dari pelaksanaan hak berpartisipasi dalam politik.

Ciri distribusi itu menurut Rawls tidak harus dalam waktu dan jumlah yang sama, tetapi secara proporsional yakni pelaksanaan keadilan atas dasar jasa, kebutuhan, dan kemen desakan rakyat. Keadilan dalam politik kita haruslah atas dasar ideologi negara Pancasila.

Politik Solidaritas

Kedua, spirit solidaritas. Salah satu dasar perwujudan Pancasila dalam politik Indonesia ialah solidaritas. Jiwa solidaritas harus ditanamkan sejak dini dalam keluarga, menjadi kurikulum pendidikan dasar sampai perguruan tinggi dan menjadi kurikulum kaderisasi politik. Solidaritas adalah sikap empatik untuk merasakan dan mengalami penderitaan dan pengorbanan banyak orang, terutama yang lemah.

Politik solidaritas melahirkan keadilan distributif, sebagai `proses' sekaligus `tujuan' dari hak politik sebagaimana diungkap Rawls. Politik solidaritas nyata dalam keberpihakan partai kepada kaum lemah menjadi tipe kemimpinan yang mendahulukan pelayanan bagi kaum miskin (preferensial of the poor).

Kepemimpinan yang ditunjukkan Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo menjadi salah satu contoh tipe kepemimpinan seperti ini, agar politisi dan birokrat mampu mengobati kleptomania dan mewujudkan keadilan. Tepatlah pernyataan William Godwin, “Justice is the sum of all moral duty“, keadilan merupakan ringkasan segala tugas moral (khusus politik dan birokrasi). ●

1 komentar: